Shalom,
Hendaknya kita memuji Tuhan yang layak diagungkan bukan sekadar menyanyi karena melodi dan lirik lagunya indah. Bagaimana dengan keagungan Tuhan yang dilukiskan oleh pemazmur 113?
Mazmur 113 diawali dengan kata “haleluya” yang diserukan sekuat-kuatnya. Hendaknya suara keras ini tidak didengar hanya di dalam gereja tetapi menggaung di luar gereja pula. Mengapa kata “haleluya (= terpujilah nama Tuhan)” begitu kuat diserukan beberapa kali hingga di akhir tulisan Mazmur 113 ini? Kita sering memuji Tuhan oleh karena kebaikan juga kehebatan-Nya dalam menciptakan alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Namun kita diminta untuk memuji Dia dengan pengertian lengkap.
Apa makna/pengertian ayat 5-6, “Siapakah seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi?”
Siapa dapat menjangkau Tuhan yang berdiam di tempat (maha)tinggi walau sekarang ilmuwan berlomba menjangkau bulan dan planet Mars seolah-olah ingin menyaingi Tuhan yang menciptakan langit dan bumi? Rasul Paulus mengatakan bahwa Surga tempat Allah bersemayam terdiri dari tiga tingkat (2 Kor. 12:2). Mampukah pekik suara pujian “haleluya” kita terdengar oleh-Nya nun jauh di sana?
Perlu diketahui yang diam di tempat mahatinggi ialah Yesus, cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud-Nya, yang setelah mengadakan penyucian dosa duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar di tempat yang tinggi (Ibr. 1:1-3). Ia lebih tinggi dari semua malaikat dan mereka harus menyembah Dia (ay. 4-6). Ini berkaitan dengan kedatangan- Nya yang kedua kalinya. Sekarang Yesus, Sang Firman, duduk di sebelah kanan Sang Allah dan pujian yang kita naikkan tidaklah sia-sia. Bagaimana mungkin? Karena Ia merendahkan diri (KBBI: dekat ke bawah, hina, nista) untuk melihat ke langit dan ke bumi. Dengan kata lain Ia yang dimuliakan merelakan diri untuk dihina, dicaci maki, dihujat dan difitnah. Ia merendahkan diri untuk melihat yang di langit dan di bawah itulah manusia hina yang penuh dengan kegagalan.
Pertanyaan: mengapa ada orang hina dan menderita? Apakah Tuhan menciptakan penderitaan? Sama sekali tidak, karena Allah menciptakan semua dengan sangat baik (Kej. 1:31) bahkan manusia diciptakan menurut gambar-Nya (ay. 27). Jadi, tidak mungkin Allah menciptakan manusia untuk menderita dan mengalami kekurangan serta kesusahan.
Bila semuanya baik dan langit, tempat tertinggi di mana Allah bertakhta, mengapa Ia harus turun ke bawah? Karena Ia melihat kondisi manusia yang kehilangan kesatuan nikah, tidak lagi ada keharmonisan dalam rumah tangga belum lagi penderitaan dalam keuangan, pekerjaan, kesehatan dll. Semua ini terjadi akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa karena ketidaktaatan mereka akan perintah Allah. Namun oleh karena kasih-Nya, Allah melihat ke bawah dan merendahkan diri mengirim Anak Tunggal-Nya, Yesus, turun ke dunia.
Yesus menjadi teladan sempurna dalam kerendahan hati, kata-Nya, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat. 11:29)
Dapat dibayangkan Yesus yang sudah enak dan nyaman di tempat tinggi rela merendahkan diri turun ke bumi untuk menyelamatkan kita! Seberapa jauh dan dalam kerendahan hati yang dimiliki Yesus?
- Sebagai Gembala yang baik, Ia rela memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (Yoh. 10:11). Ia seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian tanpa membuka mulutnya (Yes. 53:7).
- Sebagai Guru, Ia menanggalkan jubah-Nya, mengikatkan kain lenan di pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi lalu membasuh kaki murid-murid-nya dan menyekanya dengan kain lenan yang terikat pada pinggang-Nya (Yoh. 13:4-5). Ia menjadi pelayan/hamba bagi mereka.
