• Editorial 917, 18 Juni 2023

“Kami mengingat, ya Allah, kasih setia-Mu di dalam bait-Mu. Seperti nama-Mu, ya Allah, demikianlah kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi; tangan kanan-Mu penuh dengan keadilan.” (Mzm. 48:9-10)

“Besarlah TUHAN dan sangat terpuji di kota Allah kita!” ungkap Bani Korah di awal Mazmur 48. Nyanyian dan rasa syukur yang digaungkan ini menunjukkan kasih yang besar terhadap Tuhan. Rasa kasih ini membuat mereka terus menerus menceritakan kebesaran Allah.

Lalu bagaimana dengan kita? Ketika kita berada dalam suatu komunitas atau lingkaran pertemanan masing-masing, apa yang kita ceritakan? Apakah kebesaran Allah menjadi trending topic atau topik lain yang lagi viral di medsos? Atau, “Ah, aku jarang cerita karena memang hidupku biasa saja. Hidupku banyak masalah yang masih aku hadapi, apa yang bisa diceritakan?”

Melalui Firman Minggu lalu kita belajar bahwa kebesaran TUHAN tidak tampak dari ‘mukjizat-mukjizat’ yang luar biasa. Apakah harus menunggu ‘mukjizat’ terjadi terlebih dahulu baru kita dapat mengagungkan Tuhan? Tentu tidak. Kebesaran TUHAN juga tidak hanya terlihat dari berkat-berkat-Nya saja. Jika kita berfokus pada berkat-Nya, kita akan terjebak pada apa yang sudah kita terima terlebih lagi pada apa yang belum kita terima.

Lalu apa alasan bani Korah begitu mengagungkan kebesaran Tuhan dalam Mazmur 48? Dia tidak hanya menceritakan kehebatan dan kemasyhuran-Nya tetapi juga tentang keadilan dan kasih setia-Nya! Dia sepertinya mengisahkan bagaimana Allah yang luar biasa dan dahsyat itu (transenden) juga Allah yang senantiasa hadir dalam hidup kita (imanen). Dengan penuh kekaguman, Bani korah di ayat terakhir menyatakan bahwa Allah yang hebat itu adalah Allah kita dan kita adalah milik-Nya untuk selamanya dan bahwa Dialah yang memimpin kita!

“Terima kasih TUHAN untuk napas yang Engkau beri, terima kasih untuk kesempatan ini. Izinkanlah kami menceritakan kebesaran-Mu!”