Shalom,
Hendaknya kita tetap semangat dan bersukacita di dalam mengiring Tuhan sekalipun saat menghadapi kesulitan hidup. Kita tetap berpengharapan walau di dalam keputusasaan.
Mazmur 88 merupakan nyanyian dari bani Korah yang direnungkan dan diajarkan oleh Heman, orang Ezrahi kepada pendengar saat itu (juga kita sekarang) bagaimana tetap memiliki pengharapan walau di tengah keputusasaan.
Pemazmur mengajarkan kita bagaimana memahami masalah yang dihadapi dan bagaimana menyikapinya, yakni:
- Pergumulan menghadapi persoalan berpotensi atau bahkan dapat membuat kita putus asa. Siapa dari kita tidak pernah berputus asa, patah semangat dan tidak berpengharapan? Ada yang putus asa di bidang studi/sekolah, pekerjaan, keluarga (broken-home) dst. Artinya setiap manusia (termasuk kita orang percaya) tidak terlepas dari permasalahan. Namun kehadiran Bapa Surgawi dan Roh Kudus di dalam kehidupan kita membuat kita tidak berputus asa walau kita sempat lemah.
Tulisan Mazmur 88 menunjukkan bagaimana pemazmur mengalami pergumulan luar biasa – tekanan hidup sepanjang hari dan jiwanya kenyang dengan malapetaka bahkan hidupnya sudah dekat dengan dunia orang mati. Permasalahan datang bertubi-tubi dan kenalan-kenalannya menjauh darinya. Dia tertindas dan menjadi incaran maut sejak kecil serta menanggung kengerian yang membuatnya putus asa (Ay. 16). Memang dia masih hidup tetapi seperti orang mati yang tak berdaya sama sekali.
Introspeksi: pernahkah kita mengalami musibah dan malapetaka mengerikan membuat kita putus asa tidak berpengharapan? Berserulah kepada Tuhan satu-satunya Pribadi yang dapat diandalkan!
Siapa pemazmur bani Korah ini? Alkitab tidak mencatat secara spesifik tentang latar belakang pergumulan yang dihadapinya, tetapi ada tokoh Alkitab yang kondisinya mirip dengan yang apa yang disampaikan oleh pemazmur, itulah Ayub. Ayub mengalami peristiwa tragis karena hanya dalam satu hari yang sama masalah datang bertubi-tubi menimpanya padahal dia adalah orang saleh, jujur dan takut akan Tuhan (Ayb. 1:1). Dan herannya semua ini terjadi seizin Tuhan (ay. 12).
Apa yang terjadi dengan Ayub yang kaya raya ini? Suatu hari dia sedang mempersembahkan kurban bakaran untuk anak-anaknya yang suka berpesta karena dia khawatir mereka berbuat berdosa. Tiba-tiba hambanya datang memberitahukan dia bahwa lembu sapi dan keledainya dirampok orang, kambing domba dan penjaga- penjaganya disambar api dari langit, unta-unta dan penjaganya diserbu orang Kasdim, anak-anaknya yang sedang pesta diserang angin ribut hingga rumahnya rubuh dan mereka semua mati (ay. 14-19).
Dapat dibayangkan betapa shocked-nya Ayub mendengar berita tragis ini! Apa reaksinya? Walau dia sangat berdukacita karena kematian semua anaknya juga seluruh harta bendanya ludes, dia masih dapat mengatakan, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (ay. 21)
Introspeksi: mampukah kita memuji Tuhan ketika kita dirundung kemalangan dan malapetaka hebat? Jujur, bukankah kita menjadi stres berat ketika sebagian dari barang yang kita kumpulkan dengan susah payah hilang dicuri orang. Hendaknya kita mencontoh sikap Ayub yang tetap memuji Tuhan walau dia dalam suasana berkabung.
Ternyata masalah yang dialami Ayub belum berhenti, Iblis masih tidak terima dan memberikan pencobaan lagi kepadanya dengan menimpakan penyakit barah yang busuk dari telapak kaki sampai ke batu kepalanya (Ay. 2:7). Ayub sangat menderita sehingga dia mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya (ay. 8). Dalam kondisi yang sangat mengenaskan ini, Ayub tetap setia kepada Tuhan. Dia tidak putus asa, justru orang-orang dekatnya melemahkan imannya bahkan istrinya mendorong dia untuk mengutuki Allahnya (ay.9). Namun Ayub masih dapat menjaga perkataan yang keluar dari mulutnya dan akhirnya istrinya belajar dari pengalaman Ayub (walau tidak mengerti) dia tidak meninggalkan Ayub hingga Ayub mengalami pemulihan. Teman-teman Ayub berusaha menghiburnya dan sempat nada Ayub meninggi bahkan hampir menyalahkan Tuhan tetapi pada akhirnya dia menarik semua perkataannya karena tahu Tuhan berkuasa atas hidupnya. Kisah Ayub berakhir happy karena Tuhan memulihkan keadaannya dan memberikan dua kali lipat harta kekayaan serta 10 anak. Semua ini terjadi karena Ayub mempunyai pengharapan kepada Tuhan.
