Shalom,
Akhir-akhir ini ada berita viral tentang seorang artis yang cukup menarik perhatian Pembicara karena bermarga Manurung sama seperti marga keluarga Pembicara. Artis ini minta maaf kepada keluarga dan masyarakat Indonesia dengan alasan khilaf ketika ketahuan selingkuh. Ironis, baru saja minta maaf dia kemudian menggugat cerai istrinya. Sebentar terlihat baik namun tiba-tiba bersikap buruk. Inilah gambaran kita, manusia berdosa, yang labil dalam ketidaksetiaan. Namun cara berpikir seperti ini tidak boleh disamakan dengan Allah karena kesetiaan Allah adalah atribut diri-Nya yang tidak datang ketika diupayakan untuk setia tetapi memang sudah ada sejak dari kekekalan. Sifat kesetiaan-Nya tidak pernah dapat berubah.
Kalau begitu seperti apa kesetiaan Allah yang tidak pernah berubah menurut Mazmur 44?
- Kesetiaan-Nya sudah terbukti di masa lalu (ay. 1-9)
“Untuk pemimpin biduan. Dari bani Korah. Nyanyian pengajaran. Ya Allah, dengan telinga kami sendiri telah kami dengar, nenek moyang kami telah menceritakan kepada kami perbuatan yang telah Kaulakukan pada zaman mereka, pada zaman purbakala. Engkau sendiri dengan tangan-Mu telah menghalau bangsa-bangsa tetapi mereka ini Kaubiarkan bertumbuh; suku-suku bangsa telah Kaucelakakan tetapi mereka ini Kaubiarkan berkembang….Dengan Engkaulah kami menanduk para lawan kami, dengan nama- Mulah kami menginjak-injak orang-orang yang bangkit menyerang kami….Engkaulah yang memberi kami kemenangan terhadap para lawan kami, dan orang-orang yang membenci kami Kauberi malu…”
Bangsa Israel terkenal dengan budaya oral tradition – kisah di masa lalu yang disebarkan/diberitakan turun temurun dari mulut ke mulut oleh orang yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda. Buktinya, bani Korah yang menulis Mazmur 44 ini adalah generasi kesekian puluh dari generasi Korah yang melayani Tabernakel di zaman Musa. Namun mereka masih mengingat peristiwa yang sudah terjadi ratusan tahun lalu yang dialami oleh nenek moyang mereka.
Kemudian pemazmur ini melanjutkan nyanyiannya, “Namun Engkau telah membuang kami dan membiarkan kami kena umpat, Engkau tidak maju bersama-sama dengan bala tentara kami. Engkau membuat kami mundur dari pada lawan kami dan orang-orang yang membenci kami mengadakan perampokan…..walaupun Engkau telah meremukkan kami di tempat serigala dan menyelimuti kami dengan kekelaman. Seandainya kami melupakan nama Allah kami dan menadahkan tangan kami kepada allah lain masakan Allah tidak akan menyelidikinya? Karena Ia mengetahui rahasia hati!” (ay. 10-22)
Ternyata pemazmur mengalami kondisi terpuruk – dibuang, diumpat, dikalahkan, dirampok dst. Pikiran manusiawi akan muncul apakah Allah sudah berubah menjadi tidak setia? Apakah pemazmur juga berpikiran demikian? Saat itu bangsa Israel berada di pembuangan tetapi bani Korah menggubah kisah itu menjadi syair dan diberikan kepada pemimpin biduan untuk menyanyikan bahwa Allah itu setia (ay. 2).
Pembelajaran: hendaknya kasih setia Allah di masa lalu tidak menjadi kenangan/nostalgia semata. Justru sejarah (masa lalu) membuat kita mengerti bahwa Allah itu setia dan tidak pernah berubah.
Ironisnya, generasi masa kini tidak tertarik bila kita menceritakan kisah masa lalu dan menganggapnya sudah berlalu, beda dengan kondisi sekarang sehingga kita harus move on. Benarkah masa lalu harus tinggal kenangan saja? Sama sekali tidak! Rasul Paulus mengingatkan, “Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci.” (Rm. 15:4)
Jelas, peristiwa di masa lalu menjadi pelajaran bagi kita supaya kita mempunyai pengharapan untuk masa depan. Jadi peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir masuk ke tanah Kanaan dan mengusir bangsa-bangsa lokal jangan hanya menjadi kenangan sebab kita beroleh pelajaran rohani darinya. Setidaknya dari Mazmur 44:1-9 kita mendapatkan pelajaran tentang konsistensi Allah yang selalu menggenapi janji-Nya. Bukankah Allah telah berjanji kepada Abraham ratusan tahun sebelumnya (Kej. 17:8) kemudian kepada Musa puluhan tahun berikutnya (Kel. 3:17) digenapi dengan masuknya bangsa Israel ke tanah perjanjian dipimpin oleh Yosua?
