HARAPAN DI TENGAH RATAPAN (1)

 

 

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap” Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu! “TUHAN adalah bagianku”, kata jiwaku, oleh sebab itu aku akan berharap kepada-Nya. TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia. Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.” (Rat. 3:21-26)

Kitab Ratapan menuliskan tentang zaman yang paling kelam dan berat dalam Perjanjian Lama. Yeremia, penulis dari kitab tersebut menjadi saksi kematian sebuah kota, Yerusalem. Ia menyaksikan bagaimana Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan juga bangsa Israel mengalami kesengsaraan yang berkepanjangan sebagai orang buangan. Namun demikian, justru saat ia meratapi kehancuran kota tersebut, ia menyadari bahwa Allah yang hidup sedang berkarya. Bukankah kita pun saat ini mengalami hal yang sama? Dengan adanya pandemi COVID-19 yang melanda dunia saat ini, kita semua diliputi dengan banyak ketidakpastian. Namun kiranya kita masih dapat menemukan kepastian di dalam Tuhan sehingga dengan penuh keyakinan kita dapat mengatakan kepada-Nya, “Besar kesetiaan-Mu Tuhan, tidak berkesudahan kasih setia- Mu.”

Bangsa Babilonia telah merebut kota Yerusalem. Seruan dalam Ratapan 1:1, “Ah, betapa terpencilnya kota itu, yang dahulu ramai!” juga menjadi seruan kita saat ini ketika virus mengambil alih kota di mana kita tinggal. Kota- kota besar kini menjadi sunyi sepi karena mengalami lockdown. Keadaan yang menyedihkan di Yerusalem saat itu digambarkan dalam Ratapan 3:17, “Engkau menceraikan nyawaku dari kesejahteraan, aku lupa akan kebahagiaan.” Dan “Dengan bahaya maut karena serangan pedang di padang gurun, kami harus mengambil makanan kami.” (Rat. 5:9). Ini pun sedang kita alami bukan?

Ada sebuah istilah dalam bahasa asing “Luminal space” yang menunjukkan sebuah jangka waktu di antara dua kejadian dan ditandai dengan ketidakkepastian; dapat digambarkan seperti: “Kita sudah berangkat pergi namun belum tiba di tempat tujuan”. Suatu masa seperti yang pernah dialami para murid Yesus ketika Yesus telah naik ke Surga; mereka ditinggalkan dan menantikan kedatangan Roh Kudus. Mereka merasa seperti pengembara yang tidak tahu apa yang bakal terjadi dan hanya menunggu janji Tuhan yang tidak tahu pasti kapan datangnya. Contoh lain adalah ketika bangsa Israel telah meninggalkan Mesir menuju kota yang dijanjikan Allah namun belum tiba. Mereka tahu Allah menjanjikan sebuah tempat tetapi mereka tidak pernah tahu bagaimana rupa dan keadaan tanah perjanjian itu. Mereka berjalan melalui padang belantara yang tidak jelas kapan berakhirnya dan kapan mereka akan tiba. Apakah Anda mengira masa semacam itu sesuatu yang mudah? Tentu saja tidak bukan?

Bagi kita, secara umum, dapat juga digambarkan bahwa keadaan kita saat ini berada di antara kedatangan Kristus yang pertama dan kedatangan Kristus yang kedua, suatu masa yang tidak seorang pun tahu kapan tibanya. Secara khusus, saat ini pun kita mengalami “masa luminal”. Kini kita menghadapi pandemi yang virusnya tidak dapat kita lihat kasatmata namun telah memakan banyak korban. Kita tidak tahu dengan pasti di mana virus itu berada, bagaimana menangkalnya, juga kapan masa pandemi ini akan berakhir. “Masa Luminal” yang kita alami terasa seperti masa pengasingan ketika kita harus mengunci diri di rumah masing-masing. Kita mungkin bertanya-tanya: kapan kita dapat merencanakan hari-hari yang menyenangkan lagi untuk bepergian, untuk bertemu sanak saudara, untuk beribadah ataupun untuk kembali meniti karir kita? Kita bahkan tidak tahu kapan lagi kita dapat saling berjabat tangan atau berpelukan dengan hangat. Yang kita rasakan saat ini adalah masa yang penuh was-was dan ketegangan, entah sampai kapan.

Sidang Tuhan bukan hanya berupa sebuah bangunan karena Anda maupun saya adalah Bait Allah. Seperti Bait Allah di zaman pembuangan yang dihancurkan, kita pun merasakan adanya usaha penghancuran persekutuan kita. Ibadah di gereja ditiadakan dan kita seperti dalam tempat persembunyian dan hanya dapat mengikutinya via streaming atau online. “Kapan semua ini berakhir?” adalah pertanyaan yang sering kali terluncur. Tak seorang pun dapat memastikannya. Ketika kita merasa segala sesuatu yang kita alami bersama membingungkan dan tidak ada kepastian, biarlah kita mengingat bahwa Allah sedang mengerjakan sesuatu di luar dugaan kita.

Menghadapi masa-masa ini, beberapa dari kita memberikan respons yang berbeda:

  • Ada yang menarik diri karena kecewa, pasif, apatis, terkadang cemas. Mereka menolak untuk berdoa bersama secara online karena merasa hal itu tidak ada gunanya lagi.
  • Mencari jalan pintas, mengabaikan dan meremehkan semua seolah-olah tidak ada virus: “Demit ra ndulit, setan ra doyan”, demikian kata mereka seperti yang terjadi di Amerika. Dengan beraninya mereka menolak protokol kesehatan yang ditentukan.
  • Respon ketiga adalah melakukan apa yang diajarkan oleh Nabi Yeremia dalam kitab Ratapan saat berada di masa ketidakpastian tersebut.

