Belajar Rendah Hati Dari Yesus

Pdt. Paulus Budiono, Minggu, Johor, 11 November 2018

Shalom,

Setiap dari kita pasti ingin menjadi sama seperti Yesus namun bagaimana mungkin? Melalui karya Roh Kudus. Perlu diketahui Roh Kudus adalah Penolong yang menyertai kita selama-lamanya (Yoh. 14:15) dan Penghibur yang mengajar serta mengingatkan kita (ay. 26). Selain itu, Roh Kudus memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran (Yoh. 16:13) dan Yesus adalah kebenaran (Yoh. 14:6) sempurna tanpa cacat cela sebab Ia adalah Allah. Kalau kita ingin menjadi seperti Yesus, kita harus mempersiapkan hati kita untuk ditukik dengan kebenaran Firman oleh Roh Kudus (bnd. 2 Kor. 3:3).

Kebenaran Firman apa yang diingatkan oleh Roh Kudus kepada kita kali ini? Efesus 5: 20-21 menuliskan, “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.”

Mengapa kita harus rendah hati? Rendah hati di dalam takut akan Kristus meng-hasilkan berkat kemenangan luar biasa melawan iblis yang lari dari kita (Yak. 4:7) namun Iblis mendekat dan berkawan dengan orang sombong.

Kita tahu Yesus satu-satunya Pribadi yang paling rendah hati dan kita diminta belajar rendah hati dari-Nya (Mat. 11:29). Rendah hati membuat hati gembira tidak mudah bersungut-sungut walau ada tantangan; dampaknya, kita beroleh ketenangan jiwa. Sebaliknya, kesombongan dan harga diri membuat hati diliputi kegelisahan, khawatir, tidak percaya diri, takut disaingi/dikalahkan sehingga jiwa selalu bergejolak tidak ada ketenangan.

Apa karakteristik dari rendah hati? Filipi 2:3-5 menuliskan, “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu ber-sama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,”

Perhatikan, kita harus mandiri (tidak dapat ‘nebeng’ orang lain) menyangkut masalah keselamatan tetapi kita tidak dapat hidup sendirian dalam hidup bersama/ber-masyarakat sebab kita adalah makhluk sosial.

Kepada siapa kita harus menerapkan sifat rendah hati?

“Hai istri, tunduklah kepada suamimu… sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus (Ef. 5:22-24). Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat (ay. 25)….Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan... (Ef. 6:1-3). Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu… (ay. 4). Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gen-tar… (ay. 5-8). Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga kepada mereka dan jauhkanlah ancaman… (ay. 9).

Umumnya, suami-istri, orang tua-anak, tuan-hamba dst. dapat rendah hati tetapi bersyarat (ada tuntutan yang diajukan), misal: istri akan tunduk kepada suami jika keinginannya dipenuhi, suami akan mengasihi istri jika dilayani sebaiknya, anak-anak tunduk dan hormat kepada orang tua yang dapat mengerti keinginan anak muda dst.

Mampukah suami melihat istri lebih penting dari diri sendiri; demikian pula seba-liknya? Kenyataannya, suami-istri sering cekcok karena masing-masing menganggap dirinya lebih penting dari yang lain. Orang tua begitu otoriter karena merasa sudah mengeluarkan banyak uang dalam membesarkan anak juga majikan/tuan begitu dominan karena merasa mampu membayar pegawai lalu memperlakukan mereka dengan semena-mena dll.

Selain menganggap orang lain lebih utama, kita juga harus memerhatikan kepen-tingan orang lain dalam hidup bersama/bermasyarakat. Ilustrasi: antar anggota tubuh memerlukan kerja sama dan kepedulian satu sama lain. Misal: kaki berjalan sendiri semaunya (merasa mampu mencapai tujuan) dan mata tidak memerhatikan kepentingan kaki kemudian membiarkan kaki berjalan sendiri maka kaki akan ter-sandung atau tidak pernah tiba di tujuan karena salah sasaran.

Yesus menjadi teladan sempurna bagi kehidupan nikah, rumah tangga dan pekerjaan. Untuk apa Ia datang ke dunia? Bukankah lebih enak Ia tinggal dalam Kerajaan-Nya yang kekal? Ia datang karena memikirkan kepentingan manusia berdosa. Sayang, Ia memberikan Firman-Nya tetapi manusia menolaknya. Buktinya? Allah menciptakan Adam lebih dahulu kemudian Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam (Kej. 2:7,21-23). Suami bertindak sebagai kepala dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan. Itu sebabnya ketika Hawa sebagai istri mengambil alih keputusan dengan memetik dan memakan buah larangan kemudian memberikannya kepada Adam untuk dimakan dan keduanya jatuh dalam dosa, Allah meminta pertanggungjawaban penuh dari Adam bukan kepada Hawa (Kej. 3:17) atas hidup nikah dan pekerjaan. Sejak itu manusia makin jauh dari rupa dan gambar Allah.

