Saat-saat PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat dilaksanakan, masyarakat lebih banyak mengurung diri menghabiskan waktu di rumah. Suasana tampak cukup lengang, jalan-jalan ditutup dan terasa lebih sepi dari biasanya. Mungkin ada pula di antara Anda merasakan kegalauan saat-saat ini. Ingin sekali aku berbincang-bincang dan berbagi perasaan denganmu sahabat.
Hatiku begitu galau ketika membaca beberapa orang yang sangat kukenal terpapar COVID-19 bahkan beberapa dari mereka meninggal dunia. Kupejamkan mataku. “Ya Bapa…” keluhku….. tolonglah mereka yang kehilangan…. Tolonglah mereka yang sedang bergumul melawan penyakit untuk bertahan hidup, kuatkan mereka yang telah putus asa….lindungi juga para nakes yang sedang berjuang keras untuk menolong para penderita…. mohon kasih karunia-Mu agar pandemi segera berakhir….” tak terasa air mataku mengalir dengan deras dalam doaku.
Kasus Corona varian Delta yang merebak dengan ganas hari-hari ini telah membuat banyak orang bergidik dan panik. Setiap hari kita membaca bagaimana virus itu “melalap” banyak orang, beberapa dari mereka akhirnya tidak dapat bertahan dan berakhir hidupnya. Hampir semua rumah sakit penuh tidak lagi mampu menampung para pasien yang memerlukan perawatan. Tampak dalam postingan-postingan bagaimana para pasien tergeletak di serambi UGD menunggu mendapatkan tempat. Obat-obatan dan vitamin habis di mana-mana.
Banyak warga menjadi kalap. Begitu ada postingan mengenai vitamin atau obat yang berguna untuk pengobatan atau penambah ketahanan/imunitas tubuh, vitamin dan obat tersebut lalu kosong di peredaran. Sebagian disimpan untuk jaga-jaga terhadap kemungkinan tertular namun ada pula yang menyimpannya untuk keuntungan diri sendiri dan menjualnya dengan harga berlipat ganda karena pasaran lagi kosong. Para penderita akhirnya menjadi korban dengan membeli berapa pun harganya daripada sakit lebih parah.
Suasana semacam ini tentu membuat kita sedih dan marah dengan tindakan egois di tengah kesulitan yang kita hadapi. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi semua ini? Apakah kita ikut sedih dan putus asa? Ikut cemas mengkhawatirkan kesehatan kita? Apakah kita panik?
Kepanikan dan kecemasan
Kuakui bahwa aku pun pernah mengalami kepanikan dan kecemasan mendengar berita-berita yang menyedihkan itu. Sering kali bayang-bayang maut meliputiku membuat hati tidak tenteram. Saat COVID-19 melanda tanah air, aku mengkhawatirkan keluargaku yang tinggal di luar negeri. Bagaimana keadaan mereka? Mereka jauh dari kita, apakah mereka bisa terhindar dari penyakit ini? Sebenarnya pemikiran ini bodoh. Kalaupun aku berada di dekat mereka, mungkinkah aku mampu menolong jika sesuatu terjadi dengan mereka? Bukankah kehadiran Tuhan jauh lebih berarti daripada kehadiranku sebagai manusia yang rentan ini? Setiap kali melihat seorang anggota keluarga sakit pilek atau panas badan, aku langsung berpikir dia terkena COVID-19. Aku jadi panik dan berusaha memberinya obat apa saja untuk menghilangkan gejala penyakitnya.
Beberapa dari kalian mungkin bereaksi seperti itu juga. Ketika seseorang mengetahui bahwa dia benar-benar tertular, ketakutan luar biasa begitu menguasai dirinya. Sebuah berita sempat kudengar beberapa meninggal terutama bukan karena COVID-nya tetapi rasa ketakutan dan kecemasan berkelebihan yang membuat imunitas tubuh merosot dan tidak dapat bertahan. “Hati yang gembira adalah obat yang manjur” kata Amsal. Saat kita tidak lagi bergembira tetapi menuruti perasaan takut yang berlebihan, kita tidak lagi memiliki “obat” manjur yang telah disediakan Tuhan dan dapat kita peroleh secara cuma-cuma.
Ketenangan dari Bapa
“Mungkinkah aku dapat tenang dengan keadaan seperti ini?” aku pun pernah bertanya. Biarlah aku membagikan pengalamanku dengan Bapa. Ketika aku dalam keadaan takut dan cemas, Bapa menyapaku dengan sangat lembut.
Kata-kata-Nya tidak tertangkap dengan telingaku namun getarannya terasa di hatiku. “Anak-Ku…” kata-Nya, “Aku adalah Bapamu, apa yang kau kuatirkan?” Kata-kata itu begitu lembut tetapi penuh kuasa dan wibawa! Kata-kata itu menenggelamkan hati dan menembus batinku. Aku melihat diriku sendiri seperti seorang anak dalam pelukan bapanya. Aku melihat seekor domba kecil dalam gendongan Yesus, Sang Gembala yang baik. Bapa mana yang senang melihat anaknya menderita? Bapa mana jika melihat anaknya sakit tidak berusaha mencari solusi untuk menyembuhkannya? Ketika pandanganku berpusat pada penyakit, malapetaka dan masalah, jiwaku dipenuhi dengan ketegangan, ketakutan dan kecemasan. Namun ketika pandangan ini terpusat pada Bapa yang sanggup menolong, Ia memberikan ketenangan itu….Ketenangan di dalam pelukan Bapa. Aku kini yakin, teman, bahwa Bapa yang sedang memelukku adalah Bapa mahakuasa yang jauh melebihi malapetaka apa pun. Kuasa-Nya melebihi kuasa Corona yang ganas dan mematikan itu! Kedekatan dengan Bapa membuatku yakin bahwa keamananku akan terjamin dalam pelukan-Nya. Seketika perasaan tenang memenuhi dan menguasaiku.
