Merespons Kekayaan Kristus

Pdm. Setio Dharma Kusuma, Minggu, Lemah Putro, 27 Mei 2018

Shalom,

Dalam dunia bisnis, ada statement yang cukup umum didengar oleh pebisnis yang menyatakan “generasi pertama membangun (untuk diwariskan kepada anak-cucu-nya); generasi kedua mempertahankan bisnis orang tuanya agar tidak bangkrut; generasi ketiga biasanya malah menghancurkan sebab mereka tidak tahu posisi dan kewajiban yang harus dilakukan (karena semua sudah ada dan siap pakai), berakhir dengan kebangkrutan karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi zaman.

Efesus 3:8 menyatakan, “Kepadaku yang paling hina di antara segala orang kudus telah dianugerahkan kasih karunia ini untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus yang tidak terduga itu,”

Apakah kekayaan Kristus itu berarti berkat-berkat jasmani seperti bongkahan emas? Yang dikumandangkan oleh teologi kemakmuran ialah anak Tuhan harus kaya (jas-mani) dan harus diberkati Tuhan namun ada pula pengikut teologi penderitaan yang percaya mengikut Tuhan harus terus menerus menderita.

Apakah yang dimaksud kekayaan Kristus dalam Surat Efesus itu Surga? Efesus 3:6 menuliskan, “yaitu bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus.”

Jelas bahwa kekayaan Kristus ialah orang-orang bukan Yahudi – bangsa kafir ter-masuk kita – menjadi ahli waris, anggota tubuh dan peserta karena berita Injil. Ternyata kekayaan Kristus ini tidak diberitakan di zaman dahulu (PL) tetapi dinyata--kan sekarang (PB) di dalam Roh kepada para rasul dan nabi-Nya yang kudus (Ef. 3:4-5).

Setelah diselamatkan oleh iman, apa respons kita, bangsa kafir, agar kekayaan Kris-tus tidak hancur tetapi dapat kita nikmati?

  • Kita harus pada posisi sebagai ahli waris.

Berbicara perihal ahli waris, pasti berkaitan dengan warisan. Secara hukum, bila suami meninggal, warisan jatuh kepada istri, jika istri meninggal seluruh warisan jatuh ke anak. Konsep Alkitab menyatakan hal yang sama. Anak menjadi ahli waris orang tuanya. Contoh: warisan Abraham jatuh kepada Ishak bukan Ismael (Kej. 21:10).

Roma 8:17 menegaskan, “Dan jika kita adalah anak maka kita juga adalah ahli waris maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”

Ayat di atas menyatakan dengan jelas bahwa kita menjadi ahli waris Allah bila kita diakui sebagai anak-Nya bukan sebagai hamba. Jangan kacau dengan istilah Ham-ba Tuhan dan Anak Tuhan. Saat terjun dalam pelayanan, kita berposisikan sebagai hamba tetapi dalam merespons kekayaan Kristus kita dalam posisi sebagai anak, pewaris-Nya.

Apa bukti kita diakui sebagai anak Allah? Kita menjadi anak-Nya di dalam Putra Tunggalnya, Yesus Kristus, yang mati disalib dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan yang adalah pengampunan dosa (Ef. 1:4-7).

Perhatikan, pengakuan kita adalah anak-anak-Nya (berhak menjadi ahli waris-Nya) merupakan inisiatif dari Allah ditandai dengan pengampunan dosa. Dalam peng-ajaran Tabernakel di PL, kurban-kurban yang dipersembahkan menjadi kurban bakaran, dibakar di Mazbah Kurban Bakaran dan menjadi persembahan yang berbau harum di hadapan-Nya. Demikian pula untuk kurban pendamaian, imam besar Harun melakukan tugas pendamaian tiap tahun dengan membawa darah persembahan untuk dirinya sendiri dan untuk bangsa Israel (Ibr. 9:6-7). Namun, Yesus menggenapkan tugas pendamaian ini dengan membawa darah-Nya sendiri menyucikan hati nurani satu kali untuk selama-lamanya (ay. 11-14). Ingat, tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (ay. 22).

Introspeksi: apakah kehidupan kita sehari-hari berbau harum di hadapan Tuhan? Apakah ada tanda-tanda penebusan (pengampunan dosa) dalam tingkah laku kita? Atau sebaliknya, kita tetap mempertahankan dosa dan pelanggaran serta per-buatan sia-sia? Jangan kita berpijak pada ‘dua kaki’ di mana kita berada di dua area yang nyaman bagi kita, contoh: tutur kata dan perbuatan kita baik dan alim di dalam gereja tetapi begitu ke luar gereja membaur dengan lingkungan yang tidak mengenal Tuhan perkataan dan tindak tanduk kita sama sekali tidak ada bedanya dengan mereka. Mulailah dengan hal sederhana, berhentilah forward berita-berita di WA tanpa disaring kebenarannya, kita ikut andil bersalah jika menyebarkan hoax karena ini merupakan salah satu perbuatan sia-sia yang kita lakukan. Bukankah pemerintah juga mengingatkan dengan canggihnya teknologi, kita harus hati-hati menggunakan media sosial agar tidak menimbulkan keresahan dan perpecahan?

