• MENGUNGKAP MISTERI (1)
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/artikel/926-mengungkap-misteri-1

Perubahan. Apakah ada yang lebih misterius? Begitu banyak dari kita menginginkan apa yang tidak kita miliki. Seandainya aku lebih tua…aku sehat…aku masih kuliah…aku mempunyai pekerjaan yang lebih baik….aku sudah menikah…aku mempunyai rumah sendiri…dst.

Namun kita takut akan perubahan – kegagalan atau kekecewaan yang mungkin terjadi. Kerinduan kita akan sesuatu yang berbeda sering berbenturan dengan ketakutan akan perubahan. Kita tidak akan dapat mengalami pembaruan tanpa melalui beberapa jenis perubahan.

Ada tokoh Alkitab yang hidupnya tampak ditentukan oleh perubahan dramatis dan menjadi teladan bagaimana menghadapinya. Selain Kristus sendiri, tokoh ini paling banyak dikutip dan dibahas dalam Perjanjian Baru. Walau nama dan suratnya cukup terkenal, kita sering mengabaikan kisahnya. Dia adalah Rasul Paulus.

Wajar jika nama Paulus banyak diperbincangkan di antara para pengikut Kristus sebab dia termasuk orang yang luar biasa. Misi dan perjalanannya luar biasa, pikirannya dihargai, dan tulisannya memenuhi sebagian besar Perjanjian Baru. Bagaimanapun juga, namanya menyadarkan kita pada realitas tantangan perubahan.

Pembicaraan kita tentang Paulus biasanya berkisar mengenai salah satu suratnya: pernyataan teologinya atau beberapa petunjuk yang dia berikan untuk kita terapkan. Namun bagaimana dengan orang ini sendiri? Jauh dari sosok kehidupan yang terukir di marmer, Paulus menemukan perubahan yang dia tolak dengan keras justru malah menarik dia kepada Tuhan yang jauh lebih besar dari yang pernah dia bayangkan. Perubahannya begitu drastis bahkan namanya pun ikut berubah (Kis. 13:9). Pertukaran huruf P (Paulus) untuk huruf S (Saulus) sekilas tampak hanya mengubah permukaan padahal telah mengubah dia secara fundamental. Kita akan memeriksa bagaimana Tuhan mengubah hati seseorang yang nantinya menjungkirbalikkan dunia. Jadi, siapa Saulus/Paulus ini? Mari kita perhatikan kisahnya.

BERTAHAN UNTUK TIDAK BERUBAH

Melihat peristiwa yang mengubah atau mengarahkan kembali perjalanan sejarah dapat menghasilkan berbagai tanggapan. Terkadang peristiwa ini membuat kita ngeri (genosida Rwanda atau serangan teroris 11 September 2001), menginspirasi kita (pesawat ruang angkasa pertama berawak yang mendarat di bulan), menantang kita untuk bertindak (gerakan hak sipil Amerika tahun 1960an atau akhir apartheid di Afrika Selatan). Peristiwa-peristiwa yang dikumpulkan dari kehidupan kita membentuk kita; mereka menyalakan gairah kita yang memicu perkembangan dan pertumbuhan kita.

Sejarah Paulus sendiri menjadi sukacita sekaligus beban baginya. Sifatnya yang penuh gairah pernah memaksanya membenci pengikut Kristus dan percaya apa yang dilakukannya itu mulia. Untuk memahami Rasul Paulus, kita harus kembali ke masa ketika dia dikenal sebagai Saulus ke sistem nilai etnis dan agama yang mendorong hidupnya.

WARISAN KEBANGGAAN

“Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.” (Flp. 3:4-6)

Warisan keyahudian Paulus merupakan benih dari gairahnya. Penulis dapat memahaminya karena dia sendiri tumbuh di Amerika Serikat bagian selatan, hal-hal tertentu telah ditanamkan ke dalam sistem nilainya – keramahan, kebaikan dan kecepatan hidup yang terukur. Nilai-nilai ini tertanam kuat sehingga menjadi bagian dari dirinya. Hal yang sama berlaku bagi Saulus muda dari Tarsus. Dia adalah produk dari tempat dan waktunya sendiri.

Warisan pribadi Saulus – kebanggaan lahiriah/daging – tumbuh dari akar keyahudiannya. Dia begitu bangga menjadi pemelihara hukum Abraham. Dia membanggakan ritual sunatnya juga berasal dari suku Benyamin, suku yang memberikan Israel raja pertama (ironisnya juga bernama Saul). Meskipun Paulus seorang Ibrani, latar belakangnya tidak hanya ditentukan oleh etnisnya. Dia berakar kuat pada hukum Musa yang menjadi kekuatan pendorong hidupnya. Sentralitas hukum dalam kehidupan Saulus diekspresikan dalam tiga arah:

Gairah ke atas

Orang Farisi adalah pemimpin agama yang berkomitmen mematuhi hukum dengan cermat dan pantang menyerah. Mereka bahkan melampaui hukum Musa dan menetapkan persyaratan tambahan sebagai ekspresi pengabdian mereka kepada Allah Abraham, Ishak dan Yakub.

Serangan luar

Saulus begitu mengabdi pada hukum Taurat sehingga dia menganggap gereja baru pengikut Yesus tidak hanya menolak hukum Taurat tetapi juga menjadi ancaman langsung. Itu sebabnya dia sangat kejam menganiaya gereja. Dalam pikirannya, pemenjaraan bahkan pembunuhan dapat dibenarkan untuk menjaga warisan, tradisi, dan prioritas hukum Musa (Kis. 9:1-2).

