Meradang (kasih itu tidak cemburu) 1 korintus 13:4
Nancy adalah seorang lajang berumur sekitar empat puluh tahun. Ketika teman-temannya mengobrol tentang popok dan sekolah serta seluk beluk kehidupan berkeluarga, dia hanya mendengarkan dan tersenyum.
Teman-temannya mengendarai minibus ke kantor, dia mengemudikan mobil kecil dan makan sendirian sepanjang waktu serta merasa canggung ketika menghadiri pesta nikah maupun pesta menyambut kelahiran seorang anak.
Orang-orang ingin tahu mengapa dia tidak menikah, apa ada yang salah dan tidak beres dengannya. Mereka tidak berani bertanya kepadanya tetapi mata mereka mengungkapkannya.
Sebagai staf gereja, dia hanya mengangguk ketika para anggota gereja menceritakan kisah-kisah liburan keluarga dan pengalaman-pengalaman piknik para suami istri. Nancy melewatkan Natal tahun lalu di rumah orang tuanya lalu mengendarai sendiri mobilnya pulang ke rumah. Pada dasarnya dia senang berpesiar tetapi kesulitan mendapatkan teman untuk bepergian. Bagaimana dia dapat mengasihi keluarga gereja jika mereka telah memiliki apa yang diinginkannya?
Terkadang ia merasa rapuh pada waktu malam. Dia merasa malu menghadiri berbagai pesta seorang diri. Dia harus mengatasi rasa cemburu, bukan marah atau kebencian membara, hanya cemburu. Sekelumit kekesalan timbul terhadap perempuan-perempuan yang memiliki apa yang tidak dipunyainya.
Ia masygul. Hati-hati, apa yang sekarang merupakan percikan api, besok dapat berubah menjadi kebakaran. Bukankah kebakaran hebat suatu rumah berasal dari lidah-lidah api kecil yang menari-nari di pinggiran gorden, di jumbai karpet lalu merambat ke sofa dst.? Bila kita mengerti pola perkembangan api, kita pasti tidak akan membiarkan lidah api menyala liar yang akan meludeskan rumah dengan cepat. Hal yang sama berlaku pada hati kita, api kecil di dalam hati yang tidak terkekang akan meledak menghabiskan segala sesuatu yang dapat dihabiskannya. Apa nama api itu? Salomo menggambarkannya sebagai berikut, “…Kegairahan (jealousy = cemburu) gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api.” (Kid. 8:6)
Rasul Paulus juga melihat akibat dari cemburu/iri hati yang tak terkendalikan; itu sebabnya dia menegaskan, “Kasih itu tidak cemburu (envy = iri hati).” (1 Kor. 13:4) Lihatlah saudara-saudara Yusuf, dimulai dari kelip api persaingan antarsaudara berkembang menjadi nyala api besar – iri hati (Kej. 37:11) – menyebabkan Yusuf dimasukkan ke sumur kering, dijual menjadi budak di Mesir bahkan dipenjara.
Bagaimana dengan orang-orang Farisi? Apakah mereka jahat? Kriminal? Pembunuh? Tidak! Mereka adalah para pendeta dan guru pada zaman itu. Namun apa yang mereka lakukan terhadap Yesus? Mereka menyerahkan Yesus karena dengki/envy (Mat. 27:18). Iri hati juga terjadi antargereja, sering hamba Tuhan tidak bersyukur kepada Allah melihat gereja lain diberkati dengan gedung besar dan anggota jemaat banyak. Mereka lupa bahwa gereja itu gereja-Nya bukan gereja mereka; pekerjaan itu adalah pekerjaan-Nya bukan pekerjaan mereka.
Apa nasihat Firman Allah berkaitan dengan iri hati? Mazmur 37:1,3 menuliskan, “…jangan iri hati….Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik.”
Apa obat dari iri hati? Percaya kepada-Nya. Dan apa penyebab iri hati? Curiga. Buktinya, anak-anak Yakub tidak memercayai Allah sanggup mencukupi kebutuhan mereka; orang-orang Farisi tidak memercayai Allah untuk menyelesaikan masalah mereka; hamba Tuhan tidak memercayai Allah memperluas Kerajaan-Nya dst.
Apa akibat dari iri hati?
- Kesepian.
Salomo mengatakan, “Kemarahan itu kejam dan menghancurkan seperti air bah tetapi tak seorang pun tahan terhadap cemburu!” (Am. 27:4 NCV) Siapa mau melewatkan waktu dengan orang bodoh (ay. 2) yang iri hati?
- Penyakit.
Orang bijak menulis, “Hati yang tenang menyegarkan tubuh tetapi iri hati membusukkan tulang.” (Ams. 14:30)
- Kekerasan.
Yakobus 4:2 menyatakan, “Kamu mengingini sesuatu tetapi kamu tidak memperolehnya lalu kamu membunuh; kamu iri hati tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi…”
Bagaimana kelanjutan dari Nancy? Ini kisah yang dituturkannya:
Tinggal beberapa hari pesta Natal tahunan staf gereja tiba. Aku merasa aku akan menjadi salah satu dari beberapa lajang yang hadir. Pikiran itu begitu mengganggu…aku sungguh tidak ingin pergi! Namun ketika berdoa, aku sadar bahwa Allah ingin aku pergi dan DIA ingin menjadi pasanganku. Aku tidak tahu bagaimana hal ini dapat terjadi tetapi aku mulai berdoa bahwa aku akan mengenali kehadiran-Nya di sampingku setiap saat dan aku akan memancarkan kehadiran-Nya. Jadi, “kami” pergi ke pesta.