Bukankah Dia juga Bapa Anda? Bukankah Dia pun akan membuka tangan-Nya bila Anda datang kepada-Nya? Jika Anda sedang gelisah, datanglah kepada-Nya dan masuklah dalam pelukan-Nya.
Apa yang Harus Kulakukan Bapa?
Pertanyaan ini pernah juga aku ajukan kepada Bapa. Bukankah saat ini kita terkurung dan tidak dapat pergi ke mana-mana dengan leluasa? Beberapa dari kita berduka dan yang lain sedang menderita. Bapa berkuasa melakukan apa saja yang Ia kehendaki. Kehidupan dan kematian ada di tangan-Nya. Mengapa dari penderita COVID dengan komorbid beraneka ragam dapat sembuh sementara yang sangat sehat kena serangan tetapi tidak dapat bertahan kemudian meninggal? Jawabannya adalah: Dia yang memegang otoritas. Siapa dapat mendikte dan menasihati Dia? Bila Dia berkehendak siapa dapat melawan dan mencegah-Nya? Namun kita harus tahu bahwa dalam segala hal Dia turut bekerja demi kebaikan orang yang mengasihi-Nya. Ada sesuatu yang indah di balik semua malapetaka yang sedang kita alami saat ini. Sikap pasrah kepada-Nyalah yang terbaik bagi kita.
Seorang hamba Tuhan menghabiskan harinya dengan berterima kasih kepada Tuhan saat dia sendirian terisolasi di kamar rumah sakit tempat dia dirawat. Ia merasakan sukacita begitu mendalam saat mengalami hubungan erat dengan Tuhan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Seorang ibu yang masih dalam keadaan sakit menyatakan rasa syukur karena dapat berdoa dan membaca Firman Tuhan bersama keluarga yang sama-sama menderita. Suatu hal yang sejak lama dirindukan dan baru dialami setelah terkena COVID.
Seorang anak kecil tidak memerlukan kata-kata panjang dan indah untuk memohon pembelaan dari bapanya. Mungkin ia menangis karena sedang terluka dan merasakan rasa sakit di tubuhnya. Ia hanya memerlukan usaha merangkak ke bapanya dan memanjat ke pangkuannya, memeluk leher bapanya dan dengan penuh air mata berseru, “Papa…….!” sambil menunjukkan luka-lukanya. Sikap itu sudah cukup bagi si bapa untuk memeluknya dan menyelesaikan masalahnya. Kita tentu dapat melakukan hal yang sama dengan Bapa kita yang di Surga.
Hidup dalam Kemurahan-Nya
Baru saja aku membaca WA dari teman yang memintaku ikut mendoakan sahabat yang terpapar sekeluarga. Aku membuka notes kecilku. Di dalamnya tertera nama-nama yang sedang kudoakan. Akhir-akhir ini banyak kasus bertuliskan “kena COVID”. Aku melihat beberapa telah kucoret karena telah sembuh atau telah meninggal. “Apa yang harus kulakukan, Bapa?” tanyaku. Hatiku begitu hancur ketika aku harus mulai menulis lagi “Sekeluarga terserang COVID”. Air mata mulai merebak lagi dimataku. Tak seorang pun dapat menentukan bagaimana menghindari penyakit ini atau menentukan apakah dia kebal dari penyakit ini. Penyakit ini membuat seseorang tidak lagi dapat membanggakan karier, kekayaan, kepandaian bahkan pelayanannya. Jadi, jika kita masih hidup dan sehat, ini semua karena kemurahan Tuhan semata. Jika kita masih hidup berarti kita masih mempunyai tugas untuk dilakukan. Bukankah Paulus berkata dalam suratnya “Hidup adalah Kristus”? Jika Tuhan masih memberi kita hidup berarti kita harus bekerja dan menghasilkan buah bagi-Nya.
Banyak saudara yang diberkati berlimpah membuka dapur umum untuk menolong penderita yang isolasi mandiri dan tidak sempat membuat makanan sendiri. Beberapa dari mereka membagi-bagikan obat dan vitamin secara cuma-cuma. Bagi Anda dan aku yang tidak mungkin melakukan hal ini, kita masih dapat berbuat sesuatu….. mendoakan mereka, menghibur, menyapa, mengirim Firman Tuhan dan memerhatikan mereka di dalam penderitaan untuk memberikan sukacita sehingga mereka merasakan kegembiraan yang dapat mempercepat kesembuhan mereka. Banyak sarana dapat kita pakai, HP yang biasa Anda gunakan untuk membaca dan mendengar hal-hal yang tidak berguna kini dapat Anda pakai untuk melayani Tuhan dengan melayani mereka yang memerlukan. Jika Anda melakukannya dan melihat mereka sembuh dan bersukacita, Anda pun akan dipenuhi sukacita luar biasa.
Pengalaman sederhana ini membuatku merasa lebih baik. Aku selalu mengingatkan diri sendiri bahwa aku aman karena Bapa yang melindungiku adalah Bapa mahakuasa yang melebihi kuasa apa pun dan Ia sangat mengasihiku. Dan ketika aku masih diberi kemurahan untuk hidup sehat dan kuat, sudah seharusnya aku melayani sesama dengan apa saja yang dapat kulakukan karena sungguh kemurahan-Nya melebihi Hidup. (VS)