KALA PENGAMPUNAN TERASA MUSTAHIL (1)

 

 

Seorang penulis mengatakan, “Iblis terus merasukiku dengan pikiran jahat untuk membalas dendam kepada keluargaku. Aku pernah menderita siksaan emosional selama bertahun-tahun sejak masa kecil hingga dewasa dan baru berhenti saat aku menikah. Ada kalanya saat-saat itu begitu mengerikan. Aku memikul aib dari kebencian dan kecemburuan orang tuaku. Aku terus menerus dikritik dalam segala hal yang aku lakukan. Aku tidak pernah mendapat dukungan. Sampai hari ini aku masih dihantui mimpi buruk yang dipenuhi niat membalas dendam. Jika aku seorang Kristen yang baik, bukankah seharusnya aku mampu mengampuni orang tuaku setelah sekian lama dan aku pun terlepas dari luka yang menyakitkan ini? Bagaimana aku dapat belajar mengampuni supaya aku tidak lagi merasakan kemarahan ini setiap kali berada di dekat mereka? Tolong aku!”

Tidak hanya penulis ini yang bergumul dengan pengampunan. Seorang pria mendapati istrinya berselingkuh. Ia tidak sanggup mengampuni sang istri yang telah mengkhianati kepercayaannya. Pria ini berusaha menyelamatkan keretakan hubungan mereka tetapi ketakutan, ketidakpercayaan, dan amarah berulang kali menggagalkan usahanya.

Bagaimana reaksi kita saat seseorang menggosipkan kita? Masalah pribadi yang kita percayakan kepadanya sekarang menjadi topik hangat yang dibicarakan di lingkungan rumah dan di antara rekan sekantor kita. Awalnya kita merasa sakit hati lalu merasa dikhianati dan akhirnya marah. Lukanya terasa sepedih sebuah tikaman, kita pun merasa ingin balas dendam. Orang yang kita percayai telah melukai kita dan sekarang kita mencari cara untuk membalas perbuatannya. Pengampunan menjadi hal terakhir yang terpikirkan oleh kita.

Jadi, apa arti suatu pengampunan? Apa yang muncul di benak kita ketika mendengar kata pengampunan? Melupakan? Tiada lagi luka? Tiada lagi marah? Yang lalu biarlah berlalu? Melepaskan begitu saja orang yang telah menyakiti kita? Ketidakadilan?

Pengampunan adalah sebuah doktrin yang paling sering disalah mengerti dalam kehidupan Kristen. Banyak orang meyakini pengampunan berarti pembebasan bagi seseorang tanpa syarat dari kesalahannya di masa lampau. Mereka beranggapan bahwa kita harus mengampuni agar dapat mengasihi. Sementara yang lain menganut sikap “aku mengampunimu demi kebaikanku” yang memandang pengampunan sebagai sarana untuk melepaskan diri sendiri dari kepahitan dan api kemarahan. Dari pelbagai aspek, pengampunan kemudian dilihat sebagai tawaran ampun tanpa syarat yang menyatakan “Apa pun yang telah kaulakukan padaku, aku mengampunimu”.

Namun tidak seperti yang dibayangkan banyak orang, hasil dari pengampunan tak bersyarat ini tidak selalu bernilai positif. Betapa ngerinya membayangkan bagaimana seorang istri dapat mengampuni suaminya yang belum bertobat dari perilakunya yang suka mabuk, sering memukul dan mempermalukannya di depan umum melalui perselingkuhannya. Apakah pengampunan merupakan bentuk kasih yang dibutuhkan oleh suami semacam ini? Patutkah si istri melepaskan suaminya dari tanggung jawab setelah melanggar janji nikah mereka dengan terang- terangan?

Alkitab mengajarkan bahwa tindakan pengampunan tergantung pada jawaban terhadap pertanyaan, “Apa yang harus kita lakukan untuk dapat mengasihi seperti Kristus?” Jawabannya tergantung pada keadaan ketika kita mengajukan pertanyaan itu. Terkadang kasih mengharuskan kita berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Terkadang kasih menuntut kita untuk mengampuni berkali-kali (Mat. 18:21-22). Dan terkadang kasih mendorong kita untuk menunda pengampunan demi kebaikan orang yang telah melukai kita.

