• Editorial 867, 19 Juni 2022

Saat itu sebelas murid yang selalu mengiring Yesus dalam pelayanan-Nya di dunia ini sedang berkabung. Mereka berdukacita dan menangis karena kehilangan Seseorang yang sangat mereka kasihi.

Sebenarnya telah berkali-kali Yesus memberi tahu mereka tentang kematian dan kebangkitan-Nya pada hari ketiga namun tidak seorang pun dari mereka mengerti.

Ketika Yesus benar-benar bangkit, mereka tidak juga menyadarinya walau sebagian dari mereka telah melihat kubur- Nya yang kosong.

Maria, kepada siapa Yesus menampakkan diri pertama kali, memberi tahu murid-murid bahwa Yesus telah bangkit dan ia melihat-Nya sendiri tetapi mereka tidak percaya (Mrk. 16:11). Mereka bahkan menganggapnya itu omong kosong belaka.

Bukan saja Maria, dua murid yang berjalan menuju Emaus juga bertemu Yesus yang mendatangi mereka. Namun mereka tidak mengenal-Nya dan menceritakan peristiwa yang dialami oleh Yesus. .... Lagi- lagi mereka tidak memercayainya...!

Akhirnya, Yesus sendiri datang kepada semua murid, Ia mencela kedegilan hati mereka karena ketidakpercayaan mereka kepada kesaksian orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan-Nya.....

Kemudian Yesus menyatakan maksud-Nya untuk menjadikan mereka pemberita-pemberita Injil bagi-Nya.

Seperti kepada para murid-Nya, Ia juga memberi perintah yang sama kepada kita untuk menjadi pemberita Injil-Nya. Para penulis Alkitab adalah mereka yang telah menyaksikan dan mengalami secara pribadi bersama Yesus yang telah mati dan bangkit. Apakah kita juga tidak mau memercayai kebangkitan-Nya? Haruskah menunggu hingga Yesus sendiri datang kepada kita dengan celaan-Nya karena ketidakpercayaan dan kedegilan hati kita? Kiranya kita memiliki kepekaan akan kerinduan-Nya untuk memakai kita juga telinga yang tajam untuk dapat memercayai mereka yang telah memberitakan kematian dan kebangkitan-Nya! (Red.)