Ketika “kami” masuk dan berjalan dari ruangan ke ruangan, aku beramah-tamah memberi semangat kepada orang-orang yang aku lihat dan benar-benar berbuat untuk mendahulukan orang lain. Ketika “kami” meninggalkan tempat pada malam hari dan masuk ke dalam mobilku untuk melakukan perjalanan pulang yang panjang, tangisku meledak…air mata sukacita dan kepedihan. Aku bersukacita karena merasakan kedamaian dan kehadiran Yesus secara nyata meskipun ada kepedihan karena melajang.
Keesokan harinya, seorang teman mampir di kantorku dan berkata, “Aku memerhatikanmu di pesta dan ingin tahu apakah terlalu berat bagimu berada di sana sendirian. Namun aku ingin mengatakan kepadamu bahwa kamu memancarkan sukacita Allah malam itu.”
Sejak itu, aku menghadiri tak terhitung banyaknya pernikahan, resepsi, reuni kelas dan pesta dengan Yesus sebagai pasanganku. Harus kuakui ini tidak mudah tetapi aku tahu bahwa di dalam setiap peristiwa, imanku tumbuh. Yesus itu nyata dan kehadiran-Nya begitu riil bagiku. Aku terus bertumbuh dalam pengertian apa makna bermitra dengan-Nya setiap hari dalam hal-hal kecil maupun besar serta apa artinya Dia menjadi kekasih jiwaku yang selalu hadir dan bersedia menemaniku.
Perhatikan, Allah tidak mengabulkan apa yang kita inginkan agar dapat memberikan apa yang kita butuhkan. Anda menginginkan seorang pasangan hidup, Ia memberikan diri-Nya sendiri. Anda mencari gereja yang lebih besar, Ia menyukai gereja yang lebih kuat. Anda ingin disembuhkan agar dapat melayani, Ia ingin Anda ‘terpenjara’ sehingga Anda dapat berdoa. Begitulah kesaksian Joni Eareckson Tada. Tiga dasawarsa setelah kecelakaan waktu menyelam yang menyebabkan tangan dan kakinya lumpuh, dia dan suaminya berkunjung ke Yerusalem. Dengan duduk di atas kursi roda, Joni teringat akan kisah orang lumpuh yang disembuhkan Yesus di kolam Betesda. Tiga puluh tahun lalu dia telah membaca kisah itu dan meminta agar Yesus melakukan hal yang sama baginya.
Hari itu di Yerusalem, Joni berterima kasih kepada Allah bahwa Dia telah menjawab doa yang lebih tinggi. Joni sekarang melihat kursi rodanya sebagai bangku doa dan rasa sakitnya sebagai berkat. Seandainya Allah menyembuhkannya, ribuan doa tak akan dilakukannya karena dia sangat sibuk. Dia dapat menerimanya dengan legawa. Iri hatinya pudar oleh rasa terima kasih ketika ia menyerahkan keinginannya kepada Allah.
Nancy memercayai Bapanya dengan kelajangannya, Joni memercayai Bapanya melalui kelumpuhan dan Susie memercayai bapanya dengan mutiara-mutiaranya. Pada usia 6 tahun, harta miliknya yang paling berharga adalah seuntai mutiara. Kenyataan bahwa mutiara-mutiara itu imitasi tidaklah menjadi soal baginya. Susie memakainya ke mana saja dan bermain dengannya setiap hari.
Susie sangat mencintai mutiara-mutiara itu, dia juga mengasihi ayahnya. Bisnis ayahnya sering menyebabkannya pergi selama berhari-hari. Kepulangan ayahnya merupakan hari yang amat dinantikan untuk bermain bersamanya.
Pada saat ayahnya menemaninya untuk tidur, dia mengajukan pertanyaan ini,”Apakah kau mencintai Ayah?” yang langsung dijawab, “Ya, Ayah, aku mencintai Ayah lebih dari segalanya!” Ayah berhenti sejenak, “Lebih dari mutiara-mutiara itu? Apakah kamu mau memberikan mutiara-mutiaramu kepada Ayah?”
“Oh, Ayah, aku tak dapat melakukannya. Aku sangat mencintai mutiara-mutiara itu.”
“Ayah mengerti,” kata Ayah kepadanya dan memberinya ciuman malam.
Sebelum tertidur, Susie teringat pada permintaan ayahnya. Bangun tidur, ia mengingatnya lagi dan permintaan itu terus berada di ingatannya sepanjang hari. Akhirnya pada malam harinya, dia menemui ayahnya sambil membawa mutiara-mutiara itu, “Ayah, aku mencintai ayah lebih daripada ini. Ini, ambillah.”
“Aku sangat senang mendengarnya,” kata ayah sambil berdiri dan membuka tas kopernya. “Ayah membawa hadiah untukmu.”
Susie membuka kotak kecil pipih dan menahan napas. Mutiara..mutiara asli.
Tahukah Anda, Bapa Anda juga ingin memberi mutiara kepada Anda? Dia menawarkan kasih sejati dan pengabdian-Nya sungguh nyata namun Dia tidak akan memberikan Anda yang asli sampai Anda menyerahkan yang imitasi. ‘Mutiara-mutiara’ dan ‘perhiasan’ tidak berharga apa yang ingin Anda serahkan untuk ditukar dengan hadiah tertinggi dan termahal dari Allah? Jika Anda bersedia, kecemburuan Anda akan lenyap dan api iri hati mati apabila kasih sejati diterima.
Disadur dari: A Love Worth Giving by Max Lucado