Melalui tulisan dalam Kitab Kejadian 37 – 50, jelas terlihat hidup Yusuf sarat dengan pasang-surut, pahit-manis, naik-turun dan susah-senang. Ia mengalami hidup nyaman ketika masih berada di rumah ayahnya. Pelbagai hadiah dan perlakuan istimewa diterimanya ditambah lagi dengan mimpi-mimpi indah menjadi orang nomor satu di antara orang-orang serumahnya. Kelebihan ini justru sekaligus menjadi sumber petaka baginya karena hal itu telah membuat saudara-saudaranya iri hati dan membencinya. Keinginan kuat untuk melenyapkan yusuf tercapai ketika Yusuf diminta ayahnya meninjau keadaan saudara-saudaranya yang sedang menggembalakan domba. Mulailah Yusuf menjalani masa suram. Hidupnya berubah drastis, segala kenyamanan, keistimewaan dan kasih berganti dengan kegetiran, kekerasan dan kesengsaraan. Pada saat-saat demikian, apakah yusuf dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran? Takut karena untuk pertama kali dan mungkin selamanya dipisahkan dari ayah, rumah dan negerinya? Khawatir karena tidak mempunyai apa-apa lagi dan di depannya terbentang jalan gelap di mana dia tidak tahu ke mana dia dibawa?
Syukur kondisi buruk ini tidak berlangsung selamanya. Di rumah Potifar, walau statusnya budak, Yusuf kembali menjadi orang nomor satu di antara para budak. Ia dipercaya untuk mengelola seluruh harta milik Potifar. Malang, sukses Yusuf tidak berlangsung lama. Keelokan paras serta kelembutan sikap Yusuf menggiurkan istri Potifar dan membuatnya tergila-gila untuk tidur bersama Yusuf. Penolakan Yusuf berakibat fatal, dia difitnah sebagai pemerkosa, di-PHK dan dipenjarakan. Masa kelam nan suram kembali digelutinya. Apakah dia dipenuhi rasa penyesalan karena telah menolak ajakan istri Potifar, khawatir tidak mengetahui bagaimana hidupnya kelak dan marahkah dia kepada Tuhan yang tidak membelanya?
Ternyata penjara bukan tempat pangkalan akhir Yusuf. Ia kembali naik ke atas. Di penjara ia berkenalan dengan juru minuman dan juru roti raja yang melalui salah satu dari mereka memperkenalkan Yusuf dengan Firaun. Singkat cerita, Yusuf akhirnya menjadi orang nomor satu di Mesir setelah Firaun. Ia bertemu kembali dengan ayahnya.
Kematian Yakub mengakibatkan saudara-saudara Yusuf takut akan pembalasan dari Yusuf. Namun saat itu justru Yusuf memberikan penjelasan dan pengertian kepada mereka akan peristiwa yang telah menimpanya. Terbukti dia tidak dendam terhadap mereka dengan pernyataan yang diucapkannya, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”
Dari pernyataannya juga membuktikan bahwa Yusuf tidak marah, menyesal, takut dan khawatir saat kesesakan dan keterpurukan mengubah kehidupannya secara drastis.
DUA POLA PIKIR
Ketika seseorang mengalami musibah, kegetiran dan kemalangan, sering dia memiliki dua pola pikir, yakni:
- “Kalau saja” berorientasi pada masa lampau yang menghasilkan duka, penyesalan, rasa salah dan kejengkelan yang tidak ada Misal: ketika seorang wanita diperkosa di dalam taksi, dia akan berpikir “kalau saja aku tidak naik taksi itu”, “kalau saja aku memeriksa dahulu dengan teliti sebelum naik” dst.
Pikiran semacam ini berharap dapat diulang lagi dari awal sebelum petaka terjadi yang tentu saja merupakan sebuah pengharapan yang mustahil. Pola pikir seperti ini hanya melahirkan rasa bersalah yang besar, rasa menyesal dan duka yang mendalam. Makin dipikir akan makin mendalam kesedihannya.
- “Bagaimana kalau” berorientasi pada masa depan yang menghasilkan kecemasan, takut, putus asa, khawatir yang tak habis-habisnya. Misal: seorang pasien pria yang telah dirawat sebulan belum juga menunjukkan adanya tanda-tanda kesembuhan, mulailah berpikir “bagaimana kalau aku meninggal sementara anak-anakku masih kecil dan istriku sakit-sakitan? Pasti…..”
Yusuf tentu dapat pula terperangkap pola pikir seperti ini. Melihat ke belakang ia berpikir “kalau saja aku tidak mengikuti keinginan ayah pergi menengok kakak-kakakku, pasti…”, “kalau saja jubahku tidak kutinggalkan, tentu…” Melihat ke depan ia berpikir “Bagaimana kalau seumur hidup aku menjadi budak?”, “Bagaimana kalau aku mati tanpa pernah melihat ayah lagi?” dst.