Memang tidak disebutkan berapa lama Ayub menjalani masa penderitaan hingga dipulihkan sementara pemazmur mengalami pergumulan dan tekanan sejak kecil dan parahnya dia mengetahui bahwa permasalahan yang dialaminya bersumber dari Tuhan (Mzm. 88:8-9). Pemahaman yang sama juga dimiliki tiga sahabat Ayub yang mengatakan kepadanya bahwa hukuman dan masalah dari Tuhan terjadi oleh sebab Ayub berbuat dosa.
Pembelajaran: Tuhan mengizinkan masalah dan tekanan hidup menimpa kita tetapi Ia tidak pernah mendatangkan kejahatan kepada kita (Yak. 1:17,13). Persoalan datang karena keinginan manusia sendiri (ay. 14). Iblislah yang mencobai Ayub memakai sarana: alam, perampok dll. untuk menjatuhkannya.
Kalau manusia melakukan dosa, bukan Allah tetapi manusia itu sendiri yang dirugikan (Ayb. 35:8). Namun bagaimana dengan Ayub yang menghadapi pergumulan bukan karena kesalahan yang diperbuatnya? Sekali lagi jangan salah sangka terhadap Tuhan tetapi kita perlu introspeksi ketika permasalahan melanda hidup kita. Kalau memang bukan karena kesalahan dan dosa yang kita perbuat, ini berarti iman kita sedang diuji untuk dimurnikan oleh Tuhan. Contoh: orang buta sejak lahir bukan disebabkan oleh dosa orang tuanya atau dosa orang itu sendiri tetapi supaya kemuliaan Allah dinyatakan di dalam dia (Yoh. 9:3). Jelas sekarang, saat menghadapi pergumulan apa pun, kalau ini disebabkan karena kesalahan kita, datanglah kepada Tuhan dan minta ampun kepada-Nya. Namun kalau ini merupakan ujian bagi kita, mohonlah pertolongan dari-Nya dan tetaplah berharap pada-Nya karena Dia Sumber pengharapan kita.
Mengapa pemazmur merasa Tuhan menyembunyikan wajah-Nya darinya (ay. 15)? Yang menjadi pemisah antara Tuhan dan manusia ialah kejahatan dan dosa kita (Yes. 59:1-2). Pemazmur telah menjadi incaran maut sejak kecil (ay. 16) dan maut muncul karena dosa. Bagaimanapun juga pemazmur masih memiliki pengharapan kepada Tuhan; dia tidak kecewa atau marah kepada Tuhan tetapi datang meminta pertolongan kepada-Nya.
- Hanya Tuhanlah yang menjadi pengharapan dan sumber kekuatan yang mampu menyelamatkan kita (ay. 2).
Pemazmur mengenal Tuhan dan percaya Ia sanggup membuat keajaiban-keajaiban (ay. 11) untuk menunjukkan keadilan dan kesetiaan-Nya (ay. 12-13). Pemazmur berdoa setidaknya tercatat tiga kali meminta Tuhan mengulurkan tangan-Nya kepadanya (ay. 2, 10b, 14). Pengenalan akan TUHAN dinyatakan melalui doa kepada-Nya.
Aplikasi: hendaknya kita mengenal Tuhan dan tidak cepat menyerah bila seruan doa kita masih belum dijawab oleh-Nya. Tetaplah mengutamakan Tuhan dan jangan mencari pertolongan kepada manusia sehebat apa pun dia. Memang kita membutuhkan pertolongan dokter ketika sakit namun Tuhanlah yang menentukan sembuh atau tidaknya kita dari penyakit itu. Mintalah hikmat dari Tuhan untuk jalan keluar dalam menyelesaikan masalah yang berat dan sulit sekalipun. Tentu kita boleh berputus asa tetapi jangan terus menerus tenggelam dalam keputusasaan. Sebaliknya, kita harus bangkit karena ada pengharapan di balik keputusasaan. Percayalah Tuhan yang setia pasti menjawab doa kita seturut waktu dan cara-Nya asal permohonan kita sesuai dengan kehendak-Nya.
