• Hamba Yang Melakukan Kewajibannya (Johor)
  • Lukas 17:1-10
  • Johor
  • 2021-12-19
  • Pdm. Kasieli Zebua
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/ibadah-umum/1031-hamba-yang-melakukan-kewajibannya-2

Shalom,

Tak terasa kita akan segera meninggalkan tahun 2021. Kita patut bersyukur dalam keadaan apa pun Tuhan masih berkemurahan memberikan kita napas hidup dan kesehatan bahkan dapat beribadah kepada-Nya. Marilah kita terus mengandalkan Tuhan untuk melalui waktu-waktu yang akan datang dan mendapatkan kekuatan serta kemampuan dari-Nya.

Melalui kisah seorang kaya dan Lazarus miskin yang telah kita dengar, kita beroleh pembelajaran bahwa si kaya mempunyai hukum Taurat tetapi mengabaikannya dan hidup tidak sesuai dengan hukum Taurat. Demikian pula dengan saudara-saudaranya. Abraham mengingatkan kalau mereka tidak menaati hukum Musa dan para nabi mereka juga tidak akan bertobat sekalipun ada dari antara orang mati datang mengingatkan mereka (Luk. 16:28-31). Bagaimana dengan kita yang memiliki Alkitab – Firman Tuhan. Sudahkah kita menaati Firman Tuhan dalam hidup kita sehari-hari?

Kali ini Firman Tuhan yang penuh kasih menasihati bagaimana kita harus bersikap sebagai hamba (Tuhan) yang menghidupi Firman Tuhan dan melakukannya bukan hanya menjadi pendengar saja. Nasihat apa yang Yesus kemukakan kepada murid-murid-Nya seperti tertulis dalam Lukas 17:1-10? “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dilemparkan ke dalam laut dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini….”

A.   Hamba yang menjadi berkat (Luk. 17:1-2)

Yesus mengingatkan para murid-Nya akan adanya penyesatan. Berbicara tentang penyesatan, minimal ada dua hal berkaitan dengan penyesatan yaitu 1) Penyesatan berkaitan dengan ajaran, 2) Penyesatan berkaitan dengan perbuatan yang diikuti dari pengajaran yang dipahami.

Bagaimana kita harus menyikapi suatu penyesatan?

Penyesatan dalam ayat ini dari kata aslinya: skandala = offences: batu sandungan, pelanggaran, kejahatan dosa yang membuat orang lain jatuh ke dalam dosa. Jadi penyesatan yang dimaksud adalah perbuatan dosa yang membuat batu sandungan sehingga orang lain jatuh ke dalam dosa. Penyesatan ini pasti ada dan kita pasti menghadapi dan bertemu dengan penyesat dari orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Penyesatan juga berarti penyimpangan dari kebenaran. Penyimpangan di sini bukan melalui ajaran/doktrin sesat dari guru-guru palsu dan nabi-nabi palsu tetapi lebih cenderung mengenai perbuatan-perbuatan yang menyimpang sehingga membuat orang lain terjatuh dan melakukan dosa. Akan tetapi, justru penyesatan ini terjadi di antara orang-orang percaya sendiri.

Bagaimana caranya agar kita tidak menyimpang ke kiri atau kanan tetapi tetap pada jalur yang benar? Memang penyesatan harus ada tetapi jangan kita menjadi penyesat melainkan harus menjadi berkat. Jangan pula menjadi batu sandungan atau pembuat penyimpangan sehingga orang lain jatuh ke dalam dosa karena perbuatan kita yang menyimpang dari kebenaran. Hidup kita harus menjadi berkat bagi sesama. Apa yang harus dilakukan?

  • Tidak menjadi sandungan bagi mereka yang lemah (1 8:9).

Konteks ini mengenai makanan persembahan berhala. Kita memang bebas melakukan apa saja tetapi sebaiknya melakukan yang berguna supaya kebebasan kita tidak menjadi sandungan bagi orang yang lemah iman gara-gara makan persembahan berhala yang membuatnya terjatuh.

Kebebasan yang kita miliki baik dalam tindakan, perkataan maupun sikap jangan menjadi batu sandungan sebab kita akan menghadap takhta pengadilan Allah (Rm. 14:8-13).

