KALA PENGAMPUNAN TERASA MUSTAHIL (3)
KESALAHPAHAMAN TENTANG PENGAMPUNAN
1. Mengecilkan masalah. Dalam menghadapi situasi yang menyakitkan, kita sering bersikap seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi, tidak begitu penting atau tidak seburuk saat peristiwa itu Seorang wanita yang dianiaya secara brutal dan terus menerus oleh ayahnya berusaha menutupi pengalaman pahitnya dengan mengatakan bahwa masa kecilnya tidak bermasalah padahal kenangan buruk tentang penganiayaan itu selalu menghantuinya di malam hari, membuatnya sulit bergaul dengan pria selama 40 tahun. Mengecilkan masalah hanya menghambat langkah wanita itu menghadapi kenyataan mengerikan yang mengiring pertumbuhannya. Baru setelah ia berani mengungkapkan pengalaman buruknya, ia merasa terlepas dari beban yang membelenggunya. Sejak itu ia dapat melangkah maju dalam iman dan mendapatkan kembali harkatnya yang indah sebagai seorang wanita.
Harus diakui, di pihak lain ada orang-orang yang bersikap terlalu jauh yaitu tidak dapat mengampuni kesalahan orang lain yang paling ringan sekalipun. Hal ini juga menghalangi kita untuk memandang pengampunan dengan benar.
2. Mengampuni dan melupakan. Banyak orang meyakini bahwa mengampuni itu berarti melupakan (bnd. Yer. 31:34). Sesungguhnya Allah tidak melupakan dosa ketika Ia mengampuni dosa itu. Ia adalah Allah yang mahatahu dan Penulis utama dari Kitab Suci dan menginspirasikan dituliskannya catatan tentang dosa Daud setelah diampuni juga kisah Adam, Abraham, Musa, Paulus, Petrus dll. yang diampuni-Nya.
Allah itu mahapengasih bukan karena Ia memilih untuk melupakan dosa yang telah diampuni tetapi karena Ia tidak mengungkit-ungkit dosa itu kembali untuk menjatuhkan kita. Ia ingat bahwa Rahab adalah wanita sundal, Daud pernah berzina, Musa pernah membunuh, Abraham pernah menipu, Paulus pernah membunuh pengikut Kristus, Petrus pernah menyangkal Gurunya dst. Allah ingat semua dosa mereka bukan untuk mempermalukan tetapi untuk menyatakan kepada kita kebenaran tentang kerelaan-Nya untuk mengampuni dan memulihkan mereka kembali.
Pendekatan “mengampuni dan melupakan” ini sebenarnya merupakan usaha untuk melarikan diri dari rasa sakit hati di masa lalu; akan tetapi cara ini didasarkan pada asumsi yang salah. Allah tidak mengajar kita untuk melupakan dosa melainkan untuk tidak mengungkit-ungkit dosa orang lain dengan maksud menjatuhkannya. Dengan teladan-Nya dan oleh pertolongan Roh-Nya, Ia memampukan kita untuk mengampuni kesalahan orang lain dengan penuh kasih meski kita masih mengingatnya.
3. Mengampuni demi kebaikan diri sendiri. Mengampuni demi kebaikan diri sendiri memang meredakan kemarahan dan kepahitan hati. Hal ini juga membantu kita melepaskan diri dari emosi yang membara untuk membalas dendam. Namun jika diamati lebih cermat, tindakan ini justru diam-diam berpotensi merendahkan nilai pengampunan penuh kasih yang diajarkan dalam Alkitab. Bahayanya, hal ini mengubah pengampunan yang seharusnya merupakan ungkapan kasih menjadi suatu tindakan egois guna melindungi diri sendiri.
Perhatikan, Allah memberikan pengampunan berdasarkan pertobatan kita – ketika kita percaya bahwa hanya Yesus yang dapat menyelamatkan kita melalui pengurbanan-Nya. Ia tidak begitu saja membebaskan anak- anak-Nya yang berbuat dosa dari tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang mereka buat (bnd. 1 Yoh. 1:9).
CONTOH KASUS TENTANG PENGAMPUNAN (Kejadian 37 – 50)
Yang luar biasa dari kisah Yusuf ialah setelah semua tragedi yang menimpa dirinya, ia diangkat menjadi penguasa atas Mesir oleh Raja Firaun. Yang lebih hebat lagi Yusuf menjadi teladan baik berkaitan dengan pengampunan. Ia mengampuni semua saudaranya dan bersama mereka menjadi salah satu nenek moyang dari 12 suku Israel.
Proses pengampunan yang dialami Yusuf sungguh baik untuk dipelajari secara saksama. Pengampunan tersebut tidak terjadi dalam semalam. Perbuatan jahat saudara-saudara Yusuf telah menimbulkan rasa bersalah yang mendalam di dalam jiwa mereka dan meninggalkan kenangan pahit bagi Yusuf.
Proses rekonsiliasi dimulai oleh Allah. Mengatasai kepahitan masa lalu tidak dapat terjadi dengan cepat. Yusuf berusaha menghindari pahitnya kebenaran yang sesungguhnya. Ketika akhirnya ia menyingkapkan diri kepada saudara-saudaranya yang ketakutan, ia berusaha mengecilkan dampak kepahitan dari perbuatan yang telah mereka lakukan terhadapnya (Kej. 45:5).