Kenyataannya, Yusuf menolak berpikir demikian. Ia menunjukkan bahwa Allah yang dikenalnya adalah Allah yang hadir dan berkuasa atas peristiwa-peristiwa yang menimpa masa lalunya. Tidak ada yang terjadi tanpa sepengetahuan, penyertaan serta karya-Nya dalam hidupnya. Allah mereka-rekakan yang baik dengan memakai bahan-bahan pahit tersebut. Pemahaman bahwa Tuhan adalah Tuhan atas masa lalu dan masa depannya membuat Yusuf tidak membiarkan dirinya diikat kepahitan masa lalu dan ditakut-takuti oleh masa depan. Masa lalu dengan segala kepahitannya merupakan ladang Tuhan untuk bekerja membentuk dan membawanya kepada penggenapan rencana-Nya. Ia juga menolak diikat kekhawatiran akan masa depan. Masa depan adalah milik Tuhan yang akan dilaluinya dengan rahmat-Nya. Oleh sebab itu ia memusatkan hidupnya pada tempat dan waktu sekarang dalam penyertaan Tuhan untuk berbuah bagi-Nya. Ini terlihat dari nama-nama yang ia berikan kepada anak-anaknya. Anak pertamanya bernama Manasye yang berarti “orang yang membuatku lupa”. Ini menunjukkan bahwa Yusuf tidak mau diikat masa lalunya. Anak keduanya bernama Efraim, artinya “berbuah”. Ini menunjukkan tekadnya dalam penyertaan Tuhan, buktinya dia selalu menjadi nomor satu baik di rumahnya sendiri, sebagai budak di rumah Potifar, tahanan tepercaya di penjara dan akhirnya di istana Firaun.
Kisah Yusuf memberikan kebenaran bagi kita dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Dalam kesulitan, kita mudah sekali menengok ke belakang lalu menyesal, merasa bersalah atau berduka. Masa lalu sudah berlalu, tidak dapat diapa-apakan: tidak dapat dibatalkan, diulang, diubah atau dihapus. Membiarkan diri terus menerus dibelenggu pikiran “kalau saja” akan mengikat kita dengan kepahitan masa lampau kemudian kita mudah melihat ke depan dengan rasa khawatir, cemas dan penuh ketakutan karena masa depan begitu gelap bagi kita. Satu menusuk kita dari belakang yang lain menghujam kita dari depan. Kita terjepit dengan pelbagai kebuntuan dan hidup terasa sulit karena tergencet beban yang sangat berat. Akibatnya, ini merebut sukacita dan damai yang Tuhan berikan dan kita tidak dapat melihat kemahahadiran Allah dalam totalitas hidup kita. Mata kita juga buta terhadap karya dan penyertaan Tuhan di masa lalu dan masa depan serta buta terhadap anugerah dan kasih setia-Nya yang baru untuk hari ini. Kita pun menjadi gagal berbuah bagi Tuhan persis seperti orang Israel yang menghadapi laut di depan dan di jepit di belakang oleh laskar Firaun. Mereka tidak melihat Allah menyertai mereka.
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan:
- Saat kesusahan terjadi, melihat ke belakang: duka; melihat ke depan: cemas; melihat ke atas: iman dan pengharapan.
Sebagai orang percaya, Allah Yusuf juga Allah kita. Bagaimana Ia bekerja dalam hidup Yusuf, begitu pula Ia berkarya atas hidup kita (Rm. 8:28). Jadi, di mana pun kita ditempatkan, bagaimanapun kondisi kita di masa lalu, sekarang dan akan datang adalah ladang kerja bagi Tuhan untuk menyempurnakan rencana-Nya.
- Uruslah apa yang hari ini Tuhan percayakan kepada kita.
Pada waktu kesusahan terjadi, tanyalah apa yang Tuhan kehendaki bagi kita saat ini. Kita memang dapat belajar dari masa lalu tetapi bukan untuk tetap tinggal di sana dan terus menerus sibuk mengurusi masa lalu. Masa lalu sudah di belakang kita dan tidak ada sesuatu pun dapat kita ubah akan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Kita juga tidak dapat berbuat apa-apa dengan masa akan datang. Yang ada adalah saat ini dan kita dapat mengisi hari ini sebaik-baiknya.
Seorang rasul menengok ke belakang ke masa lalunya yang gelap. Ia mengatakan, “Aku tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas.” Apa yang dilihatnya di situ? Rasa bersalah terus menerus, mengutuki diri, menyesal tanpa akhir? Tidak! Ia melihat belas kasih Allah (1 Tim. 1:13), kesabaran-Nya (ay. 16) dan kasih karunia-Nya (ay. 14). Justru kasih karunia Allah itulah yang menjadikannya sebagaimana ia sekarang ada (1 Kor. 15:10). Mengenai hidupnya, ia melupakan apa yang di belakangnya dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapannya serta berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah yaitu panggilan Surgawi dari allah dalam Kristus Yesus (Flp. 3:13-14).
Masa lalu selalu berusaha menarik kita mundur ke belakang dan mengikat kita di situ. Pikiran tidak mungkin dihapus tetapi hadapi semuanya dengan anugerah dan panggilan Tuhan. Dan kita “berlari kepada tujuan” artinya kita berlari dengan konsentrasi pada panggilan Tuhan dengan tidak membawa beban-beban masa lalu yang akan menjadi penghalang dan membebani perjalanan sehingga mengurangi kecepatan berlari.
Mari kita mengevaluasi diri dengan membuat daftar hal-hal buruk di masa lalu juga tulis semua kekhawatiran kita di masa depan kemudian hadapkan dengan kehadiran dan anugerah-Nya dan jalani menurut panggilan-Nya. Maka kita mendapatkan kesempatan menerima tantangan iman untuk mengakui Tuhan sebagai Tuhan atas masa lalu, masa sekarang dan masa depan kita. Ia bekerja dalam segala sesuatu untuk menyempurnakan kita.
Disadur dari: “Menapaki Hari Bersama Allah” oleh Yohan Candawasa