Pemazmur sendiri dalam kondisi kritis bagaikan berada di dunia orang mati (ay. 11-13) dan ingin menunjukkan fakta bahwa orang mati tidak lagi dapat bersyukur atau mempunyai kesempatan untuk percaya kepada Tuhan. Alkitab memberikan contoh perumpamaan orang kaya dan Lazarus yang miskin. Kedua-duanya mati, orang kaya menderita sengsara di alam maut dan memohon Lazarus yag berada di pangkuan Abraham untuk mengingatkan lima saudaranya yang belum mengenal Tuhan agar mereka bertobat dan tidak menderita seperti dia kalau mati. Namun Abraham menegaskan jika mereka yang masih hidup tidak mau mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi maka percuma diyakinkan oleh orang yang bangkit dari kematian sekalipun (Luk. 16:19-31). Dengan kata lain, selama kita masih hidup, kita masih ada kesempatan untuk bertobat dan bersyukur apa pun kondisi kita. Selain itu kita harus memberitakan kesetiaan dan keadilan Tuhan supaya banyak jiwa boleh percaya dan mengenal Tuhan.
Benarkah Tuhan menjawab permohanan doa pemazmur? Sangat dimungkinkan Tuhan tidak menjawab doanya terlihat dari ayat-ayat terakhir tulisannya yang mana kegelapan menjadi temannya (ay. 19). Memang Tuhan berkuasa menolong, menyembuhkan maupun memulihkan tetapi Ia mungkin saja tidak melakukannya. Apakah ini berarti Tuhan jahat dan tidak sayang kepada pemohon doa? Percayalah Ia mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Contoh: ketika mendoakan kesembuhan bagi orang yang sakit keras, ternyata Tuhan malah memanggil dia kembali kepada-Nya alias meninggal. Dengan demikian si sakit tidak menderita lama di dunia tetapi dia bebas dari penderitaan dan hidup bersama dengan Tuhan. Hanya orang percaya kepada Tuhan yang mampu menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya. Yakinlah Ia memiliki rencana indah dan membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pkh. 3:11) sebab Ia turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang percaya kepada-Nya (Rm. 8:28). Jadi, jangan memahami Tuhan baik bila semua keinginan kita dikabulkan tetapi ingatlah bahwa pengharapan kita bukan hanya untuk perkara di dunia ini tetapi pengharapan sejati kita berkaitan dengan kekekalan.
Apa pun bentuk pergumulan kita di dunia ini, tetaplah bersyukur kepada Tuhan. Kalaupun Tuhan tidak (segera) menolong kita, tetaplah memuji Dia karena pengharapan agung kita ialah di Surga sana. Hendaknya kita tetap beriman seperti iman Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang tidak goyah walau seandainya Allah tidak menolong mereka dari ancaman dilempar ke perapian yang menyala-nyala (Dan. 3:17). Juga ada tokoh-tokoh iman yang diberikan kemenangan (Ib. 11:32-35a) namun ada pula yang tetap setia kepada Tuhan walau mereka menderita bahkan mati syahid dan tidak memperoleh apa yang dijanjikan di dunia ini (ay. 35b-40) sebab pengharapan mereka pada kekekalan.
Demikian pula dengan kita, pengharapan kita tertuju pada kehidupan kekal bersama Allah. Pengharapan itu bagaikan sauh kuat yang telah dilabuhkan di belakang tabir (Ibr. 6:19). Kita tidak perlu khawatir dengan ombak pergumulan di dunia ini asal kita tetap berpegang pada pengharapan tersebut. Kita dapat berkata, “Sekalipun melewati lembah kekelaman/bayang-bayang maut, aku tidak takut bahaya sebab Tuhan besertaku.” (Mzm. 23) Kita tidak perlu lagi takut dengan kematian/maut yang terus memperhamba seumur hidup kita sebab kematian Yesus telah memusnahkan Iblis yang berkuasa atas maut sehingga kita bebas dari rasa takut terhadap maut (Ibr. 2:14-15; Rm. 7:24-25). Dengan demikian, kematian justru akan menjadi peralihan bagi kita, orang percaya, untuk masuk ke dalam kehidupan kekal.
Akhirnya, berbahagialah kita yang tetap percaya dan bersandar kepada-Nya karena kita mempunyai pengharapan walau di dalam keputusasaan sebab Ia adalah sumber kekuatan yang mampu menyelamatkan kita. Amin.