• Editorial 919, 2 Juli 2023

“Persembahkanlah syukur sebagai korban kepada Allah dan bayarlah nazarmu kepada Yang Mahatinggi!” (Mzm. 50:14)

Tema Minggu lalu “Muliakan Allah dengan Kurban Syukur” yang diambil dari Mazmur 50 merupakan nyanyian gubahan Asaf bin Berekhya (keturunan Lewi) yang mengajak kita untuk merefleksikan kembali apa makna ibadah bagi hidup kita. Tidak hanya di saat-saat istimewa, namun pada keseharian hidup kita. Pada Mazmur 50 ini Asaf berbicara tentang kemegahan TUHAN Allah yang senantiasa berfirman dan menjaga bumi dengan segala keagungannya.

“Langit memberitakan keadilan-Nya sebab Allah sendirilah Hakim,” bunyi Mazmur 50:6. Asaf mengingatkan bahwa Allah senantiasa melihat dan menjadi Hakim atas bumi dari terbit matahari hingga terbenamnya (ay. 1). Di ayat selanjutnya, dia mengajak kita semua untuk memuliakan TUHAN dengan kurban syukur (ay. 14).

Saat merenungkan kembali ajakan Asaf, kurban apa yang dicari oleh Allah? Kurban terbaik macam apa yang dapat kita berikan kepada Allah? Di akhir perikop Asaf juga mengingatkan bahwa rasa ‘syukur’ adalah bentuk kurban yang memuliakan Allah! “Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku,” ungkap Mazmur 50:23.

Jika direfleksikan dalam keseharian hidup kita, apakah kita sudah mempersembahkan kurban syukur kepada Tuhan dengan baik? Saat kita datang beribadah, apa yang kita berikan untuk Tuhan? Apakah kita sudah memberikan rasa syukur yang terbaik sebagai bukti bahwa kita beriman kepada-Nya?

Firman Tuhan Minggu lalu mengajar kita bahwa memuliakan Dia dengan kurban syukur bukan hanya dengan menyelidiki Firman secara ritual tetapi ketaatan akan Firman itu dan komitmen untuk melakukan perbuatan baik sebagai orang yang sudah diselamatkan.

Sebab akan tiba saat penghakiman oleh Allah, Sang Hakim itu sendiri. “…dan pada rumah Allah sendiri yang harus pertama-tama dihakimi,” tulis 1 Petrus 4:17. Penghakiman itu akan dimulai dari kita sebagai rumah Allah. Apakah kita sudah berkurban syukur? Waspadalah, waspadalah!