KALA PENGAMPUNAN TERASA MUSTAHIL (2)

 

 

TIGA: Pertobatan

Bertobat artinya “mengalami perubahan dalam pikiran”. Jadi, pertobatan bukan berarti mengalahkan dosa lalu dan menguburnya begitu saja tetapi perubahan pada hati dan pikiran seseorang agar sungguh-sungguh terjadi perubahan sikap.

Orang yang terlanjur melukai kita memang tidak dapat membatalkan apa yang telah terjadi. Akan tetapi mereka dapat menolong untuk membereskan masalah yang telah mereka timbulkan. Mereka dapat mengakui kesalahan mereka lalu menunjukkan bukti bahwa mereka telah sungguh- sungguh bertobat.

Memang terkadang mustahil untuk mengetahui apakah seseorang telah sungguh-sungguh bertobat tetapi kita dapat melihat bukti-bukti pertobatannya seperti: dia bersedia mengakui kesalahannya, tidak membela diri atas dosa yang dilakukannya, dengan rendah hati memohon pengampunan dan menerima konsekuensi dari perbuatannya dengan lapang dada. Itulah sikap Raja Daud yang berkenan di hati Allah yang menerima pengampunan dari Allah tetapi harus membayar harga mahal dengan kematian putranya, perpecahan dalam keluarganya dan bencana atas bangsanya (2 Sam. 12:13-23).

Jika orang yang melukai kita sudah meninggal, kita hanya dapat berdoa dalam kasih untuk “menyerahkan’ orang itu ke dalam tangan Allah.

EMPAT: Pengampunan

Mengampuni satu sama lain membuka jalan bagi kita untuk memiliki hubungan penuh kasih, jujur dan bertumbuh. Pengampunan menghapus alasan untuk menjauhkan diri, membuat jarak dan bersikap acuh tak acuh.

Ada kalanya kita perlu menahan pengampunan demi kasih ketika kita tidak melihat adanya bukti pertobatan. Dalam hal ini tidak benar jika seseorang beranggapan bahwa orang yang menahan pengampunan patut dipersalahkan atas masalah yang terdapat dalam suatu hubungan. Pengampunan hanya patut ditahan apabila hal itu digerakkan oleh kasih Kristus. Namun pengampunan tidak berarti bahwa kita boleh mengabaikan konsekuensi dari dosa yang telah diampuni. Kasih yang kita tunjukkan kepada mereka yang telah bertobat juga mencakup kewaspadaan dengan bersikap bijak untuk tidak menempatkan mereka dalam situasi yang akan menggoda kelemahan mereka atau membahayakan orang lain.

Dalam persoalan pengampunan, Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya (Gal. 6:7-8). Ia tidak mengampuni supaya semua konsekuensi dari dosa kita dapat terhapuskan. Ia mengampuni supaya kita dapat menikmati kasih-Nya yang menerima kembali diri kita. Ia menghapus dosa dan rasa malu kita untuk selamanya tetapi tidak menghapus semua luka dan konsekuensi yang harus kita tanggung dalam hidup ini.

LIMA: Pemulihan

Ketika perpecahan dalam suatu hubungan telah diperbaiki melalui pertobatan dan pengampunan, timbullah kelepasan indah yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Sebagian besar dari kita pasti pernah mengalami masa- masa tegang dan tidak menyenangkan karena masalah dalam hubungan dengan sesama. Namun kepedihan dan ketidaknyamanan itu akan berubah menjadi sukacita yang indah ketika kita mengalami pengakuan, pengampunan dan pemulihan.

Pemulihan hubungan dengan sesama membuat kita dapat sedikit merasakan sukacita yang dirasakan Allah ketika kita datang kepada-Nya untuk bertobat dan mengakui dosa kita. Lagipula Allah suka mengampuni. Kasih-Nya membuat Dia rindu untuk mengampuni serta membuat-Nya bersedia mengatasi dosa seperti diungkapkan oleh Nehemia (Neh. 9:17). Kita yang dahulu jauh dari-Nya dan hidup melawan Dia telah dibawa mendekat untuk menikmati hubungan yang dipulihkan dengan-Nya (Rm. 5:8-11; Kol.2:12-19).

HARGA PENGAMPUNAN

Kedua belah pihak yang terlibat dalam proses pengampunan harus bersedia membayar harga mahal seperti telah dilakukan Allah bagi kita, Ia harus menghukum Anak-Nya karena pelanggaran kita. Dia yang benar telah dihukum mati bagi orang-orang yang tidak benar (1 Ptr. 3:18).

Bagi orang yang terluka, harga yang harus dibayar adalah kerelaan untuk tidak membalas dendam (rm. 12:17- 21), membatalkan “utang” yang belum terbayar dan mengusahakan pemulihan dengan orang yang telah bertobat.

Bagi orang yang telah melukai sesamanya, harga yang harus dibayar antara lain berupa pengakuan disertai kerendahan hati dan pertobatan, kesediaan untuk tidak menyembunyikan perbuatannya, menyadari betul apa yang telah terjadi, bertanggung jawab penuh atas tindakan serta konsekuensinya, mengganti kerusakan yang telah ditimbulkan, tidak membela diri dan dengan hati hancur memohon belas kasihan serta menerima anugerah pengampunan dengan penuh syukur.

