• SAKSIKAN KEBANGKITAN YESUS YANG MENGGENAPI KITAB SUCI (2) - JOHOR
  • (Lukas 24:36-49)
  • Johor
  • 2022-06-19
  • Pdm. Jannen Ridwan Pangaribuan
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/ibadah-umum/1153-saksikan-kebangkitan-yesus-yang-menggenapi-kitab-suci-3

Shalom, 

Bagi mahasiswa yang sedang membuat skripsi, dia pasti membahas tujuan dari topik yang dipilih sebagai bahan untuk skripsinya. Demikian pula dengan pembuatan buku, si penulis pasti mempunyai tujuan untuk apa dia menulis buku tersebut. Dari sisi pembaca, sebelum membacanya lengkap, dia pasti ingin mencari tahu apa tujuan dan tema buku tersebut supaya dia mengerti apa yang dibacanya. 

Oleh kemurahan Tuhan, kita sampai pada pemberitaan terakhir dari Injil Lukas yang ditulis dengan tujuan jelas yang menuntun kita sehingga kita tahu ke mana arahnya agar tidak “tersesat” di akhir cerita. 

Apa tujuan dari penulisan Injil Lukas ini? Supaya kita mengetahui bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepada kita itu benar (Luk. 1:2-4). Itu sebabnya kita diajar untuk tidak langsung mengiyakan khotbah yang kita dengar tetapi diminta untuk memeriksa kembali apakah sesuai dengan yang tertulis di dalam Alkitab. Jika benar, apa yang diberitakan dari mimbar oleh siapa pun adalah benar. 

Perhatikan, seluruh empat Injil dalam Kitab Perjanjian Baru berbicara tentang satu Pribadi yaitu Tuhan Yesus Kristus walau masing-masing tidak mengisahkan cerita persis sama. Contoh: Injil Matius dan Injil Lukas menceritakan kelahiran Yesus dengan lengkap sementara Injil Markus dan Injil Yohanes tidak menceritakan kelahiran-Nya. Injil Yohanes mengisahkan air menjadi anggur dan ini tidak ditemukan di Injil-injil lain. Namun kisah kematian dan kebangkitan Yesus dibahas secara rinci pada semua empat Injil seakan-akan menjadi tema utama dari 4 Injil ini sementara kisah- kisah lainnya bagaikan pengantar dari kisah besar yang menjadi inti dari Injil itu sendiri. Ringkasnya, Injil fokus berbicara tentang kematian dan kebangkitan Kristus (1 Kor. 15:1-4). Di Injil Lukas sendiri pasal 22 – 24 membahas secara intens tentang kematian dan kebangkitan Yesus. Sejarah juga menuliskan bahwa Yesus benar-benar mati; jadi jangan percaya dengan berita yang mengatakan Yesus tidak mati tetapi orang lain yang mirip dengan-Nya yang disalib. Sayang, orang Israel sendiri sampai hari ini menolak Yesus adalah Mesias sebab dalam pikiran mereka bagaimana mungkin Mesias mati. Petrus juga sempat menolak ketika mendengar Gurunya, Yesus, mengatakan bahwa Ia akan menderita bahkan dibunuh tetapi dibangkitkan pada hari ketiga. Yesus bukannya senang mendengar pembelaan dari Petrus tetapi Ia malah menghardiknya karena pemikirannya bukan dari Allah tetapi dari manusia (Mat. 16:21-23). Jelas bahwa kematian disalib adalah pemikiran Ilahi sebab di dalamnya ada rencana Allah yang besar bagi penebusan manusia berdosa. 

Bagaimana dengan kebangkitan yang juga termasuk pemikiran Allah? Ternyata kematian dan kebangkitan Yesus sudah dinubuatkan sejak Perjanjian Lama antara lain tertulis dalam Mazmur 16:7-11, “…Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram; sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.” 

“Diam dengan tenteram” (rest in peace) sedangkan “jalan kehidupan” dalam Perjanjian Baru menunjuk pada jalan kebangkitan. Dengan demikian kematian dan kebangkitan adalah pemikiran Allah yang luar biasa. Ayat-ayat di atas juga terdapat di dalam Kisah Para Rasul 2:25-28. 

Harus diakui topik tentang kebangkitan merupakan pemikiran yang tidak mudah kita pahami bahkan murid-murid, para rasul, juga sukar menerima pada awal-awal pengikutannya. Apa reaksi mereka ketika mendengar Yesus bangkit? Mereka begitu putus asa melihat Yesus yang menjadi pengharapan mereka telah mati. Ketika perempuan-perempuan membawa kabar bahwa Yesus bangkit mereka tidak percaya dan menganggapnya omong kosong (Luk. 24:10-11). Pada zaman itu perempuan dianggap kurang berpendidikan karena mereka tidak boleh mengikuti kegiatan di sinagoge-sinagoge. Kalaupun masuk ke bait Allah, mereka ditempatkan di ruang khusus yang jauh. Akibatnya, kesaksian mereka dianggap kurang berbobot. Jauh berbeda dengan zaman sekarang. Perempuan-perempuan berpendidikan tinggi, menjadi pemimpin dan suaranya layak didengar. Jangan sampai suara perempuan didiamkan oleh gereja-gereja sebab Yesus sendiri tidak memilih laki-laki untuk menjadi saksi pertama dalam kebangkitan-Nya. Dengan kata lain, pemberita pertama tentang kebangkitan Yesus bukan para rasul atau hamba Tuhan senior tetapi perempuan yang lemah. Untungnya Petrus tidak berhenti di dalam ketidakpercayaannya tetapi pergi ke kuburan mencari tahu fakta dan kebenarannya (ay. 12). 

