Perasaan haru biru terus menggelayuti batinku. Masih terbayang sesah dan dera yang ditimpakan pada Junjunganku. Orang-orang itu seperti tak punya hati… kejam… tak ada rasa kemanusiaan. Hancur hatiku melihat Dia dinista sedemikian kejinya.
Masih terekam jelas dalam benakku bagaimana cambuk dan pukulan menghancurkan seluruh tubuh-Nya – dari kepala sampai ke ujung kaki. Tak ada lagi rupa yang dapat kupandang. Semarak-Nya pun tidak ada sehingga tak sanggup aku untuk memandang Dia. Ia begitu dihina dan dihindari, seorang yang penuh kesengsaraan sehingga orang menutup muka terhadap-Nya.
Sementara aku tahu persis seperti yang pernah Dia katakan padaku waktu itu bahwa sesungguhnya penyakitkulah yang ditanggung-Nya, kesengsaraankulah yang dipikul-Nya di atas sana. Dia tertikam karena pemberontakanku, Dia diremukkan karena kejahatanku dan oleh bilur-bilur- Nya aku menjadi sembuh.
Enggan rasanya kaki ini beranjak meninggalkan tempat Dia dikuburkan. Aku ingin menjadi saksi pertama dari kebangkitan-Nya. Dia sudah berjanji tentang itu.
Pagi itu tiba-tiba aku mendengar suara ramai, orang-orang berlarian ke sana ke mari di depan kubur Junjunganku. “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan”, sayup aku mendengar ucapan tersebut. Haa…? Apa yang telah terjadi? Mengapa aku tak melihat-Nya? Bagaimana mungkin aku yang terus menerus berada di sini tidak tahu ada orang masuk ke kubur Junjunganku?
Mataku segera tertuju pada seorang Ibu yang sedang menangis sambil melihat ke dalam kubur dengan pandangan nanar. “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan”, aku dengar dia berucap seperti menjawab pertanyaan seseorang dari dalam kubur itu.
Dan… oohhh… sosok itu… ya… Dia… Duh Gusti… Dia itu Junjunganku. Benar!!! Aku tak salah lagi. Junjungankulah yang berdiri di belakang ibu itu. Sungguh… Dia telah bangkit seperti yang dijanjikan-Nya. Benarlah yang dikatakan bahwa Dia harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari ketiga.
Belum puas rasanya aku menikmati bahagia karena Junjunganku telah hidup kembali…ehh…aku melihat kerumunan orang banyak dan semuanya sedang menengadah melihat ke langit. Ada apalagi ini?
Aahh…seperti tercabik rasa hati ini. Junjunganku terangkat ke Surga meninggalkanku. Aku tak dapat lagi melihat wajah-Nya karena awan yang menutupi-Nya dari pandanganku. Sesak dadaku menahan tangis yang hampir pecah. “Tuhan… Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan aku? Mengapa tak Kau bawa serta aku pergi bersama-Mu? Aku lelah dengan segala pergumulan hidupku. Aku bosan dengan segala ketidakadilan manusia. Ingin aku segera meninggalkan dunia ini. Tak ada lagi bara semangat dalam diriku untuk melangkah lebih jauh. Berhenti… hanya itu yang ada dalam pikiranku dan yang ingin kulakukan.”
Tak kuat kaki ini menahan beban kesedihan hati dan aku jatuh terduduk… lunglai dengan air mata membasahi kedua pelupuk mataku. Hilang sudah seluruh peganganku bersama perginya Junjungan dan Pujaan hatiku.
Sayup… aku seperti mendengar bisikan lembut, “Janganlah gelisah hatimu… damai sejahtera Kutinggalkan bagimu, damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”
Bak gemuruh ombak yang reda perlahan…ketenangan mulai memasuki hati dan pikiranku. Seperti ada seseorang yang mengingatkan aku akan semua yang Junjunganku pernah katakan kepadaku. “Sekiranya kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku. Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada. Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu.” Ah… ini yang menghibur aku.
Perlahan kuangkat wajahku, kutatap masa depanku. Ada banyak hal baru yang Tuhan sediakan bagiku… untuk kulakukan. Masih banyak!!! Tak boleh aku berenang menikmati kesedihanku. Cukuplah kasih karunia-Mu Tuhan bagiku sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Mu menjadi sempurna dan aku akan selalu belajar untuk bermegah walau dalam ketidakberdayaan supaya kuasa-Mu turun menaungi aku.
Lalu… aku berjalan meninggalkan masa laluku untuk menyelesaikan semua yang belum terselesaikan sambil menunggu Junjunganku menjemput aku nanti. (Liliek Lianto)