MENGAPA TERJADI KEKERASAN DI DUNIA? (2)
KEKERASAN TIMBUL KARENA TERPUTUSNYA SEBUAH HUBUNGAN
Dengan memilih jalan sendiri, Adam-Hawa mengorbankan warisan kedamaian milik kita. Dengan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, mereka beroleh lebih banyak ilmu pengetahuan daripada yang dapat mereka tanggung. Pada akhirnya mereka mengalami sendiri bahwa kejahatan dan kekerasan merupakan konsekuensi ganda dari terputusnya hubungan dengan Allah.
Kekerasan karena melindungi diri. Hubungan sehat mengalir dari ketergantungan yang sehat kepada Sang Pencipta kita (Yoh. 4:13-14; 6:32,35,49-51) sebab manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari segala yang diucapkan Tuhan (Ul. 8:3). Mereka akan beroleh ketenteraman emosional dan rohani. Hanya dengan penyerahan diri kepada Allah kita akan merasa tenteram untuk dapat saling memerhatikan karena Ia telah memelihara kita.
Berbeda dengan orang yang melindungi diri sendiri, ia berusaha untuk memerhatikan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Kekerasan karena iri hati dan hasrat yang tidak dapat dikendalikan. Orang yang tidak takut akan Allah dan tidak memercayakan diri kepada-Nya tidak mempunyai batasan-batasan dalam dirinya. Mereka menjauhkan diri dari Allah dan mengandalkan diri sendiri menjadi seperti binatang-binatang lapar yang bersaing untuk mendapatkan mangsanya. Ketamakan mengubah dunia berkelimpahan yang diciptakan Allah untuk semua manusia (Kej. 1:26-30) menjadi medan perang (Yak. 4:1-2).
Iri hati terkadang muncul dengan beragam bentuk yang tampak “dibenarkan” seperti dialami oleh Asaf. Ia mengaku begitu iri hati terhadap mereka yang tidak menyembah Allah hidup lebih makmur ketimbang orang-orang yang percaya kepada Allah. Karena marah dan iri hati oleh sebab keinginan-keinginannya tak terpenuhi, Asaf hampir kehilangan iman. Namun kegelisahan dan kepedihan hati yang dialami Asaf digunakan Allah untuk membawanya ke sudut pandang kekal yang mengembalikan rasa hormat dan syukur kepada-Nya. Waspada, orang-orang beriman pun dapat menjadi berbahaya ketika mereka iri hati terhadap sesama.
Kekerasan karena mencari kambing hitam. Tanpa kedamaian (shalom) dan tekad kuat yang mengalir dari hubungan dengan Allah, orang-orang akan dipenuhi dengan ketakutan dan amarah. Ketidakpastian dan ketidakberartian hidup membuat mereka gelisah. Pencarian yang sia-sia terhadap kepuasan menjadikannya putus asa dan marah.
Karena kesulitan mengatasi emosi-emosi yang ditahan, seseorang sering mencari orang lain untuk disalahkan serta menjadi sasaran kemarahan dan ketakutan yang telah terakumulasi.
Pemerintah hadir untuk menekan kecenderungan kemarahan dan ketakutan tersebut juga untuk mempertahankan ketertiban sosial yang dapat melawan anarki dan kekerasan yang tak terkontrol (Rm. 13:3-5).
Di zaman kuno, seorang perawan atau pria muda menjadi kambing hitam untuk dipilih secara khusus lalu dikurbankan /dibunuh untuk memuaskan para dewa. Di zaman modern, yang menjadi kambing hitam ialah golongan ras yang tidak popular, kaum minoritas yang dipandang rendah atau negara musuh.
Praktik menyalahkan orang lain atas dosa sendiri dimulai oleh Adam dan Hawa berlanjut pada anak mereka. Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan si ular, Kain menyalahkan Habel dst. ketika hubungan dengan Allah rusak, manusia terobsesi dengan usaha melindungi “kebenaran diri” sendiri sebagai cara untuk menghindari penderitaan dan rasa malu dari kesalahan serta tanggung jawab mereka kepada Allah. Walau mereka tidak melakukan kekerasan secara fisik, mereka dapat menyakiti orang lain dengan kata-kata penuh kebencian atau merendahkan.
Kekerasan berkaitan erat dengan kebohongan. Untuk mengingkari dan menutupi rasa bersalah, para nabi dan pelayan kebenaran sering menjadi korban kekerasan (Mat. 23:34-35). Kristus adalah contoh paling tepat atas usaha manusia berdosa menimpakan kesalahannya kepada orang lain. Namun Kristus menjadi satu-satunya “kambing hitam” sejati yang mampu memutus mata rantai kekerasan. Dengan menggenapi nubuat, menjalani hidup sempurna, mengadakan mukjizat, mengajarkan hikmat, mengalami kematian-kebangkitan-naik ke Surga, Yesus membuktikan bahwa Dialah Kambing Hitam dan Juru Selamat yang dipilih sendiri oleh Allah.
PENINGKATAN KEKERASAN YANG TELAH DIPERKIRAKAN
Kekerasan berawal dari hati yang memberontak. Pertumpahan darah manusia pertama adalah pembunuhan antarsaudara. Kain membunuh adiknya, Habel, karena iri hati dan perselisihan sebelumnya dengan Allah (Kej. 4:5- 8).
Ketika seseorang tidak mempunyai hubungan benar dengan Allah, ia iri hati dan marah atas legitimasi rohani yang dimiliki oleh orang lain yang terus mencari-Nya (1 Yoh. 3:11-12).
