HAJARAN
Beberapa minggu lalu saya mengikuti pertemuan keluarga dengan menggunakan aplikasi Zoom. Sejak masa pandemi ketika banyak dari kita harus menghabiskan banyak waktu di rumah, keluarga besar suami saya bersepakat untuk mengadakan pertemuan dua minggu sekali. Dan seorang dari kami secara bergiliran membagikan sesuatu bagi seluruh keluarga. Suami saya adalah saudara tertua dari sembilan bersaudar – enam laki-laki dan tiga perempuan.
Hari itu seorang saudara kami membagikan pengalaman bagaimana ayahnya mendidik anak-anaknya dengan keras dan disiplin. Ia bercerita bahwa ayahnya menggunakan “penebah” atau sapu lidi dalam mendisiplin mereka. Mungkin dia merasakan hajaran itu begitu keras hingga dia menambahkan dalam pembicaraannya, “Sekarang saya meminta kepada generasi milenial untuk tidak melakukan hal itu lagi karena tindakan semacam itu dapat menimbulkan luka batin mendalam di hati anak-anak kalian hingga waktu lama.” Ia mengatakan demikian karena dia pernah menerapkan cara tersebut kepada anaknya yang ternyata sangat melukai jiwa putranya hingga menimbulkan kepahitan terhadap dirinya untuk jangka waktu lama.
Mendengar pengalaman itu, banyak dari peserta memberikan tanggapan mereka. Mereka mengingat masa-masa itu, seorang saudara mengatakan ketika dihajar ayah, dia lari mengelilingi rumah dan kejar-kejaran dengan ayah. Saudara lain mengatakan ia mendapat hajaran paling keras dan mengakui bahwa di antara semua saudara dialah yang paling bandel. Kami semua tertawa. Banyak komentar dilontarkan sambil mengingat masa-masa lalu kami. Banyak lagi kisah-kisah yang lucu tetapi kadang menyakitkan itu diceritakan.
Anak-anak muda tidak ketinggalan memberikan komentarnya yang juga mendapatkan perlakuan sama – “dihajar dengan penebah”, “mama memukulku dengan rotan”, “papa mengunciku di gudang yang gelap dan penuh tikus”, “Saya menjerit dan menangis di dalam gudang sementara mama yang memegangi pintu juga ikut menangis…”
Saat itu, seorang anak kami mengadakan pengakuan bahwa dia pernah membenci papanya karena hajaran keras yang diterimanya; bahkan ia pernah merencanakan untuk lari dari rumah. Namun ketika berada di tengah perjalanan, dia menyadari bahwa dia tidak mempunyai tujuan ke mana dia akan pergi, bagaimana dia akan mendapatkan tempat tinggal dan makanan. Ia kemudian merasa takut lalu kembali pulang. Yang mengesankan ialah saat dia mengatakan, “Saya sangat mengenal Mr. “Penebah” sahabat baik papa. Walau saya pernah membenci benda tersebut ketika beranjak dewasa saya harus berterima kasih pada benda tersebut. Saya sangat bersyukur telah didisiplin menggunakan “kasih yang keras” (tough love). Bagaimana keadaan saya saat ini, keberhasilan saya, ketegaran saya dalam menghadapi berbagai masalah hidup yang harus dihadapi, juga dalam usaha meraih cita-cita. Itu semua berkat didikan yang keras dari papa.”
Adiknya juga menambahkan, “Walaupun didikannya keras, kami tahu itu demi kebaikan kami. Awalnya memang sangat menyakitkan tetapi di kemudian hari kami sangat mengasihi papa karena di balik hajaran itu kami merasakan kasihnya yang besar kepada kami. Ada pepatah Bahasa Inggris yang mengatakan “Spare the rod and spoil the child” – kalau kita tidak mendidik anak kita, kita akan merusaknya (diambil dari Amsal 23:13,14). Saya sangat berterima kasih kepada papa lewat Mr. Penebah. Semua anak dididik oleh ayah mereka. Benarlah yang dikatakan bahwa didikan itu tidak enak saat diberikan, kadang menyakitkan, membuat kita menderita dan sedih namun kemudian memberikan kedamaian bagi mereka yang telah dididik. Sebagai perwakilan dari grup milenial, kami mengatakan hal ini kepada para orang tua: “It’s OK papa dan mama untuk semua hajaran serta didikan yang kami terima. Kami sekarang mengerti dan sangat berterima kasih akan apa yang telah kalian lakukan kepada kami. Jangan merasa bersalah karena kami sekarang tahu kami dikasihi….. Kami tahu bahwa didikan (hajaran) melatih kita untuk menjadi tegar, kuat dan lebih baik. Ya, kami akan tetap melanjutkan didikan kepada anak-anak kami karena saat ini pun mereka masih membutuhkan didikan dari orang tua mereka. Mungkin kami akan memperbaiki cara kami mendidik anak-anak kami sesuai keadaan saat ini. Dengan cara bagaimanapun kami dididik, kami mengasihi kalian semua papa-papa dan mama-mama…!