Aplikasi: sebagai hamba dan murid Kristus, kita harus menjadi berkat bukan menjadi batu sandungan yang membuat saudara kita jatuh tersandung. Kita melayani dalam kebenaran, damai sejahtera, sukacita oleh Roh Kudus agar diperkenan Allah dan dihormati manusia (Rm. 14:17-18). Kita juga tidak perlu mencari penghormatan manusia karena kalau kita melayani dalam kebenaran, damai sejahtera, sukacita oleh Roh Kudus maka Tuhan sendiri yang akan memperkenan kita dan orang lain akan menilai kita. Selain itu kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun, menopang dan menguatkan satu dengan yang lain (ay. 19). Kita yang kuat harus memberi semangat kepada mereka yang lemah, yang mundur dari pelayanan, iman atau ibadah. Jangan malah memojokkan dan menyalahkan mereka apalagi menjadi batu sandungan bagi mereka! Perhatikan, hukuman bagi mereka yang membuat sandungan lebih berat daripada jika sebuah kilangan yang diikatkan dilehernya lalu ia dilemparkan ke laut (Luk. 17:2).

  • Menjaga diri (ay. 3).

“Jagalah dirimu” dalam terjemahan lain berarti “waspadalah”.

Ilustrasi: Kita tidak perlu memindahkan batu besar yang ada di hadapan kita agar kita tidak tersandung, cukup kita menjaga langkah kita.

Sandungan memang ada tetapi jangan kita mudah tersandung. Oleh sebab itu kita harus menjaga langkah hidup kita agar tidak tersandung. Jangan mata kita hanya tertuju kepada orang-orang yang membuat sandungan apalagi terhadap seseorang yang kita anggap menjadi panutan yang membuat kita kecewa. Biarlah mata kita tertuju hanya kepada Tuhan.

Bagaimana menghadapi saudara kita yang berbuat dosa melawan kita (ay. 4) – yang menyakiti, dan melakukan hal-hal yang tidak pantas dan menyimpang dari Firman Tuhan dan menyangkut harga diri kita? Kita tetap jaga diri dan menegurnya. Kita harus menjaga diri sebab kadang-kadang sulit dibedakan antara menegur dan memarahi apalagi jika menyangkut harga diri. Kita harus menjaga diri Ketika hati kita sudah terlanjur tersinggung, dirugikan dan terluka agar kita tidak bertindak salah.

Mengapa kita harus menjaga diri? Sebab kita dapat tersandung karena melihat orang lain berbuat dosa, dan kita dapat tersesat pada dosa yang sama (bnd. 2 Ptr. 2:1-2,15; Yud. 1;11).

B.   Melakukan apa yang harus dilakukan (ay. 3-10)

Jujur, ketika harus menasihati dan menegur seseorang tetapi disertai dengan emosi dan kemarahan, maka akan sulit memberikan nasihat yang benar. Namun tetaplah ingat bahwa sebagai hamba, kita harus menjadi berkat sehingga teguran yang diberikan adalah teguran penuh kasih bukan bersifat menyerang yang menyebabkan saling menyakiti dan pada akhirnya tidak saling berkomunikasi. Jelas, dalam menasihati dan menegur kita harus menjaga/menguasai hati dan pikiran kita.

  • Menegur Saudara yang Berbuat Dosa

Dalam 1 Tim. 5:1-2, Rasul Paulus mengajarkan bagaimana menegur dengan sikap tepat sasaran, yakni: tidak bersikap keras tetapi menegur mereka sebagai bapa/saudara/adik dengan kasih dan dalam kemurnian bukan sebagai musuh dan dalam kemarahan. Juga di 1 Tes. 5:12-15 kita diajar untuk menegur mereka yang hidup tidak tertib – menghibur yang tawar hati, membela yang lemah dan sabar terhadap semua orang supaya tidak ada orang yang membalas jahat dengan jahat. Teguran tetap dilakukan dengan kasih, penuh kesabaran dan senantiasa ada damai sejahtera.

  • Mengampuni Saudara yang Menyesal

Kita diajar untuk mengampuni orang yang berbuat dosa kepada kita bahkan mengampuni tujuh kali sehari jika dia menyesal (ay. 4). Jujur, sangat sulit untuk mengampuni sampai tujuh kali sehari tak terkecuali para murid Yesus hingga mereka memohon penambahan iman (ay. 5). Namun Yesus menegaskan iman sekecil apa pun memiliki kuasa; masalahnya ialah ketaatan dalam melakukannya. Sebagai hamba, kita wajib mengampuni siapa pun yang menyakiti kita.

