Shalom,
Sesuai dengan tema “Menjadi Teman Yang Tulus”, kita sepakat pentingnya memiliki teman yang tulus untuk sebuah kebersamaan dalam keluarga, sekolah, kantor/perusahaan, gereja, masyarakat bahkan bernegara. Sebaliknya, betapa rapuhnya sebuah kebersamaan jika kita berkumpul namun tanpa ada ketulusan. Kebersamaai seperti itu akan diwarnai kepalsuan.
Di dunia yang kini semakin individualistik, menjadi teman yang tulus merupakan tantangan besar. Memang medsos memberikan sarana untuk membuat kita mudah terhubung satu dengan yang lain tetapi apakah hubungan tersebut tulus? Bukankah sering terdengar kisah persahabatan yang tiba-tiba retak karena ketidaktulusan? Keretakan ini juga dialami oleh jemaat dan pelayan imamat. Mereka tidak kebal dan tidak dapat terhindar dari gelombang ini. Kita semua ingin memiliki teman yang hadir tidak hanya di kala senang tetapi juga setia di saat sulit.
Introspeksi: sudahkah kita menjadi teman yang tulus? Jujur, sering pertemanan kita dengan orang-orang di sekitar masih banyak diwarnai dengan pamrih yang menodai hubungan persahabatan dan tentu ini tidak memuliakan Tuhan.
Bagaimana menjadi teman yang tulus?
- Setia kepada Tuhan.
Menemukan teman yang tulus bagaikan mencari permata di dasar lautan, sulit. Namun, sesungguhnya dasar dari ketulusan itu terletak pada kesetiaan kepada Tuhan.
Pemazmur mengaku bahwa “bagianku adalah TUHAN” (You are my portion = Engkaulah bagianku), maksudnya TUHAN (bukan harta, kekuasaan, keuntungan duniawi) menjadi pusat dan tujuan hidupnya. Kata ‘bagian (portion)’ bagi konteks bangsa Israel merujuk pada jatah, warisan atau milik yang berharga. Perlu diketahui dari 12 suku Israel, suku Lewi tidak menerima jatah tanah sebagai warisan karena TUHAN sendiri menjadi warisan mereka (Bil. 18:20).
Jadi, pernyataan “TUHAN-lah bagianku” sangat tepat diucapkan oleh suku Lewi, para imam dan pelayan Tuhan karena mereka sadar akan kerentanan hidupnya yakni tidak mempunyai pengharapan dalam hal pemenuhan kebutuhan duniawi berkaitan dengan warisan untuk masa depan mereka.
“Bagianku adalah TUHAN” adalah pernyataan iman yang kuat dari pemazmur. Dia tidak mencari bagian duniawi melainkan memilih TUHAN sebagai warisannya. Kemudian pemazmur bertekad berpegang pada Firman-Nya sebagai wujud tindakan nyata dari kesetiaannya kepada Tuhan. Firman Tuhan menjadi penyebab bahkan pembeda kualitas hubungan pribadinya dengan Tuhan. Mengapa? Karena pada Firman Tuhan itulah terletak aspek-aspek kekekalan yang tidak dapat ditemukan pada warisan harta duniawi.
Pemazmur paham betul dalam membedakan mana harta duniawi yang bernilai terbatas dengan Tuhan sebagai harta kekal yang tak terbatas. Kenyataannya, harta, kekayaan, kekuasaan, jabatan, kedudukan dan kehormatan terbatas oleh angka, waktu, tempat dan ruang. Oleh sebab itu pemazmur tidak condong memilih perkara duniawi melainkan Tuhan yang kekal.
Berbicara mengenai kesetiaan kepada Tuhan, kita juga menemukan teladan kisah tentang Rut dan Naomi. Dengan tulus Rut mengatakan, “Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku.” (Rut 1:16)
Rut meninggalkan segala kenyamanan kampung halamannya demi kesetiaan kepada Naomi. Kesetiaan Rut bukan sekadar di bibir tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Inilah gambaran sahabat yang tulus dan rela berkurban serta tetap setia walau di dalam penderitaan. Rut mengatakan hal itu kepada Naomi bukan saat Naomi sedang berjaya namun dalam tragedi keluarga ditinggal mati suami dan dua anaknya.