DEFINISI PENGAMPUNAN

Pengampunan mengandung arti “membebaskan”, ‘menyingkirkan jauh-jauh” atau “melepaskan”. Dalam bahasa Yunani, pengampunan biasanya digunakan untuk pembebasan atau pemberhentian dari suatu pekerjaan, pernikahan, kewajiban, utang atau hukuman. Menurut Alkitab, pengampunan diartikan sebagai pembatalan utang secara sukarela karena kasih. Contoh: di rumah Simon orang Farisi, Yesus menghubungkan pengampunan dengan pembatalan kewajiban untuk membayar utang (Luk. 7:36-47). Inti kisah “Yesus diurapi oleh perempuan berdosa” ialah bahwa dosa menjadi suatu utang yang harus dibatalkan atau dihapuskan. Semakin kita menyadari betapa besarnya kita diampuni, semakin besar pula kasih kita kepada pribadi yang telah menghapuskan utang kita.

POLA PENGAMPUNAN

Dalam Lukas 17:3-4, Yesus memberikan pola untuk mengampuni orang berdosa. “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: “Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.”

Ada lima bagian dari pola pengampunan yang Yesus berikan, yaitu:

SATU: Pelanggaran

Kita harus ingat bahwa dosa dapat diartikan sebagai setiap kegagalan kita untuk mengasihi. Pada suatu kesempatan, Yesus merangkum seluruh kewajiban kita terhadap Allah dan sesama sebagai utang kasih (Mat. 22:37-40). Paulus melakukan hal yang sama ketika ia berkata, “Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapa pun juga tetapi hendaklah kamu saling mengasihi” (Rm. 13:8).

Lukas 17:3-4 merupakan bentuk pelanggaran terhadap kasih. Apakah Yesus mengajar kita untuk menegur satu sama lain atas setiap kegagalan kita dalam mengasihi? Atau Ia mengajar kita untuk menuntaskan setiap pelanggaran terhadap kasih, jika tidak diselesaikan akan merusak hubungan tersebut dan membuat kita bersikap tidak peduli terhadap kepentingan pihak yang dilukai?

Pada dasarnya kita semua suka membenarkan diri sendiri. Kita semua cenderung mengecilkan dampak menyakitkan yang diakibatkan oleh pelanggaran kita sehari-hari baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap sesama.

Mengingkari rasa sakit merupakan bentuk umum dari penipuan terhadap diri sendiri. Kita berpura-pura bahwa apa yang dialami tidaklah terlalu menyakitkan atau kita merasa telah bersikap terlalu sensitif.

Keretakan kecil dalam suatu hubungan mulai muncul dan terus menerus melebar sampai benar-benar tidak ada lagi kedekatan dalam hubungan itu. Dalam keadaan yang sudah parah, dengan ringan kita mengatakan, ’Apa mau dikata, manusia memang dapat berubah.” Kita pun kehilangan kesempatan untuk mengalami sukacita dari hadirnya kasih yang jujur, pengampunan dan rekonsiliasi.

Dosa adalah masalah yang terus hadir dan mengikis kepercayaan serta keintiman yang Allah inginkan saat Ia menciptakan kita. Oleh karena itu pengampunan merupakan kebutuhan yang terus diperlukan untuk menyelesaikan dosa kita satu terhadap yang lain. Kita bukan saja perlu mengampuni tetapi kita sendiri juga perlu diampuni oleh mereka yang telah kita sakiti.

DUA: Teguran

Setelah merasakan sakitnya suatu pelanggaran, orang yang terluka itu mempunyai tanggung jawab untuk bertindak. Yesus berkata, “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia” (Luk. 17:3). Walau kata “menegur” terdengar keras, setiap hal yang diajarkan Yesus haruslah dimengerti menurut prinsip dan motivasi yang didasarkan pada kasih Ilahi. Oleh karena itu teguran yang dimaksudkan-Nya haruslah dilakukan demi kebaikan orang yang telah menyakiti kita.

