Editorial

Yesus berada di antara kami di bukit Zaitun.

Kegentaran hebat serasa masih terbayang ketika Dia dirajam, daging punggung-Nya hancur, terkelupas dan berdarah. Kami seakan tak dapat menerimanya. Dia yang begitu baik mengajarkan hal-hal indah, tanpa salah, menolong banyak orang yang menderita harus mengalami siksaan begitu hebat hingga kami tak sanggup memandang wajah-Nya karena seluruh tubuh-Nya hancur.

Teman-teman lari ketakutan dan meninggalkan-Nya, tak seorang pun berani membela atau mendekati-Nya. Dari kejauhan aku melihat bagaimana tentara-tentara Romawi dengan brutal menyiksanya! Dia dipukul, ditinju, diludahi dan dibenci. Aku tahu bukan hanya tubuh-Nya yang terluka tetapi hati dan jiwa-Nya juga. Dia sungguh mengasihi manusia dan mau menyelamatkan mereka tetapi mereka menolak, menghina bahkan menganiaya-Nya! Aku sendiri telah menyangkali-Nya, tiga kali seperti telah dikatakan-Nya. Ketika mata-Nya memandang aku, hatiku teriris dan aku menangis. Betapa licik dan pengecutnya diriku, telah menyangkal orang yang mengasihiku! Aku takut dilibatkan dan takut ikut disiksa.

Tiga hari setelah itu terjadi kegemparan lagi. Dia dikabarkan bangkit dan hidup kembali! Hal itu memang telah dikatakan-Nya kepada kami namun kami begitu dungu untuk mengerti saat itu. Beberapa kali Dia menampakkan diri. Ketika aku bersama-Nya, tiga kali Ia bertanya apakah aku mengasihi-Nya dan tiga kali pula Dia meminta agar aku mau menggembalakan domba-domba-Nya. Perasaan bersalah, penyesalan diri, malu bercampur aduk menjadi satu. Apa yang dapat kukatakan? Aku merasa telah mengasihi-Nya namun ternyata kasihku sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kasih-Nya.

Ia sering berbicara tentang Kerajaan Allah dan menyuruh kami tinggal di Yerusalem untuk menantikan kedatangan Roh Kudus yang akan memberi kami kuasa menjadi saksi-Nya di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria bahkan sampai ke ujung bumi.

Kami kemudian menyaksikan Dia terangkat naik ke langit dan hilang tertutup awan. Kami kembali termangu. Hal-hal besar dan menggoncangkan telah terjadi dalam beberapa minggu itu.

Janji-Nya ditepati. Hari itu di tempat kami berkumpul turunlah dari langit bunyi seperti tiupan angin keras memenuhi seluruh rumah dan tampak lidah-lidah seperti nyala api hinggap atas kami. Kami berbicara dalam bahasa-bahasa yang tidak kami kenal.

Dengan kuasa itu aku bangkit dan berbicara tentang Yesus yang telah mereka salibkan. Aku ingin mereka semua tahu siapa Dia dan bagaimana berkuasanya Dia. Aku ingin mereka mengenal-Nya seperti aku kini mengenal-Nya. Aku tidak lagi merasa takut dan gentar, tidak lagi takut akan penderitaan dan kematian andaikata hal itu harus kuhadapi. Kasih kepada-Nya begitu kuat mencengkeram hatiku hingga bila aku harus menderita seperti Dia aku akan bersukacita jika dianggap layak untuk mengalaminya. (vs)

SELAMAT HARI RAYA PENTAKOSTA!