Dalam relasi pertemanan, ketulusan berakar dari kesetiaan pada komitmen yang tidak bergantung pada situasai. Teman yang tulus akan mengutamakan hubungan yang baik bukan kepentingan pribadi bahkan demi langgengnya hubungan tersebut terkadang diperlukan pengurbanan dan pengertian.
Introspeksi: sudahkah kita menjadikan Tuhan sebagai pusat dari hidup kita sehingga kita mampu menjadi teman yang tulus dan setia dengan sesama? Dalam hubungan sosial, kita belajar hadir menjadi pendengar saat teman dalam masalah. Faktanya, tidaklah mudah menjadi pendengar yang baik; sering kita malah menghakimi ketika teman curhat. Kalau kita setia kepada Tuhan, hati kita akan dipenuhi dengan kasih-Nya sehingga kita memperlakukan sesama dengan pandangan Tuhan. Kita memandang seorang berdosa dengan pandangan Tuhan bukan untuk menghukum tetapi orang itu perlu ditolong dan dibebaskan dari murka Tuhan. Jangan hadir memberikan perhatian saat teman dalam kondisi baik saja, hadirlah juga saat kondisi terpuruk. Jaga komitmen dalam hubungan yang dilandasi dengan nilai-nilai mulia sehingga kualitas pertemanan menjadi agung dan berharga.
Yesus mengatakan, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.’ (Yoh. 15:13) Yesus tidak hanya berbicara tetapi membuktikan kesetiaan dan kasih- Nya dengan mati di kayu salib demi menyelamatkan kita. Kesetiaan Kristus menjadi dasar kita belajar menjadi teman yang tulus.
Introspeksi: mampukah kita menjadi teman setia yang dapat diandalkan dalam segala situasi? Apakah hubungan kita dibangun dengan Firman Tuhan atau penuh kepentingan pribadi? Firman Tuhan memampukan kita memiliki kesetiaan yang memenuhi syarat menjadi teman yang tulus.
- Berani introspeksi diri (ay. 59).
Pernahkah kita merasa hubungan dengan sahabat menjadi renggang? Dalam situasi seperti itu biasanya kita mudah terpancing untuk terlebih dahulu menyalahkan, cepat menuding orang lain tanpa becermin pada diri sendiri.
Pemazmur menunjukkan sikap rendah hati dan mengintrospeksi atas perilakunya lalu sadar perlu berbalik kepada peringatan Tuhan. Setelah menyadari kesalahannya, pemazmur segera bangkit tanpa menunda waktu untuk menaati Firman Tuhan. Sikap cepat berbenah menunjukkan kerendahan hati dan kemauan untuk berubah. Jujur, bukankah dalam persahabatan kita sering gengsi atau malu untuk mengakui kesalahan? Teman yang tulus harus berani melakukan koreksi diri dan memperbaiki sikap demi menjaga hubungan tetap sehat.
“Aku memikirkan jalan-jalanku” merupakan tindakan reflektif yang sangat dalam. Pemazmur tidak berhenti hanya merenung melainkan dilanjutkan dengan tindakan nyata yakni “aku menghadapkan kakiku ke dalam peringatan-peringatan-Mu”. Inilah keseimbangan antara kesadaran diri dan langkah nyata untuk memperbaiki diri.
Kemauan introspeksi memerlukan kerendahan hati dan kemauan memperbaiki diri harus diwujudkan dalam perubahan sikap bukan sekadar angan-angan dan niat. Dalam persahabatan harus ada keberanian untuk mengakui kesalahan dan segera memperbaiki diri bukan malah sibuk mencari pembenaran diri.
Yesus mengajarkan sikap introspeksi dan mengampuni kesalahan, kata-Nya, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat. 7:3)
Yesus memberikan teladan sempurna dalam introspeksi dan tindakan nyata. Ia datang bukan hanya menunjukkan kesalahan tetapi juga membawa kita kepada pertobatan dan pengampunan. Buktinya Ia menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib menjadi jalan pemulihan antara manusia dan Allah. Jika Yesus rela mengampuni, mengapa kita sulit untuk meminta maaf dan sulit pula untuk memperbaiki diri?