PRASYARAT UNTUK MENJALANI HIDUP YANG RELA MENGAMPUNI

Apa yang harus kita lakukan untuk menjadikan pengampunan sebagai gaya hidup kita?

Saat harus mengampuni, pikirkanlah itu sebagai suatu proses seumur hidup. Pengampunan bukanlah peristiwa sekali untuk selamanya. Pengampunan merupakan proses pembatalan utang yang terus menerus dilakukan dari mereka yang terus menerus menyakiti kita. Yesus mengajarkan prinsip pengampunan tak terbatas seperti dikatakan-Nya kepada Petrus, “Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:21-22).

Jika telah melukai orang lain, berhati-hatilah untuk tidak menuntut pengampunan. Berhati-hatilah ketika Anda meminta pengampunan. Yang menjadi masalah bukanlah soal ucapan maaf itu sendiri tetapi lebih kepada motivasi hati dari orang yang meminta pengampunan. Banyak orang meminta pengampunan hanya sekadar untuk menghindari kepedihan dari kesalahan dan kerusakan yang dilakukannya. Orang yang benar-benar bertobat tidak akan menuntut apa-apa sembari memohon pengampunan atas kesalahan yang dilakukannya (bnd. Mzm. 51:19).

Untuk menghadapi kemungkinan mengalami luka hati di masa mendatang, mulailah memupuk hati yang rela mengampuni. Setidaknya ada empat kualitas karakter yang membantu kita memupuk hati untuk rela mengampuni mereka yang menyakiti kita.

1. Kerinduan akan sesuatu bernilai lebih daripada yang kita terima pada masa kini. Kepuasan yang dirasakan setelah membalas dendam hanyalah bersifat sementara. Dalam khotbah di bukit, Yesus mengajarkan, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran karena mereka akan dipuaskan” (Mat. 5:6).

Salah satu “kebenaran” yang patut dirindukan adalah kasih seperti Kristus bagi mereka yang masih menyakiti kita. Bagi mereka yang hidup menurut hukum dunia ini, kebaikan semacam ini mungkin tampak tidak masuk akal bahkan seperti menjerumuskan diri sendiri. Namun inilah kasih yang menjadi ciri khas kita sebagai pengikut Kristus juga sebagai anggota Kerajaan Surga yang tahu mengucap syukur. Bagi orang yang hatinya penuh kasih, ini bukanlah sikap mau menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Ini justru menjadi dasar kerinduan kita supaya Allah bekerja dalam hidup para musuh kita supaya mereka bertobat dan siap menyambut kedatangan Kristus kedua kalinya yang dapat terjadi kapan saja.

2. Hati yang hancur karena dukacita dan kepedihan. Semakin kita menyadari betapa besarnya kebutuhan kita akan belas kasihan dan pengampunan Allah, semakin besar kerelaan kita untuk meneruskan pengampunan kepada mereka yang telah mengakui dan bertobat dari dosa-dosa yang telah mereka lakukan terhadap

Paulus berbicara tentang dukacita Ilahi yang menghasilkan pertobatan (2 Kor. 7:10). Sebagaimana kita telah mengalami dukacita Ilahi atas dosa-dosa kita dan menikmati berkat pengampunan Allah, kita dapat membimbing dan mendorong orang lain untuk mengalami pertobatan sehingga mereka pun menerima kelegaan dari belas kasihan-Nya.

3. Penolakan untuk membalas dendam. Mana yang Anda pilih? (a) Menyiksa selamanya-lamanya orang yang paling menyakiti kita atau (b) melihat mereka mengalami hati yang hancur dan mau bertelut di hadapan Allah yang telah menunjukkan kebaikan-Nya kepada Anda. Jawaban Anda menunjukkan isi dan pilihan hati Anda.

Membalas dendam itu sudah umum tetapi kebaikan hati yang tidak selayaknya diterima adalah lain daripada yang lain. Mereka yang hidup tanpa kasih karunia akan terus mengalami beragam kepahitan, rasa bersalah, kemarahan, ketakutan, pemisahan dan kesepian. Racun yang keluar dari hati yang tidak mau mengampuni tidak saja meracuni pihak lawan tetapi justru terlebih dahulu ditelan oleh si pemilik hati itu sendiri.

Menyerahkan pembalasan ke dalam tangan Allah bukan berarti mengingkari keadilan atas mereka yang menyakiti kita. Menolak untuk membalas kejahatan dengan kejahatan dapat mengejutkan orang yang layak mendapatkan pembalasan. Ia tidak akan menduga hal itu sebelumnya dan terheran-heran dengan kebaikan tak terduga yang memberinya kesempatan untuk bertobat dan menerima pengampunan yang telah Allah berikan kepada kita.

Pembalasan adalah urusan Allah. Kita ditantang untuk memercayai Dia sepenuhnya yang bersabda, “Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan” (Rm. 12:19) juga memohonkan belas kasihan atas orang-orang yang menyakiti kita.

4. Keberanian untuk mengasihi sesama seperti Allah telah mengasihi kita. Ciri khas orang yang mengenal Allah terlihat ketika ia mengasihi sesama dengan kerinduan besar agar mereka menerima pengampunan seperti yang telah dialaminya. Yesus mengajarkan bahwa semakin besar pengampunan yang diterima seseorang, semakin besar pula kasihnya (Luk. 7:40-48).

(bersambung)