Ilustrasi: saat seseorang meminjam uang kepada kita, wajahnya tampak tulus memelas dan berjanji akan mengembalikan tepat waktu. Kita terkesan dengan sikapnya yang baik dan meminjaminya uang. Namun begitu ditagih, dia tidak nongol, WA tidak dibalas, rumahnya ditutup tidak ada orang yang membukakan dst. Lalu bulan depan dia datang untuk pinjam uang lagi, apakah kita akan meminjaminya lagi? Kita memutuskan orang yang mempunyai riwayat tidak memenuhi janji tidak layak dipercaya. Inilah kita!
Memang Allah menggenapi janji-Nya tetapi generasi pertama gagal meraih janji Allah karena pemberontakan mereka di sepanjang perjalanan di padang gurun. Melalui peristiwa ini kita beroleh pelajaran bahwa manusia tidak siap meraih janji Tuhan. Demikian pula saat bangsa Israel tinggal di Kanaan, mereka malah berkembang banyak melalui kawin campur dengan bangsa-bangsa yang dihalau itu (Hak. 3:5-7). Allah tetap konsisten dengan janji-Nya tetapi manusia mempersulit diri sendiri. Allah ingin membuat mereka bertumbuh dan berkembang dengan cara-Nya tetapi sangat disayangkan mereka justru mengambil jalan sendiri berakibat kehancuran. Peristiwa ini menjadi bagian ratapan dan tangisan dari bani Korah ketika mereka dibuang ke Babel.
Introspeksi: sungguhkah Allah berubah? Apa sebenarnya yang sering membuat kita menderita? Bukan Allah tidak memerhatikan tetapi kita mengalami penderitaan dan kesulitan karena ulah kita sendiri. Bukankah kita sering merasa risih dan tidak mau mendengarkan teguran atas kesalahan yang kita perbuat? Kita malah menganggap orang yang mengingatkan kita terlalu mencampuri urusan kita. Perhatikan, Tuhan tidak pernah menghalang-halangi kebahagiaan kita; sebaliknya, Ia merancangkan damai sejahtera dan masa depan penuh harapan (Yer. 29:11).
Pemazmur juga mengakui dengan tulus dan jujur bahwa peristiwa kemenangan dan keberhasilan nenek moyang mereka di masa lalu adalah karena Allah (ay. 4). Contoh: runtuhnya tembok Yerikho bukan karena alat-alat perang tetapi hanya mengelilingi kota itu disertai tiupan sangkakala.
Pelajaran penting dari peristiwa di masa lalu menurut Mazmur ini ialah kita menyadari bahwa setiap kebaikan dan keberhasilan yang kita alami bukan karena kemampuan dan keakuan kita tetapi semata-mata karena Tuhan. Dengan demikian, kita tidak perlu berbangga diri; sebaliknya, kita tahu berterima kasih dan membutuhkan Tuhan. Kenyataannya, lebih banyak ditemukan orang yang selalu mengeluh ketimbang orang yang tahu berterima kasih. Dan biasanya orang yang tidak tahu berterima kasih merasa semua yang dia peroleh dan miliki oleh sebab kemampuannya sendiri bukan karena bantuan orang lain maupun karena Tuhan. Rasul Paulus menjelaskan kepada Timotius bahwa salah satu dosa di akhir zaman ini ialah tidak tahu berterima kasih (2 Tim. 3:1-2).
Aplikasi: hendaknya kita berterima kasih dengan didikan dan teguran Firman Tuhan melalui orang-orang di sekitar walau terkadang menjengkelkan karena semua itu mengajarkan kita untuk tidak sombong dan tahu berterima kasih. Orang yang tidak tahu berterima kasih akan mudah menyalahkan orang lain atau kondisi yang ada atas kemalangannya. Misal: menyalahkan kondisi dilahirkan dari keluarga miskin, menyalahkan suami yang tidak dapat mencari nafkah atau istri yang tidak dapat mengatur keuangan dst. Bila kita tahu berterima kasih kepada Tuhan, kita pasti akan melibatkan Dia di setiap langkah kita karena kita merasa tidak mampu tanpa- Nya. Hati-hati kalau mempunyai banyak gelar, usaha sukses, kecantikan dan ketampanan fisik, tetaplah ingat semua itu karena pemberian dari Tuhan!
