Shalom,
Tema kita kali ini “Pertolongan bagi yang terbuang” diambil dari Mazmur 102 yang bernadakan depresi mengungkapkan perasaan sedih yang dialami orang Israel ketika berada di pembuangan. Banyak peneliti Alkitab memperkirakan peristiwa ini terjadi saat pembuangan di Babel.
Di masa pembuangan, Bait Allah di Yerusalem hancur, kota Yerusalem hancur dan orang-orang yang tinggal di dalamnya dibuang keluar oleh Raja Nebukadnezar sehingga mereka tersebar dan terpencar tidak mempunyai negara/tanah air sebab ibu kota mereka (Yerusalem) tinggal puing-puing.
Mazmur 102 merupakan doa orang sengsara yang lemah lesu (overwhelmed = kewalahan, tidak sanggup lagi) dan mencurahkan pengaduhannya (bukan sungutan menyalahkan Tuhan) ke hadapan Tuhan. Umumnya dalam kondisi sengsara, kita mengaduh karena ada perasaan sakit menjepit membuat kita kewalahan lalu kita menceritakan keadaan kepada Tuhan.
Dalam keadaan terbuang, pemazmur mengalami sengsara tidak ada lagi teman atau orang yang dapat diajak diskusi kecuali Tuhan. Untung, di dalam sengsara dia masih beriman kepada Tuhan. Namun kesannya Tuhan sepertinya jauh menyembunyikan wajah-Nya dari dia dan tidak mau mendengar doanya.
Orang yang melihat wajah Tuhan adalah orang yang hidup dalam berkat seperti perintah Allah kepada Harun ketika mendoakan berkat (perlindungan, kasih karunia dan damai sejahtera) bagi orang Israel (Bil. 6:23-27). Sayang, pemazmur tidak melihat wajah Tuhan berarti dia hidup dalam kutuk. Semua ini terjadi karena geram dan marah-Nya Tuhan (ay. 11). Memang saat bangsa Israel mau memasuki Kanaan, Musa memberikan dua pilihan kepada mereka: hidup dalam berkat karena mengasihi Tuhan dan menuruti perintah-Nya atau mati dalam kutuk karena beralih setia dari-Nya (Ul. 30).
Apa yang terjadi bagi orang yang terbuang, sengsara menderita karena hidup dalam kutuk?
Hari-harinya seperti asap, tulang-tulangnya membara seperti perapian (ay. 4). Asap kelihatan sebentar dan langsung hilang lenyap. Hari-harinya tidak ada maknanya – baru sedikit melakukan sesuatu sudah tertiup angin dan hilang. Hari-hari berjalan cepat, terburu-buru tetapi tidak ada kemajuan; semua berjalan sia-sia bagi dirinya dan bangsanya.
Hatinya terpukul dan layu seperti rumput (ay. 5). Dalam budaya Ibrani, hati tidak hanya bicara tentang perasaan/emosi tetapi mencakup keseluruhan bagian manusia termasuk di dalamnya pemikiran, intelektualitas dan pengambilan keputusan. Hati adalah sumber kehidupan kita dalam merencanakan sesuatu, menilai dan mengambil keputusan.
Hati pemazmur terpukul sehingga dia tidak dapat berpikir apalagi mengambil keputusan; bahkan dia mengaku tidak dapat tidur dan lupa makan roti. Akibatnya, dia menjadi kurus tinggal tulang belulang (kulit pembalut tulang) tidak memiliki kekuatan.
Pemazmur mengatakan dia menyerupai burung undan di padang gurun dan burung ponggok pada reruntuhan (ay. 7). Burung pundan dan burung ponggok adalah simbol kesunyian (Zef. 2:14). Di ayat lain, Tuhan murka atas segala bangsa termasuk Edom dan mengutuk mereka sehingga kota yang tadinya ramai menjadi hancur, tinggal burung undan menjadi penghuninya (Yes. 34:11).
Lebih lanjut pemazmur mengatakan dia tidak bisa tidur dan menjadi seperti burung pipit (sparrow) yang terpencil di atas sotoh rumah (ay. 8). Umumnya burung pipit hidup berkelompok dan terbang mencari makan bersama- sama namun di sini dikatakan sendirian sehingga menjadi sasaran empuk bagi predator. Singkatnya, pemazmur hidup merana tidak mempunyai teman dan tidak bisa tidur; batin/hatinya tidak ada perhentian karena hidup dalam kutuk.
Pemazmur juga mengatakan bahwa sepanjang hari dia dicela oleh musuh-musuh dan orang mempermainkan dia serta menyumpah-nyumpah (ay. 9). Dia tidak memiliki apa-apa lagi, yang ada hanyalah permusuhan dan pelecehan. Sehari-hari kerjanya berkabung seperti adat orang Yahudi saat berkabung, seseorang duduk di atas abu, menaruh abu di kepala dan mengoyakkan pakaiannya (bnd. 2 Sam. 13:19; Est. 4:1).
