Makna Paskah Bagi Kita
Pdt. Paulus Budiono, Jumat Agung, Lemah Putro, 30 Maret 2018
Shalom,
Paskah dirayakan oleh orang-orang Kristen dari tahun ke tahun dalam bentuk dan cara berbeda meskipun dilakukan pada hari yang sama. Bagaimana kita merayakan Paskah?
Awalnya Paskah (Passover = melewati) dirayakan oleh orang-orang Yahudi pada bulan pertama di hari ke-14 pada waktu senja (Im. 23:5). Mereka harus menyembelih anak domba jantan tak bercela, darahnya dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas rumah kemudian dagingnya dipanggang dan dimakan dengan buru-buru malam itu bersama roti tidak beragi dan sayur pahit dengan pinggang terikat, berkasut dan tongkat di tangan (Kel. 12:15-8, 11, 15).
Bangsa Yahudi mulai merayakan Paskah pada 1.400 SM dan mereka merayakannya tiap tahun berarti mereka sudah merayakan sebanyak 3.418 kali sampai tahun ini. Diawali dengan ± 2½ juta orang Israel merayakan Paskah saat akan keluar dari Mesir dengan tentara siap perang sebanyak 603.550 orang (Im. 1:46). Sekitar 600.000 anak domba disembelih mematuhi perintah Allah untuk membebaskan mereka dari penindasan Mesir. Mereka tetap merayakan Paskah selama 40 tahun di padang gurun namun jumlah mereka makin berkurang walau ada kelahiran anak-anak di tengah perjalanan menuju Kanaan. Anak-anak ini ikut-ikutan merayakan Paskah tetapi menginjak dewasa mereka tidak mengerti makna Paskah sesungguhnya. Tragisnya, hanya tersisa dua orang (Kaleb dan Yosua) yang berkenan mendiami Kanaan sedangkan sisanya mati dan bangkainya berhantaran di padang gurun akibat pemberontakan dan ketidaksetiaan mereka (Bil. 14:30-33).
Sekarang jumlah orang Israel ± 18 juta. Apakah mereka merayakan Paskah dengan perasaan sama seperti saat nenek moyang mereka merayakannya yaitu dengan hati menggebu-gebu untuk cepat-cepat keluar dari perbudakan? Atau mereka merayakannya sekadar tradisi dan Paskah hanya simbolis yang dirayakan dengan hambar? Mereka tidak ingin mengulang peristiwa lama yang mengerikan terjadi lagi. Bagaimana perasaan kita saat merayakan Paskah? Banyak gereja menafsirkan Paskah menurut keyakinan dan teologi mereka karena mereka lebih memercayai tafsiran doktor dan profesor ketimbang Alkitab.
Mengapa Allah memerintahkan bangsa Israel untuk merayakan Paskah tiap tahun? Supaya mereka tetap ingat betapa beratnya hidup di rumah perbudakan (Kel. 13:1-3) selama 430 tahun (Kel. 12:40).
Ternyata Paskah bukan hanya untuk orang Yahudi, Rasul Paulus menegaskan bahwa Paskah juga untuk orang non-yahudi (kafir). Kita adalah satu adonan dan tidak boleh merayakan Paskah dengan ‘ragi lama’ yang akan mengkhamirkan seluruh adonan dan anak domba Paskah kita yang telah disembelih ialah Kristus (1 Kor. 5:7-8).
Introspeksi: apakah hati kita tergetar mendengar Anak Domba Paskah (Yesus Kristus) tersembelih sementara orang Yahudi menolak-Nya? Atau gereja Tuhan mulai melupakan makna Paskah dengan melecehkan kurban Kristus? Apakah kita merayakan Paskah tiap tahun dengan perasaan sama seperti pertama kali kita bertobat? Rasul Paulus menye-rahkan seluruh atribut dan kebesarannya serta menganggapnya sampah supaya dia beroleh Kristus (Flp. 3:8); bahkan sampai matipun gairahnya tidak surut untuk menya-takan siapa Yesus itu. Jangan kita sibuk merayakan event Paskah tetapi sibukkan diri dengan kurban Anak Domba Allah! Jika domba-domba binatang Paskah disembelih tanpa mengetahui apa salah mereka, Yesus Kristus sangat tahu mengapa Ia harus datang ke dunia, dihujat ditolak bahkan mati ‘disembelih’. Bagaimana perasaan kita saat melaksana-kan Perjamuan Tuhan untuk memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang kembali (1 Kor. 11:24-26)?
Menjelang kematian-Nya Yesus merayakan Paskah bersama dua belas murid-Nya dan salah satu dari mereka (Yudas Iskariot) berencana menjual-Nya (Mat. 26:20-25). Kemudian di hari Pentakosta (50 hari setelah kebangkitan Yesus), orang-orang percaya dipenuhi Roh Kudus (Kis. 2:14). Saat Rasul Petrus berkhotbah, 3.000 jiwa bertobat dan dibaptis (ay. 14, 41) dan mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam perse-kutuan serta selalu berkumpul untuk memecahkan roti (ay. 42). Gereja Tuhan hendaknya jangan membatasi frekuensi penggunaan Perjamuan Tuhan (setahun, sebulan, seminggu sekali). Bukankah Yesus sendiri mengatakan daging-Nya benar-benar makanan dan darah-Nya adalah benar-benar minuman (Yoh. 6:55)? Berapa kali sehari kita makan supaya dapat bertahan hidup? Terlebih tubuh rohani kita juga membutuhkan ‘makanan’ untuk beroleh hidup kekal.
