• SEKSUALITAS ADALAH KORBAN UTAMA DOSA
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/artikel/912-seksualitas-adalah-korban-utama-dosa

“Rasa pertama” dari dosa itu menyenangkan. Hawa menikmati buah terlarang itu dan membagikannya kepada suaminya. Namun “sisa rasa”-nya makin pahit. Adam dan hawa menemukan bahwa dosa memengaruhi pribadi kita dengan hilangnya kepolosan batin. “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.”

Tiba-tiba mereka melihat diri mereka ada yang beda. Ketelanjangan bukanlah hal baru tetapi mereka tidak lagi bebas dari rasa malu. Sekarang ada tekanan batin tentang siapa mereka bukan hanya tentang apa yang telah mereka lakukan.

Salah satu buah dosa ialah kesadaran diri tentang rasa malu yang secara naluriah menyebabkan mereka menutupi diri sendiri. Apa yang Adam dan hawa tutupi dengan cawat menunjukkan bahwa mereka berbeda satu dengan lain itulah organ seksual mereka.

Tom Gledhill menunjukkan pentingnya hal ini: dosa pemberontakan membuat mereka sadar diri akan organ seksual mereka. Ketelanjangan mereka mewakili kerentanan mereka terhadap tatapan tidak bersahabat dari Pencipta mereka. Mengapa daerah genital menjadi titik fokus rasa malu mereka? Mengapa bukan mata mereka yang memandang buah terlarang dengan keinginan yang besar? Atau hati mereka yang memutuskan untuk melanggar perintah? Atau tangan mereka yang benar-benar memegang buah terlarang? Kemungkinan jawaban tentang rasa malu mereka terhadap kehadiran satu sama lain terfokus pada bagian tubuh yang secara mendasar membedakan mereka. Mereka terancam oleh kemungkinan adanya ekspoitasi, serangan atau rayuan pada tingkat di mana keduanya menemukan satu kesatuan.

Masalah mereka bukan karena ketelanjangan tetapi rasa bersalah dan malu yang tidak dapat ditutupi dengan daun ara. Mereka mengetahui hal ini. Adam menjelaskan keputusannya untuk meringkuk di semak-semak. “Aku menjadi takut karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Bahkan walau dia telah menutupi seluruh tubuhnya dengan daun ara sekalipun, dia tetap merasa telanjang di hadapan Allah yang kudus.

Sangat jelas seksualitas dipengaruhi oleh dosa. Adam langsung tertarik pada wanita ciptaan Allah dan sensualitas telanjang yang mereka alami di Taman Eden menempatkan seksualitas ciptaan Allah yang sangat baik. Namun oleh karena pelanggaran mereka, efek langsung dari dosa terlihat bagaimana mereka begitu peduli dan protektif terhadap alat kelamin serta menganggapnya sebagai “bagian pribadi”.

Pikirkan semua kerusakan yang disebabkan oleh penyimpangan seksualitas kita – rasa bersalah, malu, sakit, pelecehan, kecanduan, kekerasan dst. Karunia Allah yang baik telah diputarbalik dan diselewengkan. Dosa mengambil hal-hal yang baik dan tidak hanya merusaknya bahkan mengubahnya menjadi senjata pemusnah.

Neal Plantings dalam bukunya “Not the Way It’s Supposed to Be” tidak terang-terangan menyebut tentang seksualitas tetapi kata-katanya jelas mengatakan “dosa merusak kapasitas manusia – pikiran, emosi, tutur kata dan tindakan – sehingga manusia menjadi pusat serangan, pembelotan dan pengabaian dari manusia lainnya.

Ironisnya, jika pasangan diciptakan untuk menginginkan satu sama lain sekarang mereka bersembunyi dari satu sama lain dan mereka mulai bernafsu satu sama lain. Apa yang mereka pernah alami tanpa rasa malu sekarang menjadi sumber rasa malu juga nafsu yang tak mengenal malu.

Seperti diamati oleh Dennis Hollinger dalam “The Meaning of Sex”, seks, walau menyimpang setelah kejatuhan, tetaplah seks yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Seks menjadi terselewengkan dalam keinginan, tujuan yang salah arah dan dorongan ke penyembahan berhala.

