• Editorial 976, 25 Agustus 2024

“Aku hendak menyanyi bagi TUHAN selama aku hidup; aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.” Mazmur 104:33

Hati penulis Mazmur 104 begitu penuh melimpah ruah ketika melihat kebesaran Tuhan. Sejak menulis kalimatnya yang pertama dia telah mengungkapkan kata-kata penuh kekaguman, “Pujilah TUHAN, hai jiwaku! TUHAN Allahku, Engkau sangat besar!”

Ia melihat ke atas….. pada keajaiban ciptaan-Nya, pada terang yang diciptakan-Nya, pada tata surya di langit, matahari, bulan dan bintang, awan, samudera raya yang membentang luas, pada gunung-gunung yang menjulang tinggi… pada tumbuh-tumbuhan yang hijau dan pada hewan ..semua itu diperuntukkan bagi manusia ciptaan yang sangat dikasihi-Nya.

Allah kemudian menempatkan manusia di taman yang diciptakan untuk mengusahakan dan memeliharanya.

Dari kata-kata yang ditulisnya, kita dapat merasakan getaran hatinya yang penuh rasa syukur dan kekaguman pada kebesaran TUHAN Allahnya.

Ia dapat melihat bahwa TUHAN bukan saja menciptakan alam semesta dengan segala isinya tetapi juga bagaimana Dia memelihara semua ciptaan-Nya dengan hikmat dan penuh kasih. Tidak ada satu pun dari ciptaan-Nya luput dari perhatian-Nya. Siklus air untuk kelangsungan hidup semua makhluk, makanan untuk tumbuhan, hewan dan manusia terjaga pada waktunya hingga semua terpelihara dan hidup oleh karena-Nya.

Bukankah kita pun tergetar ketika kita merenungkan semua itu? Lalu setelah manyadari kebesaran, kebaikan dan kasih setia-Nya, apa yang harus kita lakukan untuk merespons kasih setia-Nya? Seorang penulis lagu ikut merasakan kekaguman pada Tuhan dengan mengutip kata-kata dari Mazmur 104 dalam syair lagunya, "Inilah yang kurenungkan, setiap waktu. Nyanyian pujian dan kekaguman kepada-Mu,… Biarlah manis Kau dengar Tuhan, manis Kau dengar Tuhan, biar hatiku bersuka karena-Mu.”