Pembicaraan dalam zoom kali itu sangat menyentuh hati. Ungkapan isi hati, penyesalan, rasa terima kasih dan saling memaafkan….Semua bercampur menjadi satu. Saya menyadari bahwa didikan atau hajaran dalam Tuhan pun sering kita rasakan demi pertumbuhan rohani kita karena didikan membuat kami sebagai anak-anak-Nya belajar untuk menjadi lebih baik. Didikan adalah bukti kasih dari orang tua kepada anak-anak yang dikasihinya; demikian pula didikan Bapa Surgawi kita kepada kita adalah untuk kebaikan dan keselamatan kita.
Kita pernah membaca:
“Hai anak-anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan. Dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibr. 12:5,6; Ams. 3:11-12)
Dan kita menyadari betapapun kerasnya ganjaran yang kita terima, ada sesuatu yang indah di balik dukacita dan rasa sakit itu:
“Jika kamu harus menanggung ganjaran, Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi jikalau kamu bebas dari ganjaran yang harus kamu derita setiap orang maka kamu bukanlah anak tetapi anak gampang. Selanjutnya dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita tetapi dukacita, tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih oleh-Nya.” (Ibr. 12:7-11)
Bagaimanapun juga ada orang tua marah-marah menghajar anaknya bukan bertujuan mendidik tetapi karena pelampiasan. Ada pula anak-anak yang bandel dan memberontak sehingga menyakitkan hati orang tua mereka.
Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang anak muda bagaimana Tuhan digambarkan sebagai seorang “Bapa” kepada kita, anak-anak-Nya. Mendengar itu mukanya berubah. Ia mengatakan bahwa kalau Tuhan seperti seorang bapa, dia tidak tertarik untuk menjadi seorang Kristen. Ingin tahu mengapa responsnya demikian, saya menemukan bahwa dia sangat traumatis mendengar istilah “bapa”. Hal ini disebabkan karena bapaknya sangat kejam terhadap anak-anaknya. Bapaknya dapat sewaktu-waktu berkata-kata dengan suara keras dan kasar serta memukul hingga berdarah tanpa alasan yang pasti. Mungkin hal itu disebabkan karena masalah di kantor yang membuat hatinya jengkel atau pertengkaran dengan istrinya kemudian dilampiaskan kepada anak-anaknya.
Saya juga pernah mendengar kisah seorang pemudi yang bersaksi sering mengalami penderitaan batin tanpa mengetahui penyebabnya. Seorang konselor Kristen merawat dan dengan cinta kasih mengajaknya beberapa kali berdoa bersama. Suatu ketika seperti mimpi dia melihat seorang laki-laki membanting bayinya. Ia menceritakan hal itu kepada ibunya yang kemudian menceritakan bahwa ketika dia berusia 4 bulan, ayahnya marah sekali karena dia tidak mau berhenti menangis. Di dalam kemarahan itu ayah membantingnya di tempat tidur. Peristiwa itu tidak lagi diingatnya namun jiwanya telah terluka karena tersakiti dan luka hati itu ternyata terbawa ketika dia dewasa.
Ketika saya merenungkan kisah itu saya jadi mengerti bahwa kita harus selalu peka (dengan pertolongan Roh Kudus) untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita bersikap di musim-musim tertentu dalam kehidupan kita. Bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai anak muda terhadap orang tua kita; sebaliknya, bagaimana seharusnya kita bersikap setelah menjadi orang tua terhadap anak-anak kita sesuai Firman Tuhan.
“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu– ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.” (Ef. 6:1-3)
“Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran ajaran dan nasihat Tuhan.” (Ef. 6:4)
Nasihat bagi seorang ayah yang memberikan didikan dengan kasih dan bertujuan untuk kebaikan dan keselamatan anaknya memakai ajaran dan nasihat Tuhan. Sedangkan perintah bagi anak-anak adalah menaati dan menghormati orang tua mereka yang mendidik dalam ajaran Tuhan (bukan mendidik mereka untuk melanggar Firman Tuhan) dengan janji kebahagiaan dan panjang umur. (VS)