Bagaimana Yesus meninggalkan teladan kerendahan hati bagi manusia?

  • Kepada suami-istri

Demi kasih-Nya kepada jemaat, Yesus rela mati saat mereka kotor penuh dosa untuk dikuduskan dan dipersembahkan tanpa cacat cela di hadapan-Nya.

Istri disebut lebih dahulu untuk tunduk kepada suami (Ef. 5:22) kemudian suami disebut belakangan (ay. 25) untuk menunjukkan bahwa peran suami mencakup keseluruhan. Keberhasilan rumah tangga merupakan tanggung jawab suami. Bagi pemudi dewasa yang mau masuk dalam ikatan nikah, dia sudah memiliki konsep bila menjadi istri dia harus memahami kepentingan suami bukan hanya mengenai masalah kehidupan seks tetapi juga dunia usaha suami. Jangan hanya tertarik dengan uangnya tetapi tidak mau tahu bagaimana suami memperoleh uang tersebut. Demikian pula pemuda dewasa yang ingin menikah, dia sudah berpikir apa yang menjadi kepentingan istri dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Dia mencintai istri justru saat istri dalam kondisi lemah dan kurang baik karena memahami istri sibuk bekerja mengurus rumah tangga demi kepentingan seluruh anggota keluarga.

  • Kepada anak-orang tua

Dewasa ini makin banyak anak bersikap kurang ajar terhadap orang tua. Sebe-narnya Rasul Paulus sudah mengingatkan dalam tulisannya 2000 tahun lalu bahwa di akhir zaman banyak anak melanggar hukum ke-5 yaitu “hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu” (Kel. 20:12; bnd. Rm. 1:30; 2 Tim. 3:2).

Yesus sebagai anak memberikan teladan rendah hati dengan dengar-dengaran kepada orang tua jasmani, Yusuf dan Maria. Ketika berumur 12 tahun, Yesus diajak ke perayaan Paskah di Yerusalem. Seusai perayaan, Yusuf dan Maria pulang ke Nazaret tanpa mengetahui Yesus tidak ikut serta dengan mereka. Betapa gelisah dan khawatirnya mereka begitu mengetahui anak mereka ‘hilang’. Segera mereka balik ke Yerusalem (makan waktu tiga hari) dan menemukan Yesus berada di dalam Bait Allah sedang berbincang-bincang dengan alim ulama mendengarkan dan mengajukan pertanyaan kepada mereka. Ketika Maria, ibu-Nya, bertanya mengapa Ia berbuat demikian sehingga mencemaskan orang tua, Yesus menjawab bahwa Ia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya namun hal ini tidak dimengerti oleh mereka. Yesus tidak sok pintar lalu “menggurui” orang tua-Nya tetapi pulang bersama mereka ke Nazaret dan hidup dalam asuhan mereka (Luk. 2:41-51). Umur 12 tahun, Yesus sudah belajar taat kepada Bapa Surgawi juga kepada orang tua jasmani maka Allah memberkati-Nya dengan hikmat dan pertumbuhan badan sehingga Ia makin disukai Allah dan manusia (ay. 52). Yesus, sebagai Anak, menjadi contoh dengar-dengaran kepada orang tua (bnd. Ams. 1:1-4, 7-8).

Introspeksi: ke mana dan di mana anak berada jika terlambat pulang ke rumah? Apakah ke rumah teman tanpa izin dengan alasan mengerjakan tugas sekolah bersama padahal pergi nonton atau hang-out untuk hura-hura?

Perlu diketahui, orang tua tidak dapat menuntut anak-anaknya hormat dan taat kepada mereka jika orang tua tidak lebih dahulu menjadi teladan bagi anak-anak. Contoh: bagaimana mungkin orang tua mengajar anaknya untuk tidak berbohong tetapi mereka sendiri suka berbohong; tidak mencuri tetapi ayah korupsi di kantor; mendidik anak untuk takut kepada Tuhan tetapi mereka sendiri tidak mau dididik Firman Tuhan; menuntut dihormati tetapi mereka sendiri tidak hormat kepada Tuhan dan Firman-Nya. Anak tidak akan berubah tanpa melihat contoh keren-dahan hati dan ketaatan dari ayah-ibunya!

