Kesukaan Maria memang berada di kaki Yesus. Ketika Yesus berkunjung ke rumahnya, Maria berada di dekat kaki- Nya, pandangannya hanya tertuju kepada Tuhan-Nya dan telinganya terus menerus mendengarkan Firman-Nya. Sepertinya tak ada yang disukainya selain itu – berada dekat Tuhan dan mendengarkan apa yang difirmankan-Nya. Tanpa memedulikan apa yang dikatakan saudaranya, ia tetap saja berada di situ bahkan mendapat pembelaan dari Tuhan.
Kesukaan Maria memang di dekat kaki Yesus. Kini disertai rasa syukur tak henti-hentinya karena Yesus telah menghibur keluarganya dari dukacita mendalam dengan membangkitkan saudaranya, Lazarus, setelah empat hari meninggal dunia. Rasanya tidak ada sesuatu pun dapat diberikan untuk membalas semua kebaikan-Nya… Ia kemudian menemukan sesuatu berharga yang dimilikinya itulah sebotol narwastu yang sangat mahal dan harum. Diambilnya botol itu, dipecahkannya dan semua isinya dicurahkan ke kaki Yesus. … Yudas mencelanya, mungkin beberapa yang lain juga melakukan hal sama walau hanya dalam hati tetapi Maria tetap tidak memedulikannya. Dan lagi-lagi Yesus membelanya bahkan seolah-olah berterima kasih kepada Maria karena dengan melakukan hal itu, pengurbanan-Nya akan selalu dikenang sepanjang masa.
Kaki yang sama itu beberapa hari kemudian terpaku dan berdarah. Bukan saja kaki-Nya tetapi juga kepala, kedua tangan dan lambung-Nya. Setiap kita melihat “kaki” yang pernah tertancap di kayu salib, yang berdarah karena dosa dan kesalahan kita, bukankah kita teringat kembali akan kaki yang pernah diurapi, dimuliakan oleh seorang wanita yang sangat menghargai dan menghormati-Nya? Seorang yang memberikan prioritas hidupnya, waktunya, uangnya, apapun yang berharga darinya untuk Juru Selamat-Nya?
“B’riku hati untuk menyembah-Mu, b’riku hati untuk mengurapi-Mu, b’riku hati memuji-Mu dan mengasihi Engkau, seperti wanita yang datang mengurapi-Mu….”