KASIH YANG TAK BERKESUDAHAN
Sahabat saya, Mike, bercerita bagaimana putrinya yang berusia 3 tahun, Rachel, kehilangan keseimbangan dan kepalanya membentur sudut alat pemanas ruangan bertenaga listrik. Setelah jeritan yang singkat, ia pingsan. Orang tuanya segera membawanya ke rumah sakit. Beberapa tes mengungkapkan adanya retakan di tengkorak kepalanya.
Cukup mengguncangkan jiwa bagi seorang anak juga bagi orang tua. Rachel harus menginap semalam untuk observasi kemudian diperbolehkan pulang. Dapat dimengerti bahwa selama dua hari ia diam saja. Namun Mike tahu bahwa Rachel sudah pulih kembali ketika pada pagi hari ia mendengar putrinya berbicara sendiri. Mike masih di tempat tidur dan Rachel berada di kamarnya. Beruang? Guk-guk? Kambing? Baby? Ruff-ruff? Mike tersenyum. Rachel sedang memanggil satu persatu temannya di tempat tidurnya untuk memastikan semuanya hadir. Bagaimanapun juga ia sudah melewati ujian berat dan ia ingin memastikan bahwa semua baik-baik saja. Hening sejenak sebelum ia melanjutkan. “Mata? Hidung? Rambut? Tangan?” Demikianlah ia memeriksa semua temannya.
Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga memeriksa hubungan-hubungan Anda dengan orang- orang di dunia Anda? Siapa yang mengisi lingkaran dunia Anda – suami, istri, anak, orang tua, guru, sahabat, teman dan rekan kerja dst. Bukankah mereka berharga dan penting? Tidakkah hubungan- hubungan itu berharga meskipun sulit untuk menjaganya agar tetap sehat? Memang, mungkin saja ada orang-orang yang sulit. Meskipun demikian apakah ada yang lebih penting daripada mereka?
Coba pikirkan, saat Anda berada pada hari-hari terakhir hidup Anda, apa yang Anda inginkan? Kalau kematian mengulurkan tangan kepada Anda, ke mana Anda akan berpaling untuk mendapatkan penghiburan? Apakah Anda akan memeluk ijazah universitas di bingkai kayu itu? Apakah Anda akan meminta untuk dibawa ke garasi lalu duduk di mobil Anda? Apakah Anda akan terhibur dengan menghitung total uang Anda? Tentu saja tidak. Apa yang penting akhirnya ialah keluarga dan teman. Jika yang penting adalah relasi, bukankah seharusnya relasi tersebut sudah dibangun mulai sekarang?
Apa yang dapat Anda lakukan untuk memperkuat suatu relasi? Mengikuti apa yang diperbuat Rachel merupakan awal yang baik. Marilah kita membuat inventaris dari hati kita. Sudahkah kita hidup dalam luapan kasih Allah? Seberapa jauh kita mengasihi orang-orang dalam hidup kita? Apakah cara kita memperlakukan orang mencerminkan cara Allah memperlakukan kita?
Mengasihi orang tidaklah selalu mudah. Sungguh, tidak gampang mengasihi orang-orang yang menjadi sumber sakit hati, penganiayaan, penolakan yang menyebabkan kita menderita. Apa yang dapat kita lakukan? Mungkinkah kita berusaha memberikan apa yang tidak kita miliki? Dan apakah kita lupa telah menerimanya lebih dahulu?
Perempuan di Betania tidak lupa. Ia mencurahkan minyak narwastu murni yang mahal ke atas kepala Yesus (Mat. 26:7). Kasihnya bagaikan air terjun Niagara; beda dengan Simon yang hatinya tandus bagaikan Sahara kering.
Kasih Allah tak berkesudahan (1 Kor. 13:8). Kasih-Nya tak akan pernah jatuh ke tanah kemudian layu dan busuk. Sebaliknya, kasih-Nya bertahan selama-lamanya, tak pernah mati dan tak pernah berakhir tetapi abadi. Pemerintah, kedudukan, uang dll. akan berhenti dan habis tetapi kasih-Nya tidak berkesudahan. Bagaimana Allah memiliki kasih semacam itu? Sebab Ia bukan manusia.
Kasih kita tergantung pada si penerima kasih. Seribu orang boleh lewat di depan kita tetapi kita tidak akan merasakan kasih yang sama untuk setiap orang. Kasih kita diatur oleh penampilan dan kepribadian mereka. Perlakuan mereka memengaruhi bagaimana kita mengasihi mereka. Si penerimalah yang mengatur kasih kita.
Tidak demikian dengan kasih Allah. Kita tidak mempunyai pengaruh untuk mengatur besar kecil kasih-Nya kepada kita. Kasih Allah berasal dari dalam diri-Nya bukan dari apa yang ditemukan-Nya di dalam kita. Kasih-Nya spontan dan tanpa alasan. Ia mengasihi kita bukan karena kebaikan dan kemurahan hati kita juga bukan karena kita beriman besar. Berlimpahnya kasih kita tidak menambah kasih-Nya dan kurangnya kasih kita tidak mengurangi kasih-Nya. Kebaikan kita tidak meningkatkan kasih-Nya dan kelemahan kita juga tidak mencairkan kasih-Nya.
Allah mengasihi kita semata-mata karena Ia memilih untuk melakukannya. Ia mengasihi kita ketika tak seorang pun mengasihi kita. Orang lain mungkin meninggalkan kita, menceraikan kita dan tidak memedulikan kita tetapi Allah tetap mengasihi kita dalam kondisi apa pun. Inilah janji-Nya, “Aku mengasihi engkau, umat-Ku, dengan kasih yang kekal. Dengan kasih setia Aku menarikmu untuk mendekat kepada-Ku.” (Yer. 31:3 NLT)
Kita mempunyai sumur kasih yang dalam dan dapat kita timba. Apabila kita merasa sulit untuk mengasihi, kita perlu minum dan meneguk dalam-dalam setiap hari.
Jangan lupa kasih adalah buah. Bila kita masuk ke dalam kebun buah pekerjaan Allah, kita akan menemukan 9 rasa buah Roh (Gal. 5:22-23).
Kita juga ranting dari pokok anggur Allah. Ranting tidak berperan penting dalam menghasilkan buah. Ranting hanya mempunyai satu pekerjaan yaitu menerima makanan dari pokok anggur. Kita mempunyai satu pekerjaan yaitu menerima makanan dari Yesus. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh. 15:5)
Jelas, pekerjaan Yesus ialah menghasilkan buah, sementara pekerjaan kita adalah tetap bertaut dengan-Nya. Semakin kita terikat kepada-Nya, semakin murni kasih-Nya mengalir dalam kita. Betapa luar biasa kasih itu (1 Kor. 13:4-8)!
Kita tidak dapat mengasihi dengan sempurna, hanya Allah yang mampu melakukannya. Namun kita harus dapat mengasihi lebih daripada sebelumnya. Apabila kita enggan bermurah hati, kita mengingat kemurahan hati-Nya kepada kita dan memohon kepada-Nya untuk membuat kita lebih bermurah hati. Apabila kita tidak sabaran, kita mengucap syukur kepada-Nya untuk kesabaran-Nya dan memohon kepada-Nya agar kita menjadi lebih sabar. Apabila kita sulit mengampuni, ingatlah setiap saat kita diampuni oleh-Nya dan berdoalah untuk dapat mengampuni. Kita harus menerima lebih dahulu sehingga kita dapat memberi kemudian. Bila kita melakukannya, kita akan menemukan kasih yang patut diberikan.
Saduran dari: A Love Worth Giving by Max Lucado