Jumlah orang yang bertobat terus meningkat, di kesempatan lain saat Petrus dan Yohanes berkhotbah 5.000 orang laki-laki percaya namun tak lama kemudian mereka ditangkap karena pemberitaan kebangkitan Yesus (Kis. 4:1-4).
Apakah makna Paskah yang dialami oleh gereja mula-mula berubah menjadi liturgi bukan lagi merayakan kelepasan dari perbudakan dosa? Rindukah kita menyuarakan Paskah keselamatan di dalam Yesus atau kita takut ditangkap seperti dialami oleh jemaat gereja mula-mula? Gereja harus menjadi garam dan terang di tengah kegelapan dunia yang makin hari makin gelap. Meskipun pertumbuhan orang percaya bertambah, berapa persen yang sungguh-sungguh menerima Yesus? Memang Allah memberi pertumbuhan (1 Kor. 3:6) tetapi apakah kita cukup hanya menanam/menyiram kemudian meninggalkannya? Kita harus tekun ‘merawat’ agar mereka bertumbuh dalam iman kepada-Nya.
Orang Israel/Yahudi merayakan Paskah untuk mengingatkan mereka keluar dari rumah perbudakan. Setiap rumah tangga harus mempersembahkan satu ekor domba jantan, kalau tidak mampu, mereka harus mencari tetangganya untuk berbagi. Berbicara mengenai keselamatan, kita harus peduli dengan keselamatan orang-orang-orang dekat kita (keluarga) juga tetangga. Jangan kita menginjil jauh-jauh sementara yang dekat kita abaikan. Waktu Paulus dan Silas menginjil, Tuhan membuka hati Lidia, seorang penjual kain ungu, dan ia bertobat bukan seorang diri tetapi dengan seluruh keluarganya (Kis. 16:14-15). Demi Injil, Paulus dan Silas rela dipenjara. Herannya, di dalam penjara pun mereka dapat memenangkan jiwa kepala penjara yang ketakutan para narapidana akan melarikan diri ketika pintu-pintu penjara terbuka. Paulus menenangkannya dan memberi-tahukan dia tentang keselamatan di dalam Yesus Kristus. Akhirnya kepala penjara beserta keluarganya percaya kepada Allah (Kis. 16:25-34). Demikian pula dengan Kornelius, perwira pasukan Italia, beserta sanak saudara dan sahabat-sahabatnya menerima Yesus dan dipenuhi Roh Kudus setelah mendengar khotbah Petrus (Kis. 10).
Introspeksi: di mana anak-anak, orang tua serta saudara-saudara kita? Sudahkah mereka menerima Yesus atau kita tidak peduli dengan kehidupan rohani mereka?
Ingat, kita dahulu bangsa kafir tanpa pengharapan dan tidak beroleh bagian dari keten-tuan yang dijanjikan (Ef. 2:12) tetapi sekarang menjadi keluarga Allah oleh karena penebusan di dalam Yesus Kristus (Ef. 1:7). Kita tidak lagi diperbudak oleh dosa. Jangan bertindak seperti orang Yahudi yang merasa tidak pernah diperbudak/diperhamba oleh siapa pun (Yoh. 8:33). Mereka lupa akan riwayat sejarah nenek moyang mereka yang aib. Orang Israel pernah pula ditawan di Babel selama 70 tahun dan mereka melupakan Paskah. Yesus menegaskan bahwa setiap orang yang berbuat dosa adalah budak dosa tetapi Anak Manusia datang untuk membebaskannya menjadi merdeka (ay. 34-36). Sayang, sampai hari ini sebagian besar bangsa Yahudi tidak mengerti makna Paskah sesungguhnya.
Kita sekarang adalah ‘adonan baru’ yang tak beragi, kita harus hati-hati untuk tidak dikhamiri walau dengan sedikit ‘ragi’ yang membawa kita kembali berbuat dosa seperti terjadi pada jemaat Korintus yang sombong meskipun hidup amoral – anak hidup dengan istri ayahnya (1 Kor. 5:1-2, 6-7).
Perayaan Paskah selalu ditandai dengan (1) darah anak domba yang membuat malaikat lewat (tidak membunuh anak sulung manusia maupun binatang) jika melihat tanda darah di tiang pintu dan ambang atas juga (2) roti tak beragi. Bagi kita sekarang, darah Yesus, Anak Domba Allah, melepaskan kita dari kematian kekal akibat upah dosa. Hendaknya setiap rumah tangga rindu dilepaskan dari perbudakan dosa dengan menaati perintah Firman-Nya dan kita beroleh hidup kekal dengan mengonsumsi Roti hidup itulah Yesus (Yoh. 6:35). Amin.