• Editorial 981, 29 September 2024

“Tolonglah aku, ya TUHAN, Allahku, selamatkanlah aku sesuai dengan kasih setia- Mu supaya mereka tahu bahwa tangan-Mulah ini, bahwa Engkaulah, ya TUHAN, yang telah melakukannya.”  Mazmur 109:26-27

Mazmur ini diawali dengan perikop “Doa seorang yang kena fitnah”. Perikop ini menggambarkan jeritan Daud melawan musuh-musuh yang menyerangnya. Ia menghadapi senjata lawan yang paling kuat, yakni lidah.

Bagaimana rasanya difitnah oleh seseorang? Fitnah, gosip, serta omongan-omongan jahat adalah sesuatu yang tidak terlihat namun cukup dirasakan. Perang fisik dapat dilihat kasatmata tetapi perang ‘lidah’ tidak terlihat oleh mata namun cukup mematikan. Hal ini diungkapkan Daud di ayat 2-3.

Fitnah juga menjadi senjata Absalom saat menjatuhkan ayahnya, Daud. Ia berperang dengan lidah mengungkapkan kata-kata kebencian untuk Daud. Absalom secara konsisten menjelek-jelekkan Daud, memfitnah pemerintahan Daud sehingga banyak rakyat memihak kepadanya (2 Sam. 15:1-12). Kebencian yang dimiliki oleh seseorang akan semakin berlipat seiring berjalannya fitnah dan gosip.

Apakah Daud dapat melawan? Tentu bisa namun Daud memutuskan menghindar dari pertempuran yang tidak perlu. Ia tidak ingin berpegang pada kekuatan sendiri. Daud tetap beriman kepada TUHAN!

“Tetapi Engkau, ya ALLAH, Tuhanku, bertindaklah kepadaku oleh karena nama-Mu, lepaskanlah aku oleh sebab kasih setia-Mu yang baik!” (ay. 21)

Bahkan dalam kesengsaraan, Daud tetap berpegang pada kemahakuasaan TUHAN. Daud beriman terhadap kasih setia TUHAN yang terus memberkatinya (ay. 28-29).

Bagaimana dengan kita? Ketika seseorang memfitnah kita, apakah kita akan menghabiskan waktu kita untuk ‘mengklarifikasi’ serta ‘meluruskan’ dengan kekuatan tangan kita? Atau kita berpegang pada kekuasaan dan kehebatan TUHAN?