• AKULAH KEBANGKITAN DAN HIDUP (2)
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/artikel/890-akulah-kebangkitan-dan-hidup-2

Dosa, maut atau neraka bukan realitas masa depan belaka. Walau maut baru akan sepenuhnya dimasuki di masa akan datang tetapi sebenarnya sudah dicicipi sekarang. Banyak cara kita mengecap taste of death/hell ini di antaranya ketika kita merasa tidak berdaya untuk memulihkan atau mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik. Akibatnya selama itu kita harus menanggung penyesalan atau kepedihan yang tidak ada habisnya.

Kita ingat perumpamaan Yesus tentang “orang kaya dan Lazarus yang miskin”. Ketika keduanya mati, si kaya mengalami perasaan tidak berdaya dan kebuntuan total untuk memperbaiki kondisinya. Ketika orang masih dapat melihat hal positif dalam hidupnya, ini berarti ia belum dalam kebuntuan dan masih mempunyai daya untuk berbuat sesuatu bagi hidupnya. Misal: bangkrut tetapi masih mempunyai nama baik berarti dapat mulai lagi dari awal; ketika sakit dapat diobati, ini berarti tidak buntu; ketika sesuatu rusak/runtuh dan dapat diperbaiki/dibangun, ini tidak buntu tetapi kondisi “nasi telah menjadi bubur” berarti berakhirnya pengharapan kita, semua usaha sia-sia tidak ada yang dapat diubah atau diperbaiki lagi. Keadaan “nasi sudah menjadi bubur” adalah keadaan buntu – berbalik tidak dapat, maju juga tidak bisa. Saat kita masih hidup (jasmani), tidak sedikit kita menjumpai keadaan kita seperti “nasi sudah menjadi bubur”. Sebenarnya saat itu kita sedang mengecap sedikit rasa pahit dari kematian kekal. Bukankah tidak sedikit orang kaya, tenar, berkedudukan tinggi mengakhiri kebuntuan mereka dengan masuk ke dalam kebuntuan yang paling buntu yaitu kematian?

Ketika Yesus mengatakan bahwa Ia adalah kebangkitan dan hidup maksudnya ialah Ia memberi kebangkitan dari kematian seperti di atas dan hidup yang diberikan-Nya itu kekal tidak dapat binasa. Hidup kekal di dalam Kristus merupakan sebuah proses: bermula dengan Ia membangkitkan hidup rohani kita kemudian ketika kita mengalami kematian jasmani kita masuk ke dalam hidup kekal dan mulia. Hidup rohani berarti kita hidup bersama dan bagi Allah. Kehidupan ini belum sepenuhnya kita nikmati; baru kelak dalam hidup kekekalan kita memasuki sepenuhnya hidup bersama Allah “muka dengan muka” dengan segala kelimpahan berkat yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian hidup kekal bukanlah realitas masa depan belaka sebagaimana yang Marta pikirkan ketika berkata, “Aku tahu bahwa Ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman.” Hidup bersama Allah dalam persekutuan “muka dengan muka” walau akan dinikmati sepenuhnya di masa depan tetap dapat dicicipi sekarang. Penulis Ibrani mengistilahkannya dengan “mengecap karunia Surgawi” (Ibr. 6:4).

Salah satu kondisi mengecap taste of heaven (suasana Surgawi) ialah merasakan kehadiran dan penyertaan Allah sehingga kita selalu berpengharapan bahwa segalanya dapat dipulihkan termasuk kematian sekalipun – tidak ada keputusasaan atau kebuntuan. Allah menanamkan pengharapan yang tidak mengecewakan dalam hati. Pengharapan yang menopang kehidupan serta memberi nyanyian di hati kita. Ini menjawab mengapa Mabel dalam kesendirian, kesakitan digerogoti kanker, buta, hampir tuli masih dapat menyanyi “Jesus is all to me”. Juga menjawab Spafford dalam kebangkrutan semua usahanya ditambah harus menanggung kehilangan semua anak yang mati dalam kecelakaan kapal dapat menulis dan menyanyikan lagu “It is well with my soul”. Dan menjawab pula mengapa Abraham di dalam kesulitan paling besar yang pernah dihadapinya: kehilangan satu-satunya yang paling dikasihinya, kehilangan hidup dan tawanya, kehilangan janji Allah yang menjadikannya bapa segala bangsa melalui anaknya, kehilangan dari segala kehilangan, tetap taat kepada Tuhan karena baginya itu bukan jalan buntu. Tuhan dapat membangkitkan Ishak dari kematian. Mereka semua adalah orang-orang yang di dalam kegetiran hidup mereka diberikan kesempatan mengecap taste of heaven.

SEANDAINYA MUKJIZAT INI TIDAK ADA

Bayangkan seandainya Yesus tidak melakukan mukjizat membangkitkan Lazarus dari kematian? Apa dampaknya terhadap identitas Kristus dan iman Kristen?

