• SIKAP HATI TERHADAP KEPERCAYAAN DARI TUHAN
  • Lukas 19:11-28
  • Lemah Putro
  • 2022-02-13
  • Pdm. Setio Dharma
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/ibadah-umum/1067-sikap-hati-terhadap-kepercayaan-dari-tuhan
  • Video Ibadah: KLIK DISINI

Shalom,

 

Hendaknya kita ditemukan sebagai hamba yang taat dan setia serta menaruh pikiran dan kesibukan kita untuk mengerti kehendak Tuhan.

Tema kali ini ialah “Sikap Hati Terhadap Kepercayaan dari Tuhan” yang diambil dari Lukas 19:11-28 namun didahului dengan kisah Zakheus. Kita sudah mendengar kisah Zakheus yang mana Yesus menumpang di rumahnya dan terjadilah keselamatan di rumahnya (ay. 1-10).

Perumpamaan tentang uang mina disampaikan oleh Yesus saat Ia masih di rumah Zakheus (ay. 11); itu sebabnya topiknya masih berkisar tentang uang. Mina adalah mata uang senilai 100 dinar; berarti upah pekerja harian selama 100 hari karena upah mereka bekerja sehari ialah satu dinar (bnd. Mat. 20:2). Yesus melanjutkan perkataan-Nya dengan perumpamaan tentang seorang bangsawan berangkat ke negeri jauh untuk dinobatkan menjadi raja di sana. Sebelum pergi dia memberikan sepuluh mina kepada sepuluh hambanya dan menyuruh mereka berdagang dengan uang mina yang diberikannya. Jelas ada perintah, kehendak/kemauan dan kepercayaan dari tuan kepada mereka untuk memakai uang mina itu. Cerita ini sama dengan perumpamaan yang tertulis dalam Matius 25:14-30 hanya satuan mata uangnya lebih besar yaitu satu talenta = 1.000 dinar. Dikatakan di Matius ini tentang Kerajaan Surga sama seperti seorang bepergian ke luar negeri dan memanggil hamba-hambanya dan memercayakan hartanya kepada mereka. Di sini juga ada kepercayaan dari tuan terhadap hambanya.

Singkat cerita, apa yang dilakukan oleh hamba yang ketiga?

Dia menyimpan satu mina itu di dalam sapu tangan alias tidak diperdagangkan dengan alasan takut akan tuannya. Tampaknya dia begitu hormat terhadap tuannya tetapi kelanjutan perkataannya membuktikan apa sebenarnya yang ada di dalam hatinya (ay. 21). Di dalam kisah itu disebutkan pula adanya suasana kebencian dari orang-orang sebangsanya yang mengirim utusan menyusul bangsawan tersebut untuk mengatakan supaya bangsawan itu tidak menjadi raja mereka (ay. 14). Namun bangsawan itu tetap dinobatkan menjadi raja dan kembali untuk mengadakan perhitungan dengan hamba-hamba yang sudah diberi tugas olehnya. Memang ayat tidak menuliskan apakah hamba ketiga ini termasuk golongan orang-orang itu tetapi dari kata-katanya ada indikasi ketidaksenanganan terhadap tuannya. Melalui kisah perumpamaan ini, kita beroleh pembelajaran bagaimana menjaga sikap hati terhadap kepercayaan dari Tuhan, yaitu:

  1. Hati tidak dipengaruhi kebencian ketika menerima kepercayaan Tuhan.

Dari mana kebencian itu datang? Memang tidak disebutkan di perumpamaan ini ketika hamba itu menyebutkan “tuan adalah manusia yang keras’ juga orang-orang yang menolak bangsawan itu menjadi raja. Mereka tidak senang terhadap tuan itu tanpa alasan yang jelas alias berasumsi saja. Asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar/landasan berpikir. Jika Yesus mengumpamakan diri-Nya sebagai tuan itu, jelas orang-orang bersungut-sungut karena melihat Ia menumpang di rumah orang berdosa (ay. 7).