Rasul Paulus memosisikan diri sebagai ‘ibu’ yang mengasuh dan merawat jemaat Tesalonika (1 Tes. 2:7) dan sebagai ‘bapa’ yang menasihati dan menguatkan hati mereka (ay. 11). Pasti dia mendisiplinkan diri lebih dahulu agar dapat menjadi contoh bagi jemaat.

Wajar, Yesus sebagai Manusia takut mati tetapi sebagai Anak, Ia tunduk dan taat menderita hingga mati (Ibr. 5:7-9). Waspada, pengajaran sesat mengatakan Yesus bersandiwara pura-pura kesakitan dan mati karena Dia adalah Allah yang tidak mungkin mati. Bukankah Ia sempat menolak meminum cawan murka Allah karena sebagai manusia Ia tidak tahan menjalani semua penderitaan yang akan dihadapi-Nya (Mat. 26:38-39)? Ada pula yang mengatakan Yesus tidak mati tetapi orang lain menggantikan-Nya. Pilatus menjadi saksi Yesus sudah mati sehingga kaki-Nya tidak perlu dipatahkan (Yoh. 19:33) sementara dua penjahat di dekat Yesus dipa-tahkan kakinya supaya mati pada hari itu (ay. 32).

Yesus sebagai Anak menjadi teladan sempurna sehingga Ia menjadi pokok kese-lamatan abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya (Ibr. 5:9).

Ingat, ketaatan kita kepada manusia (pendeta, ayah, ibu, atasan dst.) tidak mem-bawa kita kepada keselamatan jika kita tidak taat kepada Yesus dan Firman-Nya. Bagaimana kita mengenal Yesus? Tekunlah membaca Alkitab, dengan mengenal Yesus kita juga mengenal Allah Bapa (Yoh. 14:9).

  • Kepada hamba-tuan

Baik hamba maupun tuan harus taat dan rendah hati dalam posisinya masing-masing. Hal sama juga berlaku bagi hamba-hamba Kristus.

Yusuf, anak sulung Yakub dari Rahel, berumur 17 tahun ketika dijual oleh kakak-kakaknya menjadi budak di negeri Mesir (Kej. 37:28). Bagaimana ‘nasib’ dia sebagai budak di rumah Potifar dan di dalam penjara? Di mana pun dia berada, Tuhan menyertai dia dan apa yang dikerjakannya dibuat Tuhan berhasil (Kej. 39:2,23) berakhir menjadi penguasa di Mesir (Kej. 41:40-44).

Boas, orang kaya raya di Betlehem, menghormati pekerja-pekerja di ladangnya dan dibalas dengan penghormatan dari mereka (Rut. 2:4). Majikan yang takut akan Tuhan akan menganggap penting pegawai-pegawainya. Boas melihat Rut memungut bulir-bulir jelai di ladangnya dan mengetahui latar belakang kehidupan Rut (Rut. 2:5-7, 11-12). Akhirnya dia menikahi Rut dan lahirlah Obed (Rut. 4:13). Obed adalah ayah Isai, ayah Daud (ay. 17) nenek moyang Yesus (Mat. 1:1).

Yesus menjadi teladan sempurna walau dalam rupa Allah (Majikan) rela mengambil rupa seorang hamba dan menjadi manusia untuk taat mati disalib penuh peng-hinaan (Flp. 2:5-9). Di kesempatan lain Yesus sebagai Guru merendahkan diri dengan membasuh kaki para murid-Nya (Yoh. 13:4-5).

Karena Yesus tidak pernah menuntut diri setara dengan Bapa-Nya bahkan mengambil inisiatif serupa hamba (titik bawah dari kerendahan hati) untuk melepaskan dan mengangkat hamba-hamba dosa, Allah meninggikan Dia dan mengaruniakan Nama di atas segala nama (titik kulminasi/paling atas) yang mana di dalam Nama-Nya semua yang ada di langit, di bumi dan di bawah bumi bertekuk lutut serta segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan (Flp. 2:9-11).

Ternyata, sikap rendah hati menjadi hamba mengangkat kita menjadi raja bersama Dia selamanya (Why. 22:6-7,12). Bagaimana dunia melihat Yesus yang rendah hati melalui kita?

Betapa indahnya dampak kerendahan hati yang terjadi pada suami-istri, orang tua-anak, majikan-pegawai. Harus diakui untuk rendah hati tidaklah mudah karena sama dengan memikul salib tetapi ingat hasilnya seperti dialami jemaat Filadelfia yang menuruti Firman dan tidak menyangkal Nama-Nya (Why. 3:7-8, 11-12) kita beroleh jaminan masuk Yerusalem baru melalui tutur kata dan tingkah laku kita dalam hidup bermasyarakat. Sungguh alangkah bahagianya bila kita belajar rendah hati seperti Yesus! Amin.