Berkaitan erat dengan lahirnya rasa malu ialah lahirnya ketidakpercayaan. Dosa memengaruhi kita semua dengan hilangnya keintiman dan kepercayaan. “Daun ara” adalah bukti jarak dan keterpisahan yang sekarang dirasakan oleh pria dan wanita. Penutupan ketelanjangan fisik mereka adalah gejala bahwa mereka tidak lagi terbuka satu sama lain.

Masalah sebenarnya bukan karena mereka dapat melihat bagian bersifat pribadi tetapi mereka tidak lagi dapat saling menatap mata seperti semula.

Dosa menyebabkan kita bersembunyi dari satu sama lain. Dosa juga membuat kita saling menyakiti. Ketika dikonfrontasi oleh Allah tentang kesalahan mereka, Adam menyalahkan Allah dan Hawa. Dia tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku maka kumakan.”

Menyalahkan dan membuat alasan – seksualitas yang Tuhan berikan untuk menjadi berkat telah menjadi medan pertempuran. Pembenaran diri hampir selalu melibatkan penipuan diri sendiri dan ini terjadi di sini. Dosa bagaikan virus yang merusak hubungan manusia yang paling berharga.

Kita tidak tahu bagaimana menafsirkan dengan tepat tentang “bunyi langkah TUHAN Allah yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk”. Meskipun kita tidak mengetahui dengan persis pengalaman ini, teks tersebut menjelaskan bagian dari hubungan Allah dengan manusia pertama ciptaan-Nya. Mereka menikmati hak istimewa dalam hubungan yang luar biasa dengan Allah sendiri. Namun kali ini suara pendekatan-Nya bukan mengundang tetapi mengintimidasi. Secara naluriah mereka menanggapi dengan melarikan diri dari hadapan-Nya bukan bergerak mendekati-Nya. “Bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.”

Untuk pertama kalinya kehadiran Allah mendatangkan rasa takut dan bersalah bukan antisipasi dan kegembiraan. Hubungan mereka telah rusak. Dosa memengaruhi rohani kita, merusak persekutuan kita dan menyebabkan hilangnya kehidupan rohani.

Adam dan Hawa awalnya takut akan Allah kemudian lari dari-Nya dan akhirnya melawan-Nya ketika Ia menghadapi mereka dengan tindakan mereka. Mereka mencoba mengalihkan kesalahan atas tindakan mereka satu sama lain, ke ular bahkan ke Allah sendiri. Sebagai tanggapannya, Allah berbicara dengan kata-kata khusyuk tentang konsekuensi permanen dari dosa mereka termasuk pengusiran mereka dari taman (Kej. 3:16-24).

Apa yang telah terjadi? Laki-laki dan perempuan telah memilih melanggar perintah Allah yang diberikan untuk berkat dan perlindungan mereka. Mereka memilih meremehkan dan tidak menaati Allah sendiri. Seperti dikatakan oleh Timothy Ward, “Dari sisi Tuhan, ketika perintah-Nya diabaikan oleh makhluk-Nya demi keinginan dan hikmat mereka sendiri maka ini sama dengan mengabaikan Allah sendiri.”

Tatanan ciptaan Allah telah dikacaukan. Kerinduan menjadi satu daging telah dikacaukan menjadi frustrasi dan konflik di satu sisi dan pencarian kesenangan berpusat pada diri sendiri di sisi lain. Bukti muncul begitu cepat di lembaran- lembaran Kitab Kejadian.

Buah nikah pertama hasil kasih dari Adam dan Hawa, Kain, membunuh saudaranya, Habel, oleh sebab iri hati dan kebenaran diri sendiri (Kej. 4). Sara dan Rahel bergumul dengan kemandulan bukan kesuburan. Hubungan satu daging yang dikehendaki Allah dipelintir menjadi poligami dan dampaknya terlihat dalam konflik tragis yang memecah belah keluarga Abraham, Ishak dan Yakub. Lebih parah lagi, kerusakan moral di seluruh dunia mendatangkan banjir (Kej. 6), percobaan pemerkosaan dengan kekerasan dan penyimpangan seksual di Sodom dan Gomora (Kej. 19), pemerkosaan Dina (Kej. 34) dan kemerosotan moral ditemukan dalam kisah Tamar (Kej. 38) sebagai salah satu pasal paling mesum dalam Alkitab.

Dunia kita di luar Taman Eden telah membawa kita jauh dari “sangat baik” di Kejadian 1. Kita tidak akan pernah bertemu dengan seseorang yang tidak rusak karena kejatuhan.

Disadur dari: Paradise Lost by Gary Inrig (Discovery Series)