MENGAPA TERJADI KEKERASAN DI DUNIA? (1)
Kekerasan bukanlah hal baru. Orang tidak dapat menyangkali adanya olah raga berdarah dari koloseum Romawi atau kekejaman para penguasa zaman kuno. Meskipun demikian, sulit untuk dimengerti mengapa perang, terorisme dan kekerasan dalam rumah tangga terus saja menjangkiti dunia kita yang telah mengalami “pencerahan” ini? Bukankah seharusnya pendidikan mampu mengakhiri kekejaman kita terhadap sesama? Bukankah seharusnya liputan berita tentang perang di seluruh dunia mampu menggugah hati nurani kita? Lalu mengapa penembakan, penusukan dan pemukulan tetap saja terjadi? Dan mengapa Alkitab menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang hanya dapat dicabut oleh Allah dari hati dan pengalaman manusia?
KEKERASAN SEMAKIN MENINGKAT
Berita-berita yang melaporkan kekerasan perorangan dan masyarakat telah menjadi sebuah rutinitas. Kita telah biasa mendengar berita tentang seorang kekasih yang putus asa dan membunuh teman wanita yang telah memutusnya kemudian mengakhiri hidupnya sendiri atau tawuran antargeng. Bahkan terjadi peristiwa pembantaian mengerikan di sekolah yang dilakukan oleh anak remaja. Keberadaan para pembunuh remaja tersebut menandakan adanya kapasitas kekerasan yang terus berkembang menghimpun kekuatan untuk tumbuh subur.
Kedamaian yang kita dambakan. Abad ke-20 dimulai dengan harapan besar ketika industrialisasi memberi harapan akan suatu era kemajuan tak terbatas. Tampak ilmu pengetahuan siap menaklukkan alam yang tak bersahabat dengan mengakhiri penyakit, kelaparan dan kemiskinan.
Kekerasan yang kita alami. Namun abad ke-20 tidak hanya gagal menjadi awal dari suatu era kedamaian dan kemakmuran tak terbatas tetapi abad tersebut juga ditandai dengan kekerasan dan kekejaman manusia dalam skala lebih besar daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Tingkat pembunuhan, bunuh diri dan kejahatan kekerasan remaja naik tiga kali lipat dalam 25 tahun terakhir. Semua bentuk kejahatan pada anak-anak juga meningkat baik secara fisik, seksual maupun emosional.
MENGAPA KEKERASAN TERJADI
Factor apa saja yang mendukung meningkatnya kekerasan di sekitar kita?
Hilangnya identitas. Dua ratus tahun lalu identitas seseorang lebih bertalian erat dengan keluarga, komunitas dan Allah. Orang lebih banyak mengerjakan tanah pertaniannya sendiri, menjalankan usaha dan perdagangan mereka sendiri. Lebih banyak pekerja mempunyai hubungan personal dengan pemimpin mereka. Bedanya, orang- orang pada masa sekarang adalah orang-orang tanpa identitas yang saling tidak mengenal.
Hilangnya hubungan keluarga yang sehat. Hubungan keluarga yang sehat merupakan fondasi dari stabilitas sosial. Penelitian menunjukkan bahwa kekerasan lebih jarang terjadi di lingkungan keluarga yang sehat. Namun pola tersebut akan berbalik ketika anak-anak tidak memiliki teladan dari ayah dan ibu yang penyayang. Secara nasional, 70% anak muda yang ditahan dalam lembaga pemasyarakatan berasal dari keluarga dengan orang tua tunggal atau tanpa orang tua.
Tiga faktor yang paling sering muncul dalam sejarah seorang pembunuh adalah kekerasan fisik atau seksual, tidak ada kedekatan secara emosional dengan sang ibu dan kegagalan untuk menjadikan orang tua sebagai teladan utama.
Hilangnya kemurnian. Kitab Amsal 22:6 mengatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.” Pengalaman-pengalaman masa kecil dan masa kanak-kanak berpengaruh besar pada perilaku seorang dewasa. Buku Children Without Childhood (1981) menjelaskan bagaimana budaya kita bergeser dari pola pengasuhan anak-anak menjadi pemaparan dini mengenai pengalaman orang dewasa dengan harapan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Pergeseran budaya ini membawa serangan tak berbelaskasihan terhadap kemurnian anak-anak oleh media. Para musisi dan bintang film makin sering mencontohkan kekerasan serta perilaku pergaulan bebas di hadapan penonton yang masih muda belia.
Poling menunjukkan bahwa TV sekarang lebih sering menampilkan seks dan kekerasan dibandingkan 10 tahun lalu. Juga acara-acaranya menggambarkan ketelanjangan atau seks yang mendorong pelanggaran susila. Walau bahaya tersebut terbukti, kita sering mengkompromikan nilai moral dalam kebudayaan kita.
Hilangnya komunitas. Alkitab menegaskan tanggung jawab kita terhadap sesama yakni orang-orang yang kita kenal dengan baik dan karakter yang baik akan terasah. Namun budaya modern bergeser ke arah yang benar- benar tidak mementingkan keberadaan seseorang. Dalam budaya impersonal, dosa bersifat anonim. Hilangnya pengendalian moral sosial pada diri sendiri membawa kita pada perilaku antisosial dan kebebasan palsu dari hukum moral.