Pemazmur menyadari semua ini terjadi karena marah dan geram-Nya Tuhan terhadap bangsanya yang telah lalai memegang perjanjian dan ketetapan Tuhan. Dia merasa hari-harinya seperti bayang-bayang memanjang menuju kegelapan total di malam hari dan layu seperti rumput. Dia sedang mendekati akhir hidupnya dan tidak ada lagi masa depan baginya – tidak ada kekuatan, tidak ada semangat, tidak dapat berpikir, tidak ada selera makan, tidak mempunyai teman, tidak ada perhentian dan damai, tidak ada sukacita dan tidak ada hubungan dengan Tuhan.
Introspeksi: apakah kita juga merasakan hal semacam itu? Kita terhitung dalam kumpulan orang terbuang karena masalah utang, keluarga dan dosa yang mengikat?
Bagaimana kita dapat lepas dari dosa yang mendarah daging sementara Tuhan seakan-akan tidak mendengar doa kita? Doa kita tidak segera dijawab dan kita kembali tergoda lalu jatuh. Apapun yang terjadi, walau hidup tidak lagi berarti, miliki iman kepada Tuhan walau tidak/belum melihat wajah-Nya!
Pemazmur kemudian menyandingkan keadaannya dengan keadaan Tuhan. Nadanya berubah dari suasana depresi menjadi pengharapan akan Tuhan yang dia yakini. Dia mengaku hidup dalam kutuk tetapi Tuhan yang bersemayam untuk selama-lamanya dan penuh kasih akan menolong Sion (ay.13-14).
Apa yang Tuhan lakukan terhadap orang-orang yang terbuang?
- Ia menyayangi orang-orang yang terbuang.
Tuhan selalu menyayangi Sion walau mengizinkan kutuk menimpa mereka sehingga hancurnya Bait Suci, pusat ibadah Israel, bahkan kota Yerusalem sendiri. Namun pemazmur percaya bila sudah tiba saatnya, TUHAN (YHWH) sendiri akan menolong Sion.
“Menyayangi” adalah perwujudan dari kasih setia Tuhan. Ia tidak sekadar memiliki perasaan kasih kepada Israel (manusia) tetapi juga komitmen. Kasih Tuhan diwujudkan dengan pemulihan Israel yang telah menyimpang dan tersesat dari jalan-Nya. Sesuai dengan nubuat Yeremia, Tuhan menepati janji-Nya den mengembalikan bangsa Israel ke Yerusalem dari pembuangan Babel setelah 70 tahun (Yer. 29:10).
Apa maksud dari “hamba-hamba-Nya sayang kepada batu-batunya” (ay. 15)? Batu-batu bangunan Bait Allah yang tadinya berdiri tegak nan teguh hancur menjadi puing-puing. Bukankah kita adalah batu hidup yang digunakan untuk proyek pembangunan rumah Tuhan (1 Ptr. 2:5)?
Introspeksi: sudahkah hamba Tuhan mengasihi jemaat yang bergabung menjadi bagian dari rumah Tuhan? Atau melihat mereka bagaikan “batu” keras yang tidak dapat diatur bahkan menyakiti kita? Ingat, “batu” yang keras ini pun dicintai oleh Tuhan. Setiap jemaat Tuhan sangatlah berharga di mata-Nya dan disayang oleh-Nya sebab mereka diperoleh dengan darah Anak-Nya sendiri (Kis. 20:28).
Bagaimana dengan kita, jemaat gereja, melihat “batu-batu” di sekeliling kita? Sudahkah kita mengasihi mereka? Atau kita tidak tahan lagi di tengah puing-puing yang kasar tidak karuan kemudian pindah ke tempat lain yang batu-batunya tampak lebih mudah diatur dan bentuknya sinkron semua sehingga mudah disusun? Firman Tuhan mengingatkan agar kita mengasihi batu-batu Sion yang dibangun menjadi Bait Allah. Jangan ke gereja hanya sebagai penikmat Tuhan – ingin merasakan hadirat Tuhan di gereja. Perhatikan, dalam beribadah kita bukan mencari hadirat Tuhan tetapi memberikan/menyerahkan hidup kita kepada-Nya. Jangan pula hanya menjadi penikmat gereja karena kita menyukai musiknya yang asyik dan Firmannya yang memotivasi sehingga keluar gereja serasa menjalani terapi psikologi!
Perhatikan, pemazmur tidak larut dalam keterbuangannya; walau dalam kondisi depresi dan tertekan berat, dia masih mengingat Tuhan dan Sion. Bagi kita sekarang, di tengah-tengah keterpurukan dan keterbuangan kita, masihkah kita mengingat Tuhan dan gereja-Nya – gereja Am yang universal? Sudahkah kita berdoa bagi gereja sebelah yang banyak mengambil jemaat kita? Berdoa untuk gereja yang sedang dilanda masalah keuangan maupun skandal seks? Manusia boleh lalai dan lemah tetapi kita harus tetap mencintai gereja Tuhan. Dengan kata lain, hendaknya kita juga menyayangi apa yang disayangi oleh Tuhan.