Aplikasi: hendaknya kita mencari fakta kebenarannya terlebih dahulu sebelum memutuskan percaya/tidak percaya akan suatu berita. Jangan langsung apriori berdasarkan pemikiran kita! Walau masih ragu, kita perlu meningkatkan pengalaman pribadi dengan Tuhan ketika berkaitan dengan kebenaran Firman seperti dialami oleh dua murid yang bertemu Yesus dalam perjalanan ke Emaus (ay. 28-29). Murid-murid lain juga perlu pengalaman pribadi dengan Tuhan (ay. 36-39) juga kita; jika tidak, berita yang disampaikan tidak akan kuat. Seperti pengalaman Ayub, awalnya dia merasa benar karena mendengar Allah dari kata orang, tetapi setelah dia mengalami pengenalan pribadi dengan-Nya dia mengakui kesalahannya (Ay. 42:5-6). 

Aplikasi: kita harus dapat mengatupkan mulut untuk tidak sekadar omong tanpa mempunyai pengalaman pribadi dengan (Firman) Tuhan menghadapi penentang-penentang (Tit. 1:9-11) agar kita tidak mudah digoyahkan oleh mulut nabi-nabi palsu. Pengalaman pribadi dengan Tuhan membuat kesaksian kita kuat. 

Bagaimana kita dapat meningkatkan kerohanian kita untuk memiliki pengalaman pribadi dengan Tuhan? Kita harus berkomitmen dan mempunyai kesungguhan hati untuk menjadi saksi Kristus (Luk. 24:44-46,48). Bagaimana mungkin kita berkomitmen kalau kita tidak memiliki pengalaman dengan Tuhan untuk menjadi saksi-Nya?

Apa arti kata “saksi”? Saksi itu melihat dan mengetahui suatu peristiwa. Faktanya kita tidak pernah melihat peristiwa Yesus bangkit sebab peristiwa itu terjadi di Yerusalem. Para rasul menjadi saksi mata atas peristiwa itu (Kis. 1:21-22). Kalau begitu apa dasar kesaksian kita? "Inilah perkataan-Ku yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur… Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga dan lagi dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem…..Dan Aku akan mengirim kepadamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi." (Luk. 24:44, 46-47,49) 

Dasar pemberitaan/kesaksian kita ialah Kitab Perjanjian Lama – Taurat Musa, kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur – juga Kitab Perjanjian Baru – kesaksian lisan dari para Rasul dan saksi-saksi mata yang kemudian dituliskan dalam 27 kitab Perjanjian Baru.

Untuk dapat bersaksi, kita diperlengkapi (bhs. Yunani: enduseesthe = dipakaikan) dengan kuasa dari tempat tinggi itulah kuasa Roh Kudus. Roh Kudus ini memampukan, melingkupi, menutupi ketelanjangan kedagingan dan kelemahan kita. Kita diperlengkapi dengan kuasa Roh Kudus untuk menjadi saksi bagi kebangkitan Kristus. Roh Kudus adalah Roh kebangkitan (Rm. 1:3-4) yang menjadi kekuatan bagi kita untuk menjadi saksi Kristus memberitakan kebenaran Firman.

Sering orang Pentakosta percaya akan Roh Kudus tetapi lupa bahwa Roh Kudus adalah Roh kekudusan. Tidak mungkin kita dapat menjadi saksi dan melihat kuasa Allah tanpa adanya kekudusan di dalam hidup kita. Hendaknya kita rela dan bersedia dikuduskan seperti Yesaya merendahkan diri dan oleh kemurahan Tuhan bara api yang dibawa oleh seraphim menyentuh bibirnya untuk dikuduskan (Yes. 6:4-6). Ingat, tanpa kekudusan tidak seorang pun melihat Tuhan (Ibr. 12:14) dan tanpa kekudusan kita tidak dapat melihat Allah bekerja di antara jiwa-jiwa yang belum mengenal-Nya. Kita harus menyampaikan berita pertobatan dan berita pengampunan dosa yang membawa kepada kekudusan hidup dan memampukan kita menjadi bejana yang dipandang layak dipakai Tuhan untuk melakukan perkara-perkara yang mulia dan indah untuk kemuliaan Nama-Nya. Amin.