A. Tanpa mukjizat ini Kristus tidak dapat menjadi Juru Selamat

Di Yohanes 11:4, Yesus mengatakan bahwa melalui penyakit Lazarus Ia akan dimuliakan. Kemuliaan yang dimaksud ialah salib dan kebangkitan Kristus (Yoh. 12:7,23). Karena mukjizat ini Kayafas memutuskan untuk membunuh Yesus dan Ia makin dekat dengan salib-Nya (Yoh. 11:49-50). Bersama dengan kebangkitan Kristus sendiri di kemudian hari, mukjizat kebangkitan Lazarus menjamin sepenuhnya bahwa Kristus adalah kebangkitan dan hidup. Dua mukjizat ini tidak boleh pincang. Kebangkitan Yesus tidak menjamin Ia dapat membangkitkan kita. Sebaliknya, jika Ia dapat membangkitkan orang lain yang mati tetapi tidak bangkit dari kematian-Nya sendiri, ini menggenapi perkataan orang yang disalib bersama Yesus bahwa orang lain Ia tolong tetapi Ia tidak sanggup menolong diri-Nya sendiri. Ini juga berarti bahwa sekalipun Ia dapat menolong kita, ini dilakukan hanya semasa Ia hidup saja dan sekarang tidak dapat lagi karena Ia sudah mati. Dengan kelengkapan dua mukjizat ini berarti Yesus sanggup menolong diri-Nya dan kita. Ia bukan saja berkuasa atas diri- Nya sendiri tetapi juga atas kita. Ini bukan sejarah saja tetapi berlaku sampai sekarang.

B. Tanpa mukjizat ini Yesus bukan segalanya bagi kita

Yesus dapat mengubah air menjadi anggur, berjalan di atas air, memberi makan ribuan orang lapar, menyembuhkan orang yang hampir mati dst. Yesus dapat menolong mereka yang terjepit, berkekurangan dan yang sakit. Namun apa gunanya semua itu ketika berakhir manfaatnya dalam kematian? Misal: apa gunanya mukjizat ini bagi Wulan yang suaminya dipisahkan darinya oleh kematian padahal baru setahun menikah dan begitu saling mengasihi? Apakah terhadap tragedi ini Yesus dengan pilu berkata, “Pertolongan-Ku hanya sampai di sini saja. Maaf, Aku tidak berdaya hanya dapat menyatakan turut berdukacita”?

Jelas kita tidak hanya membutuhkan seorang Juru Selamat yang dapat menolong kita saat kehidupan menjadi sulit tetapi juga membutuhkan seorang Juru Selamat yang dapat menolong kita saat kehidupan di dunia berakhir. Kita membutuhkan Juru Selamat yang kepada-Nya kita dapat memercayakan baik tubuh maupun jiwa. Kita membutuhkan Yesus yang adalah Tuhan atas kehidupan dan kematian, atas tubuh dan jiwa, atas kesementaraan dan kekekalan.

C. Tanpa mukjizat ini Kristus bukan kekuatan ultima/final kita

Marta berkata kepada Yesus ketika Ia tiba, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Dengan kata lain Marta ingin menyatakan bahwa kehadiran Yesus tidak lagi ada gunanya alias percuma, tidak ada lagi yang dapat Ia perbuat. Segalanya sudah terlambat, tidak ada apa pun yang dapat diubah/diperbaiki/dikerjakan lagi. Nasi sudah menjadi bubur, siapa pun tidak berdaya mengembalikannya. Yesus berkata, “Aku akan membangkitkannya.” Lazarus pun bangkit.

Bersama Yesus tidak ada jalan buntu, tidak ada yang tak dapat dipulihkan-Nya bahkan kematian sekalipun. Bersama Yesus tidak ada yang too late, sampai kapan pun tidak ada jalan buntu dan tidak ada kondisi no hope.

Di dalam Alkitab tercatat ada seorang yang disembuhkan Yesus setelah 38 tahun terbaring sakit. Jika kita sakit, berapa lama kita mampu mempertahankan doa dan pengharapan kita untuk sembuh? Jika 10 bahkan 20 tahun berdoa dan berharap tidak juga ada kesembuhan, masihkah kita berdoa dan berharap? Apakah sudah buntu? Atau setelah 38 tahun berharap kita tidak sembuh tetapi malah mati, apakah ini berarti berakhirnya segala pengharapan? Apakah segalanya sudah terlambat, tidak keburu dan percuma?

Pemahaman bahwa Yesus adalah kebangkitan dan hidup membuat kita dengan penuh percaya dan sukacita menyanyikan lagu karya William J dan Gloria Gaither yang isinya:

Karena Ia hidup saya dapat menghadapi hari esok Karena Ia hidup semua rasa takut sirna

Karena saya tahu Ia memegang masa depan

Dan hidup menjadi berarti hanya karena Ia hidup.

Sebagai penutup kita memerhatikan pertanyaan yang diajukan Yesus kepada Marta setelah Ia menyatakan diri-Nya sebagai “kebangkitan dan hidup”, “Percayakah engkau?”

Pertanyaan ini memberitahukan bahwa untuk menerima semua yang Yesus katakan dan tawarkan kepada kita sederhana caranya yaitu dengan percaya kepada-Nya. Dari mati kita boleh bangkit dengan percaya kepada Yesus. Dari hidup kita tidak akan mati dengan percaya kepada-Nya. Percaya artinya menaruh hati sepenuhnya ke dalam tangan Kristus, membiarkan Dia sepenuhnya membuktikan klaim-Nya kepada kita. Mati bukanlah tujuan akhir dan pemberi makna serta petunjuk bagaimana kita harus hidup. Hiduplah yang menjadi tujuan akhir yang Allah inginkan bagi kita dan Yesus datang menawarkan hidup itu. Ia berkata, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:10)

Kiranya Tuhan dengan Roh-Nya yang kudus menginsafkan kita akan kebenaran ini.

Disadur dari “Menapaki Hari bersama Allah” oleh Yohan Candawasa