- Ia memulihkan orang yang terbuang.
Dikatakan Tuhan membangun (kembali) Sion dan menampakkan diri dalam kemuliaan-Nya (ay. 17) membuat bangsa-bangsa menjadi takut akan Nama Tuhan dan semua raja di bumi takut akan kemuliaan-Nya (ay. 16). Bila Tuhan berkarya begitu dahsyat, orang-orang (yang tidak mengerti) melihat hal tersebut menjadi takut seperti orang Yerikho yang melihat bangsa Israel melewati sungai Yordan yang kering menjadi takut dan gemetar (Yos. 2:9-11).
Pemulihan Sion adalah bukti bahwa Tuhan mendengarkan doa orang bulus (destitute = miskin, terhina, terlantar, terbuang).
Walau Sion telah dipulihkan, kondisi orang terbuang masih tetap sama sehingga Tuhan menggerakkan hati Raja Artahsasta agar mereka kembali ke Yerusalem membangun Bait Allah dan tembok kota (Ez. 1; Neh. 2:6- 9).
Pertanyaan: berapa orang yang kembali ke Yerusalem? Ternyata tidak semua orang Israel kembali ke Yerusalem, hanya mereka yang hatinya digerakkan Allah (Ez. 1:5). Total yang pulang ke Yerusalem ± 50.000 orang (Ez. 2). Selama belum ikut kembali ke Sion, mereka tidak akan ikut menikmati pemulihan itu. Pemulihan Sion membutuhkan respons dari orang yang terbuang.
Maukah kita kembali ke Bait Allah kepada penyembahan yang benar, memegang perkataan Firman Tuhan dan melakukannya dengan tepat? Atau kita merasa lebih nyaman tinggal di ‘Babilon” sudah beradaptasi dengan keadaan kita sekarang? Waspada kalau kita tidak mau merespons pemulihan yang sudah disediakan! Ilustrasi: orang lumpuh yang berbaring di di serambi kolam Betesda menunggu goncangan air kolam untuk nyemplung di dalamnya agar beroleh kesembuhan (Yoh. 5). Dia telah menunggu selama 38 tahun tanpa ada hasil. Lama kelamaan dia sudah beradaptasi dengan keadaannya. Waktu Yesus bertemu dengannya dan bertanya apakah dia mau sembuh, dia tidak langsung mengiyakan tetapi malah menyalahkan orang lain yang tidak menolongnya (ay. 7). Orang lumpuh ini tidak merespons pemulihan dengan tepat. Namun Yesus masih berkemurahan memberikan kesempatan kedua dan menyuruhnya bangun serta mengangkat tilam lalu berjalan. Kali ini orang lumpuh tersebut merespons dengan benar dan sembuhlah dia.
Apa jawaban kita yang sedang terpuruk (depresi, terkutuk, terikat olah dosa yang mematikan) ketika Tuhan yang siap memulihkan bertanya apakah kita mau ditolong? Kita tidak perlu mengemukakan banyak alasan tetapi tunjukkan respons yang tepat dengan mengerahkan kekuatan yang ada untuk menyambut pertolongan- Nya.
- Ia memakai orang yang terbuang (ay. 16).
Bukankah pemulihan Sion membuat bangsa-bangsa takut akan Tuhan? Namun Tuhan tidak mau berhenti di sini, Ia ingin bangsa-bangsa bahkan generasi-generasi mendatang, termasuk bangsa kita dan keturunannya, mengerti dan mengenal siapa Tuhan serta memuji-muji Dia (ay. 19).
Ternyata bangsa terbuang yang terlibat di dalam pemulihan Sion dipakai untuk menceritakan Nama TUHAN agar bangsa-bangsa yang tadinya takut dan gemetar boleh datang bersama-sama dengan umat Tuhan memuji dan menyembah-Nya di Yerusalem (ay. 20-23).
Introspeksi: sudahkah kita yang dipulihkan Tuhan menyaksikan kedahsyatan Tuhan kepada keluarga dan keturunan kita juga kepada orang-orang di sekitar agar mereka mengenal siapa Tuhan itu?
Pemazmur mengakhiri tulisannya dengan mengagungkan Tuhan, Pencipta alam semesta, yang tetap ada dan sama selamanya juga anak hamba-hamba-Nya diam dengan tenteram dan ada di hadapan-Nya (ay. 24-29).
Maukah hidup kita dipulihkan? Jangan larut dalam kondisi terbuang kemudian pasrah dengan keadaan semacam itu. Berimanlah kepada Tuhan yang berkuasa memulihkan asal kita merespons dengan benar apa yang dikehendaki-Nya. Seusai dipulihkan kita tidak boleh berdiam diri tetapi memberitakan Nama Tuhan agar banyak orang/bangsa mengenal Dia dan diselamatkan oleh-Nya. Amin.