Introspeksi: bila kita yang dahulu tanah liat penuh dengan kesalahan kemudian diselamatkan oleh karena anugerah-Nya, adakah kerendahan hati dalam diri kita melihat keluarga dan teman di sekitar masih penuh debu dosa? Seberapa jauh kita rendah hati? Faktanya, kita terlalu mempertahankan kedudukan dan prestasi sehingga sulit menurunkan ego kita untuk rela berkurban bagi orang lain.
- Di hadapan Pilatus, Yesus, Pemilik Kerajaan Surga, tidak ditemukan kesalahan sedikit pun dan tidak membela diri minta dibebaskan tetapi rela disalahkan bahkan dihukum mati (Yoh. 18:36-37,38b; 19:4,6,16a) demi menciptakan Kerajaan Surga yang kekal selama-lamanya.
Bagaimana Tuhan membentuk manusia agar rendah hati?
Ia melihat manusia masih suka berbantah-bantah dan marah tidak suka ditegur kesalahannya seperti Ayub yang diingatkan oleh Elihu (Ay. 33:1-5). Elihu menegaskan bahwa di hadapan Allah, dia sama dengan Ayub yang dibentuk dari tanah liat (ay. 6).
Tuhan berkuasa mengangkat manusia yang asalnya dari debu tanah tetapi jangan bersikap seperti Ayub yang menganggap dirinya benar (Ay. 32:1) kemudian marah dan mengutuki hari kelahirannya (Ay. 3:1) bahkan menyesal tidak mati waktu lahir (ay. 11). Ayub merasa dirinya bersih, tidak melakukan pelanggaran, suci, tidak ada kesalahan (ay. 8); akibatnya ketika mengalami ujian, dia menganggap Allah mengambil haknya (Ay. 34:5) dan membiarkan dia menderita sebagai hukuman. Akhirnya Tuhan sendiri yang menyadarkan Ayub dari kesombongannya sehingga Ayub mencabut perkataannya serta menyesal duduk dalam debu dan abu karena mengenal Tuhan secara pribadi bukan mendengar dari orang lain (Ay. 42:5-6).
Sungguh tidak ada seorang pun yang rendah hati melebihi Yesus yang turun dari Surga ke bumi menjadi manusia dan rela mati di kayu salib (Flp. 2:8) demi menyelamatkan manusia berdosa. Musa yang diakui Allah sebagai manusia yang rendah hati pun (Bil. 12:3) gagal mempertahankannya karena marah lalu tidak menghormati kekudusan Allah di hadapan orang Israel berakibat tidak masuk Kanaan (Bil. 20:12).
Apa maksud dari “Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur (dunghill, refuse heap = tumpukan kotoran manusia) untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan,” (Mzm. 113:7-8)?
Rasul Paulus mengaku setelah mengenal Kristus Yesus, dia melepaskan semua atribut yang dahulu dibangga- banggakannya bahkan menganggapnya seperti dung/kotoran manusia (Flp. 3:8). Oleh sebab itu Tuhan memakai dia yang rendah hati bahkan rela mati demi Tuhan.
Sungguh tak terbayangkan Ia tidak hanya mengangkat kita (dari debu dan kotoran) yang sama sekali tidak layak untuk didudukkan bersama para bangsawan (princes = putra-putra mahkota) di tempat mahatinggi. Satu kali kelak kita (yang tetap rendah hati) diangkat menjadi raja-raja dan memerintah bersama-Nya dalam kerajaan seribu tahun.
Selanjutnya, “Ia mendudukkan perempuan mandul di rumah sebagi ibu anak-anak, penuh sukacita.” (ay. 9)
Kita, orang kafir, dianggap mandul (bnd. Yes. 54:1-3) karena hidup nikah yang semrawutan tetapi oleh anugerah Tuhan kita diselamatkan dan beroleh keturunan untuk dibimbing dan dipersiapkan pada hidup nikah yang baik.
Selain memuliakan Tuhan di tempat yang mahatinggi, kita juga diajar merendahkan diri (mencontoh Tuhan) untuk melihat “ke bawah” – memerhatikan dan peduli kepada mereka yang masih berkubang dalam lumpur dosa agar mereka juga mengalami pengangkatan beroleh keselamatan dan satu kali kelak duduk sebagai raja-raja memerintah bersama-Nya di dalam kerajaan seribu tahun. Amin.