• Editorial 984, 20 Oktober 2024

"Siapakah seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? Mazmur 113:5-6

Bayangkan ketika Anda sedang santai di rumah di Minggu siang tiba-tiba ada seseorang mengetuk rumah Anda. Segera Anda membuka pintu dan melihat Pak Prabowo, presiden Republik Indonesia ke-8, berdiri di depan rumah ingin bertamu sebentar. Apa respons pertama yang muncul? Beragam respons muncul dan dirangkum menjadi satu pertanyaan, “Mengapa dan ada apa orang nomor 1 di Indonesia muncul di rumahku?”

Menghadapi kondisi tersebut, hati kita pasti penuh dengan perasaan terkejut karena tidak pernah menduga ada orang sehebat itu bertamu di rumah kita. Perasaan kita campur baur, kita senang karena kedatangannya membuat kita terhormat. Namun kita juga takut karena kondisi rumah yang kurang berkenan untuk kelas Pak Presiden. Jika dengan pak Presiden saja kita merasa seperti itu, lebih-lebih lagi bagaimana kita merespons kehadiran TUHAN?

“Haleluya! Pujilah, hai hamba-hamba TUHAN, pujilah nama TUHAN! Kiranya nama TUHAN dimasyhurkan, sekarang ini dan selama-lamanya.” (ay. 1-2)

Itu adalah respons pertama pemazmur menyambut TUHAN! Hai jiwaku, pujilah TUHAN! Tidak ada kata lain yang dapat kita berikan selain pujian kepada TUHAN yang hadir dalam kehidupan kita. Kita sebagai orang lemah, tidak berdaya dan rendah wajib merespons kehadiran TUHAN dengan sukacita.

Terlebih lagi karena TUHAN yang Mahatinggi (El-Elyon) (ay. 4) hadir untuk menjemput kita dan mengaruniakan hadirat-Nya kepada kita (ay. 5-6) serta mengangkat derajat kita karena kasih-Nya! (ay. 7- 9)

Atas semua hal tersebut, pemazmur memberi satu kata yang dapat menggambarkan kemurahan TUHAN. Haleluya! Hai jiwaku, pujilah TUHAN!

Sudahkah kita merespons kehadiran-Nya dengan puji-pujian kita?

“Haleluya! Biarlah jiwaku memuji Engkau, memuji segala kemurahan-Mu, memuji kasih-Mu, memuji hadirat-Mu! Tak henti-hentinya jiwaku bersyukur kepada-Mu. Hai jiwaku, pujilah TUHAN!”