Darah Kristus masih berlaku sampai hari ini. Peringatan agar berpegang kepada perkataan benar juga berlaku bagi para pemimpin gereja (Tit. 1:7,9).

  • Kita harus pada posisi sebagai anggota tubuh.

Logikanya, satu tubuh terdiri dari banyak anggota (1 Kor. 12:19-20) yang berbeda bentuk dan fungsi. Dalam merespons kekayaan Kristus, seluruh anggota tubuh (tidak sendirian) bertumbuh dan membangun diri dalam kasih (Ef. 4:16).

Apa yang harus bertumbuh? Masing-masing anggota tubuh harus bertumbuh dalam iman, pengetahuan yang benar tentang Anak Allah hingga mencapai kedewasaan penuh, berpegang teguh kepada kebenaran di dalam kasih (speaking the truth in love = menyatakan kebenaran di dalam kasih) serta bertumbuh ke arah Kristus yang adalah Kepala (Ef. 4:13-15).

Jujur, sangatlah sulit menyatakan kebenaran di dalam kasih. Umumnya, dalam keluarga, suami atau ayah cenderung menonjolkan kebenaran tanpa disertai kasih dalam melakukan tugas dan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Sementara itu dalam berjemaat, pemimpin rohani lebih mengutamakan kasih (karena rasa sungkan) lalu mengurangi bobot kebenaran dengan alasan biar Firman Tuhan bekerja mengingatkan dan menegur jemaat yang sudah mendengar Firman padahal tidak tampak adanya perubahan hidup walau sudah puluhan tahun bergereja. Sesungguhnya setiap orang yang menerima taburan Firman Tuhan menerima makna/pengertian berbeda dan beragam satu sama lain. Bila perlu, nasihati dan ingatkan jika jemaat terbukti bersalah tetapi lakukan dengan kasih bukan menghakimi. Contoh: seorang bersaksi bahwa dia merasa bersyukur ‘malas ke gereja’ saat bom terjadi di jalan Ngagel Madya Surabaya (13 Mei 2018) sehingga dia luput dari serangan bom karena dia selalu melewati jalan tersebut. Kesaksian ‘untung malas ke gereja’ berkaitan dengan pemboman dapat menim-bulkan pemikiran ‘orang yang meninggal terkena bom tidak dalam perlindungan Tuhan’. Apakah memang demikian? Kematian seseorang dengan cara apa pun (mati mendadak tanpa sakit atau karena serangan jantung, melalui penyakit ringan/parah, kecelakaan darat/laut/udara, bencana alam dll.) merupakan kedau-latan/otoritas Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat dan tidak ada hubungannya dengan dosa sedikit atau banyak. Alkitab sendiri menuliskan dalam Lukas 13:1-4, “Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya daripada dosa semua orang Galilea yang lain karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam lebih besar kesalahannya daripada kesalahan semua orang lain yang diam di Yeru-salem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.”

Hendaknya otoritas Alkitab menjadi pegangan kita bukan pengetahuan atau dugaan/sangkaan kita. Jangan kita merasa selamat dari malapetaka karena perlindungan Tuhan kemudian merendahkan mereka yang menjadi korban dari suatu musibah. Yang pasti, siapa tidak bertobat siap menerima hukuman binasa selamanya. Alkitab menuliskan Tuhan sebagai Hakim yang adil memutuskan se-seorang masuk Surga atau neraka sebab Surga milik-Nya dan neraka pun dibuat oleh-Nya.

  • Kita harus pada posisi sebagai peserta.

Seorang peserta lomba harus memiliki tanda-tanda: penguasaan diri (self-control) dan tujuan (aim) seperti tertulis dalam 1 Korintus 9:24-26.

Tanda kita merespons kekayaan Kristus ialah menjadi peserta yang mampu menguasai diri dan memiliki tujuan/aim dalam setiap ucapan dan perbuatan. Contoh: dalam melakukan kegiatan KKR, panitia bekerja penuh penguasaan diri bukan mudah emosi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Yang perlu diper-hatikan, saat menghadapi tantangan, kita tidak boleh cepat tawar hati sebab justru di dalam kesesakan itu ada kemuliaan (Ef. 3:13).

Kita, bangsa kafir, mendapat kasih karunia Allah menerima kekayaan Kristus. Oleh penebusan-Nya, kita menjadi anak Allah sekaligus ahli waris-Nya; menjadi anggota tubuh-Nya yang bertumbuh dalam iman, bertumbuh pengetahuannya tentang Kristus, kerohanian bertumbuh dewasa, serta menjadi peserta yang berlomba dengan penuh penguasaan diri untuk meraih tujuan penggenapan janji-Nya. Amin.