Ingat, introspeksi tanpa tindakan hanyalah wacana yang numpang lewat di angan-angan dan kualitasnya sama dengan pemikiran kosong. Sebaliknya, tindakan tanpa introspeksi dapat menjadikan langkah kita keliru. Marilah kita merenungkan jalan hidup kita dan segera mengambil langkah memperbaiki diri untuk menjadi sahabat yang tulus sesuai kehendak Tuhan.
- Membangun persekutuan yang menguatkan (ay. 63-64).
Walau pemazmur menghadapi tekanan dan tantangan dari orang fasik (ay.61), dia tetap berpegang pada Firman Tuhan bahkan di tengah malam memilih bangun untuk mengucap syukur bukan meratapi masalah. Pemazmur juga menyadari pentingnya bersahabat dengan orang-orang yang takut akan Tuhan. Ini bukan sekadar pertemanan biasa tetapi ada ikatan spiritual dilandasi oleh rasa hormat dan ketaatan kepada Tuhan. Persekutuan semacam ini memperkuat iman karena didasari oleh kasih dan Firman Tuhan. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya komunitas yang saling mendukung dalam iman dengan memilih bergaul dengan orang-orang yang setia kepada Tuhan. Perhatikan, hubungan yang sehat harus dibangun di atas iman yang kuat. Ilustrasi: sebatang kayu yang dibakar sendiri akan cepat padam. Namun jika dibakar dengan kumpulan kayu lain akan menghasilkan nyala api yang lebih besar dan bertahan lebih lama. Begitu juga dengan iman, saat kita berkumpul dengan orang-orang yang sama-sama takut kepada Tuhan, iman kita dibangun lebih kuat dan tidak mudah padam.
Aplikasi: di dalam berjemaat kita perlu komunitas-komunitas iman untuk membangun persekutuan yang saling menguatkan. Kita menjaga persekutuan ini agar tumbuh aktif dan sehat untuk memperkuat iman individu juga menjadi berkat bagi orang lain. Contoh: Yesus memilih para murid bukan hanya untuk diajar tetapi juga dibentuk menjadi komunitas yang kuat dan siap memberitakan Kerajaan Allah. Ia berpesan kepada mereka yang siap diutus supaya sifat tulus digunakan berbarengan dengan sifat cerdik karena mereka akan menghadapi bahaya (Mat. 10:16-18).
“Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisah atau dihilangkan salah satunya dalam pelayanan. Bila berdiri sendiri-sendiri, kecerdikan ular tidak lebih daripada kelicikan dan ketulusan seekor merpati tidak lebih daripada kelemahan dan kebodohan. Namun jika keduanya digabungkan, kecerdikan ular akan menyelamatkan dari kemungkinan bahaya dalam memberitakan Kerajaan Allah dan ketulusan merpati akan mencegah anak-anak Tuhan dari cara-cara berdosa dalam usaha meloloskan diri dari bahaya saat memberitakan Firman Tuhan.
Perhatikan, ketika kita merespons panggilan mengikut Yesus, kita adalah pemberita Kerajaan Allah. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala. Dapat dibayangkan domba yang bodoh dikelilingi oleh serigala yang ganas! Di mana kekuatan domba yang lemah itu? Untuk itu perlu cerdik dengan belajar tanpa mengenal umur. Kita perlu memiliki karakter tulus, polos, murni, tidak bercela, bersih dalam kelakuan disertai cerdik, bijaksana, arif, hati-hati, mempunyai cara pikir yang sehat untuk dipergunakan bersama-sama.
Introspeksi: sudahkah kita memiliki sikap dan karakter tulus dibarengi cerdik seperti yang Yesus inginkan? Kalau belum, maukah kita meminta kepada Yesus yang sudah menyediakannya bagi kita supaya kita menjadi teman yang tulus? Yesus telah terlebih dahulu memberikan diri-Nya untuk membuktikan diri sebagai sahabat yang tulus.
Marilah kita menjadi teman yang tulus ditandai dengan kesetiaan kepada Tuhan, kerendahan hati untuk mau memperbaiki diri, komitmen membangun persekutuan untuk saling menguatkan mencontoh teladan Yesus yang adalah Sahabat sejati bagi gereja-Nya. Amin.