Jelas, kesetiaan Allah yang tidak pernah berubah telah terbukti di masa lalu sehingga kita tidak perlu meragukan Tuhan. Bagaimana dengan kesetiaan-Nya di masa kini?
- Kesetiaan Allah juga nyata di masa kini (ay. 10-27).
Bagian kedua dari Mazmur ini merupakan kenyataan yang berbanding terbalik dari kenangan akan perbuatan Allah di masa lalu. Kondisi generasi sesudahnya jauh berbeda daripada generasi nenek moyang mereka. Bangsa Israel sedang mengalami keterpurukan saat pembuangan di zaman Ezra dan Nehemia atau sudah lepas dari pembuangan tetapi mereka masih tetap menjadi cemooh dan sindiran.
Di masa lalu Allah berpihak dan membela Israel tetapi kemudian terlihat Ia sepertinya membiarkan mereka mengalami kesulitan. Apakah ini berarti Allah berubah tidak setia dan tidak konsekuen dengan kesetiaan-Nya? Allah adalah setia dan tidak pernah berubah, kita saja yang keliru memberikan penilaian terhadap keadaan yang sedang dihadapi saat ini.
Keadaan ini menggambarkan tentang kenyataan hidup semua orang pada umumnya juga hidup orang percaya pada khususnya bahwa hidup senang atau susah; berhasil atau gagal; baik atau buruk terjadi silih berganti dalam hidup kita. Ini wajar saja sehingga tidak perlu ditangisi tetapi bersikaplah seperti bani Korah yang tidak melupakan Allah, tidak mengkhianati perjanjian-Nya dan tidak menyimpang dari jalan-Nya (ay. 18).
Tahukah keadaan terbuang ini bukan hanya seizin Allah tetapi ini merupakan tindakan-Nya yang dilakukan dengan sadar dan sengaja. Faktanya, banyak orang ketika mengalami kesulitan justru meninggalkan Tuhan. Jangan kita diracuni pikiran teologi kemakmuran yang mengatakan Allah tidak akan membuat kita susah berpegang pada ayat Yeremia 29:11 padahal rancangan kesulitan juga inisiatif dari-Nya untuk mendidik kita agar bersedia menerima sesuatu “yang buruk” dari-Nya.
Marilah kita belajar dari kisah Naomi yang seizin Tuhan mengalami pahitnya kehidupan (Rut 1:1-3). Dia hidup di zaman hakim-hakim (diangkat oleh Allah) dan saat itu terjadi kelaparan hebat. Ironis, ada pemimpin- pemimpin yang dibangkitkan oleh Allah tetapi Allah ‘membiarkan” terjadinya kelaparan seakan-akan Ia tidak hadir. Bahkan suami dan kedua anaknya mati. Apa penyebab kematian seseorang? Bukan karena sakit, kecelakaan dll. tetapi karena Tuhan mengambil nyawanya. Jelas, Allah sengaja membuat Naomi berduka dan bangsa Israel kelaparan. Namun janda Naomi ini tetap setia dan mengasihi Tuhan. Dia tidak minta dikasihani tetapi tetap kuat dan menyuruh kedua menantunya pulang ke rumah ibu mereka dan mendoakan mereka, “TUHAN kiranya menunjukkan kasih-Nya kepadamu..” (ay. 8)
Aplikasi: marilah kita memperbaiki pola pikir kita; bila Tuhan memberikan kita kesulitan, ini bukan untuk menghancurkan kita tetapi sedang menguji kita. Jangan kita menyalahkan orang lain apalagi Tuhan kemudian meninggalkan-Nya hanya karena Ia tidak segera menolong kita. Kita harus mengerti perbuatan-perbuatan Allah yang baik atau yang buruk tidak ada kaitannya dengan meninggalkan atau mengikut Tuhan.
Kita juga belajar dari kisah Ayub yang dengan tegas mengatakan kepada istrinya, “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ay. 2:10).
Melalui perenungan Mazmur 44, kita makin mengerti bahwa dalam keadaan senang maupun susah, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita sebab kasih setia-Nya tidak pernah berubah. Keadaan dan waktu bisa berubah tetapi kasih setia Tuhan kekal selamanya. Amin.