Perfeksionisme batiniah

Saulus dari Tarsus mempraktikkan apa yang dia khotbahkan – dia menjalankan apa yang dikatakannya. Begitu ketatnya dia menjalankan tradisi agamanya sehingga dia menggambarkan dirinya “tidak bercacat” atau “sempurna”. Jika ada orang yang unggul dalam ketaatan terhadap hukum, Sauluslah orangnya.

Ini adalah warisan yang diturunkan kepada Saulus dari Tarsus dan dia memegangnya erat-erat. Nilai-nilai ini menghasilkan kehidupan setara dengan orang-orang terpelajar dan aktivis. Saulus dari Tarsus adalah sarjana yang mendalami hukum Musa, nabi-nabi Perjanjian Lama dan masih banyak lagi. Dia juga berpengalaman dan memerhatikan para rabi terkemuka di eranya juga tentang ajaran lisan Talmud dan Mishnah. Kerasnya studi mengembangkan sistem nilai yang tertanam di hati Saulus sejak awal – sistem yang lahir dari kehadiran di sinagoge ditambah dengan pelatihan di rumah yang diberikan kepada anak laki-laki Yahudi pada zamannya. Ini penting karena melalui proses pelatihan ini Saulus memperoleh lebih dari sekadar informasi. Dia dibentuk dalam hati dan pikirannya dengan semangat Yudaisme dan ini mengarah pada aspek lain dari kehidupan yang tertanam dengan nilai-nilai ini – aktivisme.

DUNIA YANG BERGERAK

Kegiatan Saulus adalah hasil alami dari pelatihannya. Dia diajari bahwa nilai-nilai ini lebih dari sekadar prinsip panduan atau saran yang membantu; nilai-nilai ini mutlak penting untuk menghormati Tuhan.

Tidak ada pengganti, tidak ada pilihan dan tidak ada variasi. Kehidupan yang dihidupi untuk Tuhan – kehidupan yang memiliki tujuan dan makna – ditambatkan oleh kominten yang kuat terhadap ajaran-ajaran ini dan praktiknya yang cermat. Ini adalah panggilan mulia tetapi bagi tahun-tahun awal Saulus, ini merupakan kehidupan di bawah serangan.

Pertama, Yudaisme merasakan tekanan politik dan militer dari kependudukan Roma dan kehadiran mereka sering bertentangan dengan nilai-nilai yang dipuja oleh Yudaisme. Pemandangan tentara-tentara Romawi di jalan-jalan di Yerusalem sangat menyinggung sekaligus menakutkan bagi orang Yahudi. Spanduk-spanduk mereka mengibarkan gambar kaisar (tindakan yang dilarang dalam hukum Musa; Kel. 20:4-5) dan diarak di jalan-jalan mengakibatkan kekacauan bahkan memicu kerusuhan.

Dengan cara yang lebih menjengkelkan, Yudaisme di bawah ancaman yang jauh lebih sulit untuk dilawan. Gerakan Kristen yang berkembang – orang-orang di jalan Tuhan (Kis. 9:2) – masuk ke sinagoge dan yang lebih penting ke dalam hati orang-orang Yahudi. Banyak dari mereka berpindah ke iman kepada Kristus, menciptakan ancaman bagi Yudaisme sendiri.

Bagi Saulus muda, ancaman ini melampaui praktik Yudaisme. Dalam pikirannya, orang-orang Kristen yang berusaha meyakinkan orang Yahudi untuk mengikuti Yesus, rabi orang Nazaret, tidak hanya menarik mereka dari Yudaisme tetapi ancaman bagi kesejahteraan kekal mereka. Saulus tidak hanya berusaha melindungi Yudaisme dari keyakinan yang bersaing; dia mencoba menyelamatkan orang-orang Yahudi yang setia dari mereka yang dia lihat bagaikan serigala berbulu domba.

Ini merupakan kekuatan yang bekerja dalam keseharian Saulus, kekuatan yang membentuk dirinya sebuah keyakinan yang jauh dari pasif. Dia secara aktif terlibat dalam praktik Yudaisme dan berkomitmen penuh untuk pertahanan fisik. Namun terlepas dari komitmennya terhadap hukum, Saulus akan menemukan bahwa hal yang paling dia takuti sebenarnya justru merupakan hal yang sangat dia butuhkan. Inti dari pandangan Saulus akan mengalami perubahan drastis – perubahan yang dimulai dari jalan berdebu menuju kota Damsyik.

KEHIDUPAN YANG JAUH LEBIH BAIK

Saulus dari Tarsus begitu berapi-api mengejar apa yang menurutnya paling penting karena menurutnya hukum Musa adalah sumber kehidupan.

Pengejaran dengan penuh semangat itu membawanya ke perjalanan Damsyik dan bertemu dengan Kristus yang tidak hanya akan mengubahnya tetapi juga akan mengubah dunia.

Misi penuh terror (Kis. 9:1-2)

“Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap imam besar dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik supaya jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem.”

Kecintaan Saulus terhadap hukum Musa mendorongnya untuk menganiaya pengikut Kristus. Kita pertama kali melihat ini ketika dia berpartisipasi dalam pembunuhan Stefanus, seorang pengikut Kristus, yang berani memberitakan tentang Yesus.

Dalam memperluas jangkauan penganiayaan, Saulus bergerak melampaui ketaatannya terhadap hukum dan memulai kampanye pembunuhan terhadap gereja muda (Kis. 7:58 – 8:3). Juga dalam memberantas pengaruh Yesus dari Nazaret, Saulus pergi ke luar Yerusalem untuk mengejar pengikut-pengikut Yesus. Pemberhentian pertama ialah Damsyik.

(bersambung)

 

Disadur dari: CHANGE; Following God Through Life’s Crossroads by Bill Crowder