Salah satu arti “menegur” dalam bahasa Yunani ialah “menghormati” atau “memberikan bobot atau nilai yang pantas atas sesuatu”. Melihat penggunaannya, meminta seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya adalah satu cara untuk menghormati orang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa diri mereka bernilai penting bagi kita sehingga mereka perlu memerhatikan tindakan mereka dengan sungguh-sungguh. Namun ada kalanya kita tidak perlu memberikan teguran langsung, kita cukup berdoa seperti dilakukan oleh Sang Juru Selamat di atas kayu salib, “Ya, Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Kasih semacam itu menutupi banyak sekali dosa (1 Ptr. 4:8) dan tidak dapat dimengerti oleh orang yang melukai kita. Hal ini sering terbukti nyata apabila yang menyakiti kita adalah anak-anak kecil, mereka yang belum dewasa rohani atau orang-orang-orang yang tidak memiliki Roh Kristus dalam hati mereka. Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati agar belas kasihan yang kita tunjukkan benar-benar ditujukan demi kebaikan orang yang melukai kita bukan sekadar upaya menipu diri agar kita terhindar dari keharusan untuk menegur.

Jika memang diperlukan teguran penuh kasih, kita dapat melakukannya dengan lembut, dapat pula berupa pandangan penuh pengertian atau sentuhan tanda kasih atau teguran ringan. Terkadang kita perlu menanggapi pelanggaran dan sikap orang yang melukai kita dengan lebih keras bahkan dapat berujung pada tuntutan hukum dan ancaman penjara. Namun tidak ada yang lebih buruk daripada membiarkan orang yang telah melukai kita terus hidup dalam dosa tanpa ada yang mengingatkan dan menegurnya sampai kelak ia menghadapi penghakiman Allah.

Alkitab memberikan teladan tentang beragam teguran yang diperlukan. Ada teladan dari Natan yang menemukan cara kreatif untuk menegur Raja Daud yang telah berdosa dalam percabulan dan pembunuhan (2 sam. 12:1-14). Juga Yesus menegur Marta dengan lembut karena dia terlalu sibuk berusaha menjadi tuan rumah yang baik sampai-sampai tidak punya waktu untuk mendengarkan-Nya.

Teguran penuh kasih jelas dibutuhkan. Masalah-masalah yang tak terselesaikan dalam suatu hubungan dapat mengakibatkan timbulnya jarak dan sikap acuh tak acuh yang tidak terjelaskan serta menghancurkan kepercayaan dari dua belah pihak dan sikap saling menghindar. Masalah yang tak terselesaikan akan membuat pihak yang melukai merasa tidak perlu bertanggung jawab dan perlakuan yang dibiarkan berlalu begitu saja justru akan mendorong pelaku untuk mengulangi sikapnya yang bermasalah itu.

Teguran penuh kasih tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa. Ada orang yang gemar meluruskan sikap orang lain dengan cara memaksa. Yesus tidak mendukung cara tersebut. Teguran penuh perhatian harus diberikan pada waktu yang tepat dan sesuai kebutuhan orang yang menerimanya. Orang yang bijak dapat menerima teguran itu sebagai tanda kasih untuk membangun bukan bermaksud menghancurkan dirinya (Ef. 4:29). Teguran akan lebih didengar jika teguran itu berasal dari sahabat daripada dari musuh (Ams. 27:6).

Teguran harus disampaikan dengan hasrat membuat orang yang melukai tersebut menyadari dosanya. Dengan demikian mereka dapat memahami dengan jelas apa yang telah mereka lakukan, bertanggung jawab atasnya dan mengubah kebiasaan yang membuat mereka berperilaku seperti itu.

Kita memerlukan hikmat untuk mengetahui kapan harus berbicara dan kapan berdiam diri. Kita juga membutuhkan keberanian karena tidak tahu dampak dari teguran yang kita lontarkan. Terkadang usaha kita untuk menunjukkan kasih justru dibalas dengan kemarahan, penyangkalan dan sikap menjauhkan diri yang memperburuk masalah. Oleh sebab itu kita harus siap menerima risiko yang terburuk ataupun hasil yang terbaik. Tujuan kita bukan hanya untuk menyembuhkan luka yang telah tertoreh dalam suatu hubungan tetapi juga untuk melakukan apa saja yang perlu agar kita dapat mengasihi seperti Yesus.

Dalam Lukas 17:1-10, Yesus hendak mengatakan bahwa Allah mendukung kita serta memampukan kita menjalani proses sulit dan menakutkan yang kita lalui saat menegur dan mengampuni orang yang melukai kita. Bagaimanapun juga, penting bagi kita untuk memahami bahwa Yesus menuntut adanya pertobatan sebagai syarat yang mendahului pengampunan.

(bersambung)