Namun jaminan yang belum sempurna itu tidak dapat menyembuhkan luka masa lalu. Ketika ayah mereka meninggal, saudara-saudara Yusuf khawatir kalau Yusuf menggunakan situasi tersebut untuk membalas dendam. Oleh karena itu mereka sekali lagi memohon agar Yusuf mengampuni mereka. Pada akhirnya Yusuf benar-benar menerima sepenuhnya kesalahan mereka (Kej. 50:20). Ia menghibur dan menenangkan hati mereka. Proses pengampunan tersebut akhirnya benar-benar sempurna. Pemulihan suatu hubungan memang indah. Yusuf dapat mengampuni karena telah sepenuhnya menyadari bahwa kesejahteraan dan kehidupannya tidaklah bergantung pada saudara-saudaranya tetapi pada tangan Allah yang sanggup menyediakan segala sesuatu.
PERUMPAMAAN TENTANG PENGAMPUNAN (Luk. 15:11-31)
Kisah anak yang hilang membuktikan adanya:
Hati yang bertobat. Anak yang hilang itu menunjukkan kehancuran hati yang mau bertobat ketika ia sadar diri dan memutuskan untuk kembali ke rumah ayahnya. Pertobatan adalah kehancuran hati dan perubahan arah hidup yang ditandai dengan:
- Kerinduan untuk Ia merindukan sesuatu yang lebih berharga daripada yang telah ia nikmati dalam keadaannya yang berdosa (ay. 16).
- Pengakuan yang rendah hati. Ia mengakui keegoisannya telah merusak hubungan kasih dengan Allah juga dengan sesama (ay. 18-19).
- Permohonan untuk menerima belas kasihan. Ia memohon belas kasihan agar diizinkan menjadi budak tanpa meminta kembali kedudukannya yang semula dalam keluarga (ay. 21).
Hati yang mengampuni. Sang ayah menggambarkan hati Allah yang mahapengampun dalam menerima pertobatan sejati ditandai dengan:
- Penantian dengan penuh Kerinduan penuh harapan akan pemulihan tidak pernah padam dari hati sang ayah.
- Pernyataan kasih yang Sang ayah rela merendahkan diri tidak tunduk pada tradisi masa itu tetapi dalam tindakan kasih yang spontan ia berlari menyongsong anaknya (ay. 20).
- Belas kasihan yang Sang ayah bersukacita merasakan perobatan putranya. Ia pun mengembalikan kedudukan putranya sebagai anak, suatu tindakan yang tak terbayangkan sama sekali pda masa itu (ay. 22).
- Merayakan Sang ayah merencanakan pesta untuk merayakan kembalinya si anak hilang.
Hati yang tidak dapat mengampuni. Si anak sulung (mewakli kaum Farisi) menjadi contoh sikap yang menolak mentah-mentah untuk mengampuni. Ciri-ciri sikap ini antara lain:
- Kerasnya hati. Ia tidak rela untuk menerima kembali adiknya yang telah berlaku bodoh. Ia marah besar karena ayahnya masih mau menerima sang putra yang telah menyakitinya begitu dalam.
- Menuntut pembalasan. Ia berniat untuk menghukum adiknya atas apa yang telah dilakukanna dan tidak peduli pada perubahan hati sang adik. Ia tidak punya belas kasihan maupun keinginan untuk kembali berdamai.
- Menolak dengan angkuh untuk ikut dalam perayaan. Dia menjauhkan diri dari adiknya juga dari ayahnya. Ia kehilangan kesempatan untuk bersukacita untuk merayakan peristiwa itu karena ia hanya memikirkan diri sendiri. Ia tidak mau menyadari bahwa perbuatannya itu sebenarnya menimbulkan luka dan pemisahan antara dirinya dengan ayahnya sama seperti yang diperbuat sang adik sebelumnya.
Ketidakrelaan kita untuk mengasihi mereka yang telah menyakiti kita mencerminkan kegagalan kita sendiri untuk memahami betapa besarnya Allah telah mengasihi kita (bnd. 2 Ptr. 1:8-9).
PARADOKS DARI KASIH YANG MENGAMPUNI
Konsep Allah tentang kasih sangatlah jauh berbeda dengan konsep kita. Kita cenderung mengasihi yang kita sukai; Allah mengasihi apa yang terbaik bagi kita. Kita cenderung mau mengampuni jika hal itu menguntungkan kita. Allah ingin kita mengampuni sesama apabila itu memang terbaik bagi orang tersebut. Kita cenderung menerima apa yang menenangkan dan menghindari segala sesuatu yang menyakitkan. Allah mengingatkan hendaknya kita menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik (Rm. 12:9).
Kita dapat mengasihi dan mengampuni apabila kita terlebih dahulu diampuni Allah. Sudahkah kita mengalami sukacita karena hubungan kita dengan Allah telah dipulihkan oleh pengampunan dosa melalui iman di dalam Anak- Nya? Jika belum, rendahkan diri dan akui ketidakmampuan kita untuk membayar utang dosa, mintalah Dia untuk mengampuni kita dan terimalah anugerah pengampunan-Nya. Utang kita telah dibayar lunas. Terimalah Yesus dan mulailah mengalami kemerdekaan untuk mengampuni orang lain sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita.
Disadur dari: Kala Pengampunan Terasa Mustahil (Seri Terang Ilahi)