Yang terutama, sebagai hamba (Tuhan) kita dituntut mempunyai kerendahan hati untuk bersedia mengampuni. Mungkin saja kita sudah beriman dan percaya sungguh-sungguh kepada Tuhan tetapi dalam persoalan pengampunan Tuhan menginginkan kita melakukannya. Untuk itu Yesus memberikan ilustrasi seorang hamba yang melakukan kewajibannya bekerja di ladang kemudian pulang harus mempersiapkan makanan bagi tuannya. Setelah tuannya kenyang, tuannya tidak perlu mengucapkan terima kasih. Setelah tugasnya selesai baru dia makan.

Aplikasi: kita harus memiliki sikap hamba Kristus yang telah ditebus oleh-Nya dan sadar bahwa kita adalah hamba yang tidak berguna. Kita tidak mempunyai hak apa pun untuk menghakimi orang lain apalagi membalas kejahatan kepadanya. Ingat, hak kita adalah melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuan kita.

Mengapa sulit sekali mengampuni? Mengapa kita masih menyimpan benci dan dendam kepada orang yang menyakiti kita? Pertama, ketika kita lupa bahwa kita sudah menerima pengampunan yang besar dari Tuhan. Yesus pernah memberikan perumpamaan tentang seorang hamba yang diampuni oleh tuannya (Mat. 18:23-35). Utang hamba sebesar sepuluh ribu talenta dihapus oleh tuannya karena belas kasihan melihat hamba ini tidak mampu membayar. Ironisnya, hamba ini tidak mau mengampuni hamba lain yang berutang seratus dinar kepadanya bahkan memenjarakannya. Hamba yang jahat ini begitu cepat melupakan bahwa ia sudah mendapatkan belas kasihan dan kebaikan tuannya. Mendengar laporan dari hamba-hamba lain, si tuan memanggil hamba jahat itu, katanya, “Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” Ternyata hamba jahat ini lupa bahwa ia sudah mendapat pengampunan besar. Jadi, kita sulit mengampuni karena kita lupa bahwa kita sudah diampuni oleh Tuhan. Kita meremehkan bahkan melupakan pengampunan Tuhan atas dosa yang kita lakukan dan hukuman mati yang seharusnya kita terima. Itu sebabnya ketika melihat saudara kita berdosa sedikit saja kepada kita – perkataannya menyinggung – hati kita sudah terbakar emosi dan tidak dapat mengampuni.

Kedua, kita sulit mengampuni ketika saudara kita terus melakukan dosa kepada kita. Sudah minta maaf, tetapi melakukan kesalahan yang sama. Namun Tuhan meminta untuk mengampuni bahwa sampai tujuh kali dalam sehari ketika saudara kita menyesali kesalahannya! Sungguh, diperlukan sifat “hamba yang tidak berguna” (ay. 10) untuk tidak mengutamakan harga diri ketika mengampuni. Sifat “hamba tidak berguna” bukan merendahkan tetapi justru merupakan kekuatan kita sehingga ketika menghadapi orang yang bersalah kepada kita atau menyinggung kita, dalam hati tidak timbul kemarahan untuk menghakimi, membalas, membenci dll. Kita harus menjaga sikap “hamba yang tidak berguna” ini, sehingga tidak menjadi sombong dan akhirnya terjadi seperti Kain yang iri terhadap adiknya, Habel, karena persembahannya tidak diterima oleh Allah. Mereka sama-sama mempersembahkan kurban, sama-sama beribadah kepada Tuhan. Namun muncul rasa iri hati kepada saudaranya, dan meningkat menjadi kebencian. Kain bahkan tidak menghiraukan Firman Tuhan yang mengingatkan kepanasan hatinya, akhirnya berakhir dengan pembunuhan terhadap saudaranya (Kej. 4:1-11).

Hendaknya kita memosisikan diri sebagai “hamba yang tidak berguna” yang hanya taat “melakukan apa yang harus dilakukan” yakni menjadi berkat bagi sesama bukan menjadi batu sandungan, menegur dengan kesabaran dan kasih serta mengampuni kesalahan orang lain. Apa pun pelayanan kita hendaknya menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita. Juga menghadapi orang-orang yang tidak tertib maupun yang menyakiti kita, kita tetap membawa damai sejahtera dan sukacita di tengah-tengah mereka. Dengan demikian kita menjadi hamba yang diperkenan oleh Tuhan kita. Amin.