Dalam kehidupan sehari-hari, ketidaksenangan dapat saja timbul tanpa alasan ketika melihat penampilan fisik dan tindak tanduk seseorang yang tidak sesuai dengan keinginan kita atau karena terpengaruh oleh omongan orang (gosip atau hoaks) yang dibangun berulang-ulang untuk menjadi “kebenaran” atau karena asumsi. Jujur, dalam pelayanan kita juga sering berasumsi tanpa bukti jelas yang berakhir dengan ketidaksukaan bahkan kebencian terhadap si A dan si B.

Apa akibatnya jika kepercayaan dari Tuhan dilakukan dengan kebencian? Dia berada di dalam kegelapan dan hidup di dalam kegelapan; dia tidak tahu ke mana dia sebab kegelapan membutakan matanya (1 Yoh. 2:11).

Dan apa konsekuensinya jika seseorang melayani Tuhan tetapi masih hidup dalam kegelapan? Dia adalah pembunuh yang tidak mempunyai hidup kekal dalam dirinya (1 Yoh. 3:15). Injil Matius menulis hamba yang tidak berguna berakhir di dalam kegelapan di mana terdapat ratap dan kertak gigi (Mat. 25:30) itulah kebinasaan.

Introspeksi: bagaimana sikap hati kita dalam melayani pekerjaan Tuhan? Apakah ada unsur ketidaksenangan terhadap rekan sepelayanan karena terpengaruh oleh omongan orang atau karena asumsi sendiri yang salah? Ingat, kita memang manusia berdosa dan dapat berbuat dosa tetapi jangan terus menerus dalam keadaan berdosa. Kita harus berbalik kepada Tuhan dan bertobat supaya tertolong. Kita sendiri yang tahu persis apa yang terjadi dalam diri kita, apakah kita tidak suka kepada seseorang yang mengarah kepada kebencian? Hentikan pikiran dan perasaan semacam itu serta bertobatlah!

  1. Hati tidak ditempatkan sebagai otoritas tertinggi dalam mengambil keputusan.

Bukankah apa yang dikatakan oleh hamba ketiga juga orang-orang yang sepakat menolak tuan itu menjadi raja keluar dari hati yang dilandasi ketidaksenangan? Dengan kata lain mereka menempatkan hati mereka sebagai otoritas tertinggi. Sesungguhnya, mereka harus memprioritaskan kehendak tuannya.

Mengapa kita tidak boleh menempatkan hati sebagai otoritas tertinggi? Karena hati itu licik, lebih licik dari pada segala sesuatu. Namun Tuhan menyelidiki hati dan menguji batin untuk memberi balasan setimpal dengan hasil perbuatan dan tingkah seseorang (Yer. 17:9-10).

Alkitab memberikan banyak contoh berkaitan dengan sikap hati dalam menyikapi kepercayaan dari Tuhan antara lain:

  • Yunus yang disuruh ke Ninewe oleh Tuhan tetapi hatinya memutuskan ke Tarsis walau harus mengeluarkan biaya perjalanan (Yun. 1:2-3). Namun Tuhan menolongnya ketika dia bertobat walau harus bayar harga ditelan ikan besar (Yun. 2).
  • Yusuf mendapat kepercayaan mimpi di masa remajanya. Dia mengutarakan visinya kepada ayah dan saudara-saudaranya (Kej. 37:5). Hal ini membuat saudara-saudaranya makin membenci dia lalu menjualnya setelah sempat dimasukkan ke sumur kering (ay. 28,24). Apakah dia tetap bersikukuh dengan visi yang diterimanya? Hatinya sesak memohon belas kasihan kakak-kakaknya (Kej. 42:21) padahal semua yang dia alami seturut kehendak Tuhan. Buktinya Tuhan selalu menyertai dia sehingga dia selalu berhasil dalam pekerjaannya (Kej. 39:2). Ironis, disertai Tuhan tetapi mengapa digoda bahkan berhasil difitnah oleh istri Potifar dengan “bukti” pakaian (ay. 13) yang mengarah kepadanya padahal dia tidak melakukannya? Akibatnya Yusuf masuk penjara tetapi Tuhan tetap menyertainya (ay. 21). Bagaimana sikap hatinya ketika berada di dalam penjara? Hatinya tidak suka berada di penjara dan ingin keluar dari situ (Kej. 40:14). Jelas hati Yusuf sangat susah dan menderita padahal semua yang terjadi sesuai kehendak Tuhan.

