• Editorial 851, 20 Februari 2022

“Sikap Hati Terhadap Kepercayaan dari Tuhan” adalah tema yang disuguhkan kepada kita Minggu lalu. Sesuatu yang dipercayakan kepada kita digambarkan sebagai ‘mina’” yang dipercayakan seorang tuan untuk diperdagangkan agar mendapat hasil yang menguntungkan.

“Sikap Hati”… siapakah yang dapat melihat sikap hati seseorang? Tentu orang itu sendiri. Firman Tuhan mengajak kita untuk introspeksi diri apa yang terkandung dalam hati dan bagaimana sikap hati kita terhadap pelayanan atau apa saja yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Apakah sikap hati ini mengutamakan kehendak Tuhan atau menuruti suara hati kita sendiri? Apakah sikap hati ini mengandung asumsi, praduga tidak baik, keengganan bahkan kebencian terhadap mereka yang harus kita layani sehingga kita menghindar dan tidak menuruti kehendak Tuhan? Dan apakah kita mengacuhkan kepercayaan yang diberikan kepada kita sehingga kita tidak mengembangkannya?

Yesus sedang berada di rumah Zakheus ketika mengisahkan perumpamaan tentang mina ini yang mana terdapat pula para tokoh agama yang melayani Rumah Tuhan. Ia sangat mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Beberapa dari mereka mengkritik Yesus yang makan di rumah Zakheus yang dianggap sebagai “orang berdosa” dan tidak mereka sukai. Melalui perumpamaan itu Yesus ingin menunjukkan bagaimana seharusnya menyikapi perintah dan kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada seorang pelayan Tuhan (termasuk kita).

Pemberita Firman kemudian dengan indahnya menceritakan Yusuf sebagai contoh pribadi yang memiliki sikap hati baik dalam menghadapi visi yang diberikan Tuhan kepadanya. Jalan yang harus dia tempuh bukan jalan yang menyukakan hatinya, dia dibenci saudara-saudaranya yang kemudian menjualnya sebagai budak, fitnah yang ditujukan kepadanya memiliki “bukti” sehingga dia dijebloskan ke penjara dan sangat dipermalukan. Apakah dia membenci mereka yang mencelakainya? Tidak! terbukti Tuhan selalu menyertainya saat menghadapi situasi, pribadi dan tempat yang tidak menyenangkan hatinya! Tidak sekalipun tertulis dia menjelekkan mereka yang melakukan kejahatan terhadapnya. Ia terus melangkah dan tetap melayani orang-orang di sekitarnya. Akhirnya, dari seorang budak belian, Tuhan mengangkatnya menjadi seorang penguasa karena dia telah menyikapi kepercayaan yang diberikan Tuhan kepadanya dengan baik, mengutamakan kehendak Tuhan daripada kehendaknya sendiri dan semua dilakukan tanpa kebencian. Dia terus berkarya saat melayani… (Red.)