• Contohlah Teladan Dari Kristus Dan Jadilah Teladan Bagi Orang Lain (2)
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/artikel/943-contohlah-teladan-dari-kristus-dan-jadilah-teladan-bagi-orang-lain-2

Minggu lalu kita telah belajar bagaimana kita meneladan Kristus serta para nabi dan rasul yang juga meneladan Kristus. Kini kita berbincang-bincang tentang bagaimana kita yang meneladan Kristus dapat menjadi TELADAN BAGI ORANG LAIN.

III. Menjadi Teladan bagi Orang lain

Sebagaimana kita mempelajari dari Alkitab bahwa Yesus sendiri meminta agar murid- murid-Nya mencontoh perbuatan kasih yang telah Dia lakukan dengan kerendahan hati dan penuh pengurbanan, para murid-Nya (tertulis di Kisah Para Rasul dan Surat- surat) telah mengikuti teladan-Nya dengan pelayanan kasih hingga akhir hidup mereka.

Meneladan seseorang mungkin saja dapat salah karena semua manusia sejak lahir telah berdosa dan bersalah. Yesus adalah contoh utama yang sempurna dan tidak mungkin salah karena Dia satu-satunya “manusia terlahir di dunia yang tidak berdosa. Oleh karena itu meneladan Yesus tidak mungkin salah juga mencontoh para pendahulu yang meneladan Kristus.

Paulus menasihati Titus, “…dan jadikan dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersunguh-sungguh dalam pengajaranmu” (Tit. 2:7). Tentu kita semua setuju bahwa untuk menjadi teladan, orang yang meneladani harus menghidupi apa yang diajarkan. Jika Titus diminta untuk mengajar jemaat dan menjadi teladan, dia seharusnya melakukan apa yang dia ajarkan. Titus diminta untuk membentuk umat Tuhan berkualitas Kerajaan Surga sesuai dengan ajaran yang sehat (Tit. 2:1). Untuk laki-laki tua harus hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, kasih dan ketekunan. Bagi wanita tua agar mereka hidup sebagai orang beribadah, tidak memfitnah tetapi mengajarkan hal-hal yang baik; dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda untuk mengasihi suami dan anak-anaknya, juga hidup bijaksana, suci dan rajin mengatur rumah tangga. Bagi orang-orang muda, mereka harus dapat menguasai diri dalam segala hal. Tak lupa Paulus meminta Titus mengajar para hamba untuk taat kepada tuan mereka, tidak membantah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya. Semua itu patut diteladankan agar dalam segala hal ajaran Allah, Juru Selamat mereka dimuliakan (Tit. 2:1-15) Dalam memberi teladan,

Titus tentu harus lebih dahulu memiliki kualitas hidup tersebut karena bagi seorang pengajar yang tidak memberikan teladan akan sama seperti orang Farisi dan ahli Taurat yang munafik dan dikecam Yesus.

Untuk menjadi teladan tentu kita sebagai manusia yang lemah dan cenderung melakukan kesalahan tidak mungkin dapat melakukannya dengan kekuatan sendiri. Oleh karena itu Rasul Paulus mengajarkan agar kita tidak memberitakan Injil tidak dengan kata-kata tetapi dengan kekuatan Roh Kudus (1 Tes. 1:5). Ia selanjutnya berkata, “…kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan, dalam penindasan yang berat kamu telah menerima Firman Tuhan dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang di wilayah Makedonia dan Akhaya.” (ay. 6-7).

Kita melihat bagaimana Kristus telah menjadi teladan bagi murid-murid-Nya kemudian para murid-Nya (rasul) memberi teladan kepada murid-murid mereka dan para murid mereka diminta untuk menjadi teladan bagi masyarakat di sekitar mereka. Kini ayat- ayat tersebut ditujukan kepada kita semua agar kita meneladan Kristus yang ada di dalam mereka untuk kemudian menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita – keluarga, lingkungan, pekerjaan maupun masyarakat.

Dalam hal apa kita harus menjadi teladan? Paulus menasihati Timotius untuk memberi teladan dalam berkata-kata, bertingkah laku, menghidupi kehidupan di dunia ini, mengasihi, setia dan menjaga kekudusan (1 Tim. 4:12).

Ketika merenungkan semua itu, teringatlah akan perlombaan yang mungkin dapat memberi suatu gambaran itulah lomba lari estafet.

Pemain pertama membawa sebuah tongkat (tongkat estafet) dan dengan lari dia membawa tongkat itu untuk diberikan kepada pemain kedua yang sudah menunggu. Pemain kedua memberikan tongkatnya kepada pemain ketiga untuk diberikan kepada pemain keempat dst.

Tentu permainan ini ada peraturannya. Sebuah tim dapat didiskualifikasi apabila:

  • Tongkat estafet hilang atau jatuh
  • Menyerahkan tongkat dengan cara yang salah
  • Lari lebih awal dari yang ditentukan
  • Lari mendahului lawan dengan cara yang salah
  • Menghalang-halangi lawan agar tidak

Mungkin masih ada lagi peraturan-peraturan lain, namun cukup menarik melihat bahwa dalam lomba lari ini para pemain harus mengerti betul apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dan yang sangat penting ialah tongkat estafet merupakan fokus dari permainan ini. Seorang pemain harus bertanggung jawab memegang erat- erat tongkat tersebut agar tidak terjatuh atau lepas dari tangannya sedangkan pemain berikutnya akan menunggu dan menerima tongkat itu dengan baik lalu memegangnya erat-erat untuk diteruskan kepada pemain ketiga dst.

Dalam kehidupan yang merupakan “medan laga”, tongkat estafet bagaikan “kehidupan yang diubahkan” dari meneladan Kristus yang harus kita pegang erat-erat agar tidak terlepas dari hidup kita dan menjadi tanggung jawab kita untuk meneruskannya kepada generasi sesudah kita.

Baru-baru ini sebuah Youtube mempertontonkan seorang atlet peserta lomba lari estafet mengalami cedera patah kaki ketika sedang membawa tongkat estafet untuk diteruskan kepada anggota tim berikutnya. Ia tidak dapat berlari lagi namun rasa tanggung jawab itu masih terus dipegangnya. Dengan merangkak sambil memegang erat tongkat estafet itu, ia tetap berusaha maju menuju pemain berikutnya. Lututnya terluka dan hancur. Darah mengucur dari lutut tetapi dia tetap maju. Akhirnya dia berhasil memberikannya kepada pemain berikutnya. Sikapnya yang gigih begitu menginspirasi saya. Mungkin saja dia tertinggal oleh pemain-pemain lawan yang mendahuluinya sehingga dia tidak menjadi juara dalam pertandingan itu namun bagi saya dia adalah juara dalam hal tanggung jawab dan kegigihan untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Saya berdoa kepada Tuhan agar saya pun dimampukan untuk meneruskan “tongkat estafet” yang telah saya dapatkan dari meneladan Kristus dan dari para pendahulu untuk diteruskan kepada generasi berikut saya – anak, cucu dan kepada siapa pun yang ada di sekitar saya apa pun yang terjadi.

(Vida S.)