Perhatikan, jangan berpikiran kalau kita disertai Tuhan semua berjalan mulus tanpa ada masalah dan rintangan menimpa kita. Bagaimana sikap hati kita saat menghadapi ujian dan apa yang keluar dari mulut kita? Bukan apa yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan tetapi yang keluar dari mulut (berasal dari hati) itu yang menajiskan sebab kita dapat memuliakan Dia dengan mulut tetapi hati kita jauh dari-Nya (Mat. 15:11,8).

  • Petrus begitu gigih dan mengatakan hatinya tidak tergoncang walau harus mati demi Gurunya (Mat.26:33). Namun apa yang terjadi? Dia menyangkal Yesus karena ketakutannya (ay. 70-74).

Jadi jangan kita menempatkan hati sebagai yang terutama ketika menerima kepercayaan dari Tuhan tetapi prioritaskan kehendak-Nya. Mengapa? Selagi kita masih hidup dalam daging, grafik rohani kita tidak stabil alias naik turun. Semua ini tergantung sejauh mana pengenalan kita terhadap Tuhan dan kehendak-Nya yang tercantum di dalam Alkitab. Rajinkah kita membaca dan merenungkan Firman Tuhan?

Introspeksi: sejauh mana anak muda mendahulukan kehendak Tuhan dalam mencari pasangan hidup? Apakah yang kaya, berpendidikan tinggi dan berpenampilan cakap/cantik padahal Tuhan berkehendak mencari pasangan yang seiman? Bagaimana dengan mereka yang sudah menikah, apakah suami/istri dapat menerima kekurangan pasaangannya dan tetap berpegang teguh pada Firman Tuhan yang menegaskan apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mat. 19:6)? Bukankah percekcokan bahkan perceraian terjadi karena masing-masing menuruti kata hati yang tidak tahan menghadapi sifat dan kelakuan pasangannya? Ingat, Firman Tuhan mampu mengubahkan hati sekeras apapun untuk dapat menerima dan mengasihi pasangan seumur hidup karena masing-masing mengutamakan Dia. Masalahnya maukah kita menderita ketika menuruti kehendak Tuhan atau memilih kenyamanan tetapi tidak disertai Tuhan sebab kita melawan kehendak-Nya?

  1. Tidak berdiam diri tetapi mengembangkan/melipatgandakan mina yang dipercayakan.

Sebagai hamba yang dipercaya oleh tuannya, dia tidak stagnan/mandeg berada di zona nyaman tetapi berpikir dan berupaya bagaimana melaksanakan tugas dengan memperbanyak mina agar tidak dianggap sebagai hamba yang malas dan jahat (Mat. 25:26).

Introspeksi: apa yang dapat kita lakukan di masa pandemi yang berkepanjangan ini? Apakah berdiam diri (tidak berbuat apa-apa) dan menyerah dengan keadaan? Atau memanfaatkan teknologi untuk tetap aktif beribadah dan melayani pekerjaan Tuhan di bidangnya masing-masing? Kita harus berpikir bagaimana mina yang dipercayakan kepada kita itu berkembang dan Roh Kudus menolong kita sebab Roh Kudus bersifat dinamis. Mulailah bekerja dari perkara yang kecil (satu mina); yang penting berkembang dan kita berdampak bagi sekitar kita. Jangan bertindak seperti hamba jahat dan malas yang pandai bersilat lidah atau banyak mengeritik tetapi tidak memberikan kontribusi sedikit pun!

Hendaknya dalam mengerjakan pelayanan yang dipercayakan Tuhan, kita menjaga hati untuk bebas dari kebencian atau kecewa terhadap Tuhan, tidak menjadikan hati sebagai otoritas tetapi kehendak Allah yang diutamakan sebab hati kita mudah terpengaruh oleh mood dan omongan orang. Jangan pula mudah berpuas diri kemudian mandeg jika berhasil dalam pelayanan tetapi tetaplah bekerja hingga kita diakui oleh Tuhan sebagai hamba yang baik dan setia untuk satu kali kelak masuk dalam Kerajaan-Nya dan turut dalam kebahagian Tuan kita, Yesus Kristus. Amin.