Yang menarik dalam Kitab Ratapan bukan hanya isi dari kitab itu tetapi juga bentuknya. Kitab Yeremia memiliki 5 pasal yang mana pasal 1, 2, 4 dan 5 memiliki 22 ayat sedangkan pasal ke 3 memiliki 66 ayat. Angka 22 menunjukkan abjad Ibrani dan ternyata kalau kita membaca bahasa aslinya, semua ayat dimulai dengan abjad Ibrani dari abjad pertama hingga abjad ke-22. Sedangkan pasal tiga yang memiliki 66 ayat, tiap abjad diulang 3 kali; jadi susunannya 3 kali abjad pertama, 3 kali abjad kedua, 3 kali abjad ketiga dst. sampai ayat ke-66.

Penyusunan ini menggambarkan betapa lengkapnya penderitaan yang dialami oleh bangsa Israel sepertinya dari awal sampai akhir penuh penderitaan sebanyak kata-kata yang dapat diucapkan yang terbentuk dari abjad-abjad itu.

Namun, ternyata Kitab Ratapan memberi kita banyak pelajaran:

1. DI TENGAH KETIDAKPASTIAN HIDUP, BELAJARLAH SABAR DAN NAIKKAN DOA DENGAN JUJUR.

Pengalaman orang Israel saat mengalami ketidakpastian membuat mereka sangat menderita. Kematian orang-orang yang tertinggal di Mesir dan penghancuran Bait Allah membuat mereka meratapi kehancuran itu dalam doa-doa mereka.

Lalu bagaimanakah dengan pengalaman kita? Apa yang kita keluhkan? Mungkin kita merasa tidak nyaman, tidak lagi mempunyai kebebasan. Kita tidak lagi dapat bebas bepergian dan berekreasi seperti biasanya. Tempat yang sering kita kunjungi telah tutup. Rencana bepergian harus dibatalkan. Selain itu banyak dari kami kehilangan pekerjaan, kehilangan teman-teman atau keluarga yang terpapar COVID-19. Kita tidak berdaya memerangi virus yang merajalela ini yang berimbas pada aspek-aspek kehidupan kita. Lalu apa yang kita lakukan? Apakah kita membiarkan diri kita terlarut dan hanyut dalam dukacita? Atau tidak memedulikan semua musibah ini dengan mengabaikan protokol kesehatan yang diberikan? Kitab Ratapan mengakui bahwa persoalan-persoalan itu ada tetapi juga mengajarkan kepada kita bahwa selalu ada harapan di dalam Tuhan. Jika persoalan yang kita hadapi adalah dari A – Z (abjad Indonesia), biarlah kita juga menaikkan doa dari A – Z dengan hati yang jujur dan tulus kepada Tuhan.

2. DI TENGAH KETIDAKPASTIAN HIDUP, PERHATIKAN ORANG DI SEKITARMU.

Yang dapat kita pelajari juga ialah dalam Ratapan pasal 1 – 2, kata ganti orang yang digunakan adalah tunggal seperti, “…. Laksana seorang jandalah ia, yang dahulu agung di antara bangsa-bangsa…… Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis, tak ada seorang pun menghibur dia….(1:1-2)......Tuhan membuang semua pahlawanku yang ada dalam lingkunganku; Ia menyelenggarakan pesta menentang aku….(ay. 15)……dara- daraku dan teruna-terunaku gugur oleh pedang…” (2:21).

Namun jika kita memerhatikan pasal 4 – 5, kata ganti tunggal berubah menjadi jamak seperti, “Selalu mata kami merindukan pertolongan, tetapi sia-sia dari Menara penjagaan kami menanti- nantikan….(4:17)…….Ingatlah ya TUHAN apa yang terjadi atas kami, pandanglah dan lihatlah akan kehinaan kami….(5:1)……Bawalah kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali. Baharuilah hari- hari kami seperti dahulu kala…” (5:21).

Kata-kata ratapan yang berubah dari “aku” menjadi “kami” mengajarkan bahwa walau awalnya masing- masing dari kita merasakannya sendiri, saat melihat saudara dan sahabat kita juga menderita, kita merasa disatukan untuk memerangi virus itu bersama-sama; kita menaikkan permohonan doa bersama dan saling mendoakan serta saling memerhatikan. Ratapannya menjadi ratapan dan permasalahan kita bersama. Dengan demikian, ketika kita menghadapi bahkan mengalami bersama suasana yang tidak menentu ini, kita menjadi lebih erat dan dipersatukan. Di samping itu kita dapat membantu saudara-saudara kita yang lebih menderita daripada kita.

Apakah kita harus terus meratap? TENTU TIDAK. Penyusunan ayat-ayat secara alfabetis ini memberikan kita inspirasi bahwa seperti susunan abjad yang ada huruf akhir dan tidak akan ada huruf lagi maka semua musibah/ratapan pasti akan ada akhirnya! Karena itu DI TENGAH KETIDAKPASTIAN HIDUP, BELAJARLAH BERSABAR KARENA PENDERITAAN PASTI ADA AKHIRNYA!

(Bersambung)