Ironisnya, saat perasaan benci dan hak mendapatkan penghargaan bertumbuh makin kuat, rasa tanggung jawab terhadap pribadi dan masyarakat berkurang. Jika kita tidak mengenal atau memedulikan sesama, kita akan lebih mudah mengingini rumah, istri dan harta bendanya. Sangat lebih mudah bertindak kejam terhadap orang-orang yang tidak kita kenal dan tidak ingin kita kenal.
Hilangnya kepuasan. Sebagian besar orang terlalu sibuk berjuang untuk mempertahankan hidup agar dapat setara dengan kalangan orang kaya. Makanan, pakaian dan perumahan sekarang menjadi suatu keniscayaan untuk dimiliki. Akibatnya, mereka yang memiliki lebih sedikit membenci dan iri hati terhadap mereka yang memiliki lebih banyak. Materialisme dan konsumerisme menunjukkan ketidakpekaan kepada situasi (Ams. 27:20; Pkh. 5:10-13).
Hilangnya tanggung jawab. Begitu mudahnya seorang pengemudi tersulut emosi ketika jalannya dipotong oleh pengendara lain lalu mengejar dan berakhir dengan perkelahian. Zaman sekarang, orang kerap kali merasa tidak perlu bertanggung jawab atas tindakannya, mereka adalah korban dari keadaan atau dorongan yang tak tertahankan. Pola pikir seperti itu sering berakhir dengan kekerasan. Ayub 5:2 mengatakan, “Sesungguhnya orang bodoh dibunuh oleh sakit hati dan orang bebal dimatikan oleh iri hati.”
Hilangnya otoritas. Banyak universitas mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak atau kekuasaan yang dapat dipercaya. Mereka mempertahankan pendapat bahwa kekuatan politik adalah hal yang terpenting. Ketika semua otoritas rohani dan moral ditolak, kendali sosial yang penting menjadi hilang. Kebenaran digantikan oleh “cerita bohong” dan “cerita bohong” akan disalahkan jika kebohongan itu tidak dipercaya. Jika hal itu berlanjut, penolakan terhadap kebenaran objektif ini akan menghasilkan perpecahan, kebencian dan kekerasan.
Hilangnya kendali. Reaksi kekerasan hanya akan menghasilkan lebih banyak kekerasan. Pelbagai macam kehilangan ini berperan besar dalam memicu terjadinya kekerasan. Masalah mendasar terjadinya kekerasan ialah karena hilangnya kedamaian yang terdalam dari kita.
Hilangnya hubungan dengan Allah. Pada mulanya ada kedamaian. Manusia pertama hidup di dunia sempurna dalam keadaan murni dan tidak ada yang disembunyikan (Kej. 2:25). Mereka berdamai dengan Allah dan berdamai satu sama lain.
Kedamaian (bhs. Ibr.: Shalom) lebih dari sekadar tidak adanya kekerasan. Shalom menggambarkan kehidupan selaras dengan Allah, adanya kesejahteraan rohani, tersedianya kebutuhan materi, kebajikan, dan kemenangan atas kejahatan.
Namun Iblis menghancurkan kedamaian dan ingin menegakkan kekuasaannya melawan Allah. Dia mengambil tubuh seekor ular dan roh pemberontak berbicara melalui mulut si ular mengatakan kepada Hawa bahwa Penciptanya tidak dapat dipercaya. Dengan menggunakan kebenaran setengah-setengah yang mengandung racun, si ular meyakinkan Hawa bahwa dengan memakan buah dari pohon terlarang itu mereka akan menjadi seperti Allah dan tahu tentang yang baik dan yang jahat.
Ketika Adam-Hawa lebih percaya kepada si pemberontak ketimbang Allah, mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan bahkan lebih dari itu. Saat merasakan sendiri perbedaan antara baik dan jahat, mereka mengalami matinya kemurnian mereka. Pikiran mereka tidak pernah sama lagi seperti sebelumnya. Mulai saat itu mereka merasakan kegelisahan, kemarahan, kesombongan dan hawa nafsu. Kedamaian bersama Pencipta telah hancur dan mereka terinfeksi oleh bibit penyakit kekerasan dan kematian.
Allah mengutuk si ular yang telah mengenalkan Adam-Hawa kepada kejahatan sehingga terjadi permusuhan antara si ular dan Hawa, keturunannya dengan keturunan Hawa dan keturunan Hawa akan meremukkan kepala si ular sementara si ular meremukkan tumitnya (Kej. 3:15). Sejarah membuktikan bahwa keturunan perempuan yang dimaksud tersebut ialah Yesus. Iblis meremukkan tumit-Nya dengan menimpakan kepada-Nya penderitaan dan kematian. Akan tetapi di atas salib, Yesus menghancurkan kekuasaan Iblis atas maut (Ibr. 2:14).
Allah juga menjatuhkan konsekuensi kepada Adam-Hawa atas ketidakpercayaan mereka. Mereka diusir dari Taman Eden dan ditempatkan di dunia yang penuh kekerasan. Mulailah mereka mengalami akibat-akibat menyakitkan atas pilihan buruk yang mereka ambil. Hidup menjadi suatu perjuangan (Kej. 3:16-19).
(bersambung)