Kekerasan individual merembet pada kekerasan sosial dan anarki. Kain, pembunuh pertama, mendirikan kota pertama dan menamai kota itu Henokh menurut nama anaknya (Kej. 4:17). Kelak kota tersebut mengikuti karakter pendirinya. Di bawah kutukan dosa Adam dan pembunuhan yang dilakukan Kain, peradaban pertama tersebut akhirnya kehilangan keberadabannya dan terjerumus ke dalam kekerasan, pemerkosaan, kekejaman dan pembunuhan membuat Allah menghukum mereka dengan air bah untuk mengakhiri hidup semua orang kecuali Nuh sekeluarga (Kej. 6:11-13).
Terbukti hati manusia tetap ada pemberontakan. Seiring berjalannya waktu, wabah “penyakit” dari hati orang- orang berdosa menyebar luas menjangkiti berbagai kota dan peradaban hingga Allah turun tangan untuk menghentikan dampak kekerasan yang ditimbulkan. Ia melakukannya dalam peristiwa menara Babel, Sodom dan Gomora juga atas budaya jahat dari bangsa Kanaan. Meskipun Allah berulang-ulang turun tangan, umat pilihan- Nya terus mengalami kemerosotan moral dan tindak kekerasan.
Kekerasan anarki menimbulkan kekerasan tirani. Allah bertujuan melindungi umat pilihan-Nya sebagai umat kesayangan-Nya (Ul. 14:2). Ia menginginkan keteraturan sosial dan nilai rohani dari bangsa Israel agar memberi manfaat bagi seluruh dunia. Ia memilih mereka bukan semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri tetapi juga mengarahkan semua bangsa kepada Sang Pemelihara dan Sumber kedamaian satu-satunya.
Dengan meninggalnya para pemimpin moral seperti Musa dan Yosua, ketetapan hati bangsa Israel kepada Allah makin melemah. Mereka kemudian mengikuti jalan yang telah ditempuh para leluhurnya dengan mengabaikan kesempatan untuk percaya kepada Raja Surgawi. Pada masa kritis pemberontakan iman, mereka memutuskan bahwa mereka memerlukan suatu kepemimpinan seperti yang mereka lihat di negara-negara tetangga. Mereka melepaskan kebebasan mereka untuk ditukar dengan seorang raja dari sesama manusia. Allah mengatakan kepada Samuel untuk mendengarkan perkataan mereka sebab mereka menolak Allah yang menjadi Raja atas mereka. Juga memberitahu mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka (1 Sam. 8:7-9).
Watak seorang raja jarang sekali ada yang lebih baik dibandingkan dengan watak rakyatnya. Kekuasaan dapat disalahgunakan. Contoh: Saul, raja Israel pertama, awalnya bukanlah orang berwatak jahat (2 Sam. 1:19-27). Namun setelah menjadi raja, wataknya makin memburuk dari waktu ke waktu (1 Sam. 13:13-14; 16:14). Daud, raja Israel kedua, adalah “seorang yang berkenan di hati Tuhan”. Namun di balik sifat-sifat baiknya, ia mampu melakukan pengkhianatan dan kekerasan.
Setelah Daud meninggal, kejahatan kembali mengambil alih kekuasaan. Salomo, anak Daud, memulai pemerintahannya dengan hikmat rohani yang tinggi tetapi pada akhirnya ia mengulangi pola-pola kegagalan masa lalu. Kedamaian sekali lagi dicabik-cabik oleh perang saudara dan kekerasan.
MASA DEPAN KEKERASAN DAN RAHASIA KUASA KEDURHAKAAN
Pemberontakan Adam dan Hawa berdampak hilangnya shalom dan dimulainya kekerasan. Perjanjian Baru memaparkan pengaruh “dosa warisan” tersebut, Rasul Paulus menyebutnya sebagai “rahasia kuasa kedurhakaan (2 Tes. 2:7-8). “Kedurhakaan” merujuk pada suatu keadaan yang memberontak terhadap Allah – suatu keadaan yang berlawanan dengan kebenaran dan kedamaian (Rm. 6:19; Ibr. 1:9; 1 Yoh. 3:4). Suatu “rahasia” merujuk pada sesuatu yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran alami manusia kecuali oleh pencerahan dari Allah. Jadi, “rahasia kuasa kedurhakaan” merujuk pada pribadi dan prinsip-prinsip yang tidak kelihatan dari “si pendurhaka”. Pada akhir zaman ini dia mengambil rupa manusia dan berdiam dalam diri orang yang menjadi antikristus yang akan berperang melawan Raja segala raja.
Kekerasan akan terus berakar dari kejahatan pribadi. Kejahatan yang berusaha kita lawan tidak hanya berada dari luar diri kita berkaitan dengan sistem pendidikan, agama, komunitas atau pemerintahan yang tidak sempurna. Sesungguhnya benih-benih kejahatan dari kekerasan telah dan selalu dapat ditemukan dalam diri sendiri terhadap kerajaan dan kekuasaan Allah. Bukankah sebelum bertobat, kita di bawah kendali “penguasa kerajaan angkasa yaitu roh yang sekarang bekerja di antara orang-orang durhaka” (Ef. 2:1-3)? Hanya setelah kita didiami oleh Roh Allah, kita memiliki kuasa rohani untuk melawannya (Yak. 4:7).
(bersambung)