MENGAPA HIDUP BEGITU TIDAK ADIL? (2)
PENDERITAAN ASAF DALAM KESUNYIAN
Asaf tidak dapat menyatukan iman kepercayaan dengan keraguannya tetapi ia tidak mau merusak sesamanya dengan mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya. Apa yang dilakukannya? Ia memilih untuk menanggung penderitaan dengan diam-diam (ay. 16). Dan betapa berat penderitaannya itu! Ia bergumul dengan ketidakadilan dalam hidup serta iman yang rapuh dan ia pasti bertanya-tanya:
⊕ Kapan pertanyaan-pertanyaanku akan terjawab?
⊕ Kapan penderitaan ini akan berujung pada kelegaan?
⊕ Kapan akan ada keadilan di dunia?
DI MANA ASAF MENEMUKAN JAWABAN
Hidup ini penuh dengan pertanyaan, ke mana kita mencari jawaban? Mutu jawaban yang kita terima tergantung kepada siapa kita mencari jawaban. Terkadang kita tidak mendapatkan jawaban sebelum kita masuk dalam hadirat Allah seperti dialami oleh Asaf (ay. 17).
KEBUTUHAN KITA AKAN PERLINDUNGAN
Tempat Kudus dipakai untuk menyebut Tabernakel, Kemah Pertemuan yang menjadi tempat ibadah orang Israel sebelum Bait Suci Yerusalem dibangun (Kel. 25:8; 36:1,6). Terkadang tempat Kudus tidak merujuk pada bangunan tertentu melainkan pada gagasan untuk tinggal di dalam hadirat Allah (Yes. 8:14). Itulah yang Daud dambakan ketika ia merindukan “air yang tenang” (Mzm. 23:2) di mana Tuhan – Gembalanya – akan menyegarkan jiwanya. Itulah yang dicari Yesus ketika menjadi manusia, Ia menjauhkan diri dari orang banyak, pekerjaan, murid-murid-Nya lalu pergi sendirian ke sebuah gunung untuk menghabiskan waktu bersama Bapa-Nya.
Tempat Kudus menunjukkan konsep suatu tempat yang dikhususkan untuk perlindungan, peristirahatan dan pembaruan rohani. Kita semua membutuhkan tempat semacam itu – tempat persembunyian rohani di mana hati kita dipulihkan dan diberi kekuatan untuk menghadapi pergumulan hari ini dan tantangan hari esok.
TEMPAT KUDUS ASAF
Asaf mendapatkan pemulihan ketika masuk ke dalam Tempat Kudus Allah dan mendapatkan wawasan serta pemahaman baru. Dalam hadirat Allah, semua berubah kecuali keadaan di sekeliling Asaf. Dengan cara pandang terhadap Allah diperbarui, Asaf mendapati masalah-masalah kecil yang semula tampak kabur kini menjadi jelas.
Sebelum masuk ke Tempat Kudus, Asaf tidak tahan menghadapi tidak adilnya kondisi saat itu. Namun ketika berada di tempat Kudus, Asaf melihat bahwa ketidakadilan itu terlihat sangat berbeda pada hari Allah mengadili musuh-musuh-Nya.
Asaf yang semula bersikap picik dan terlalu terpaku pada diri sendiri masuk ke Tempat Kudus Allah dan menempatkan Allah pada pusat pandangannya. Dampaknya, dia melihat keadaan sebagaimana adanya dan solusi terhadap masalah terjadi.
Pelajaran kekal apa yang Asaf peroleh ketika bertemu Allah dalam penyembahan? Akhir dari pemberontakan.
Awalnya Asaf memandang mereka dalam perspektif horizontal dan ini membuatnya iri hati. Namun dalam tempat Kudus Allah, perspektif Asaf diubah menjadi vertical dan yang dilihatnya sangatlah berbeda. Akhirnya ia dapat melihat apa yang Allah lihat dan mengerti kengerian yang akan terjadi pada orang fasik, yaitu:
Tidak adanya perlindungan (ay. 18). Menurut perspektif dunia, mereka tampak terlindungi dan “kebal” serta jauh dari masalah. Namun dalam pandangan Allah, mereka berdiri di tanah yang goyah (tempat yang licin) menuju kepada kehancuran. Ketika Asaf melihat bagaimana keadaan mereka pada hari penghakiman, ia tidak lagi merasa iri kepada mereka.
Tidak adanya persiapan (ay. 19). Orang fasik yang “mujur” tidak saja sedang menuju penghakiman bahkan mereka tidak menyadari kapan hari penghakiman tiba. Seperti orang-orang pada zaman Nuh menolak peringatan yang diberikan selama bertahun-tahun, ketika penghakiman tiba mereka terlambat untuk melakukan sesuatu.
Tidak adanya harapan (ay. 20). Ketika Allah bertindak terhadap mereka, penghakiman-Nya akan datang tanpa ampun. “Prinsip pembalasan” yang diyakini Asaf akan ditegakkan tetapi Allahlah yang menentukan waktu dan tempatnya.
Perspektif baru asaf membuat sikapnya berubah. Baginya, penghakiman yang akan datang bagi orang-orang fasik merupakan suatu peringatan. Amarahnya surut. Dia tidak lagi menuding tangan kepada mereka yang tampaknya lolos dari penghakiman Allah tetapi mulai memandang dirinya sendiri.
AWAL HIKMAT
Di tempat penyembahan, Asaf mendapati bahwa sebenarnya yang harus ia keluhkan bukanlah para pembangkang moral bahkan Allah. Sekarang Asaf dapat melihat bahwa masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia terlalu berkutat pada ketidakadilan hidup bukannya kepada Dia yang akan menghakimi dengan sempurna dan adil. Dengan membiarkan konflik iman seperti itu melanda dirinya, Asaf telah mengorbankan kenyamanan dan ketenangan yang seharusnya dirancang untuk dihadirkan oleh iman. Terlihat jelas pemulihan rohaninya.
Asaf melihat sikap dan tindakannya merupakan pelanggaran terhadap keadilan Allah yang sesungguhnya (ay. 21-22).
“Hatiku merasa pahit”, Asaf sangat menyesal karena menyimpan kepahitan hati terhadap Allah.
“Ketika buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya”, Asaf sampai pada titik di mana ia mengalami penderitaan paling parah berasal dari luka yang ditimbulkan diri sendiri.
Kerap kali apa yang kita lakukan terhadap diri sendiri jauh lebih buruk daripada yang dilakukan oleh orang lain.
“Aku dungu dan tidak mengerti”, dengan mempertanyakan cara Allah mengatur kehidupan, Asaf tidak berlaku bijak tetapi malah menunjukkan kedunguan dan ketidakpengertiannya.
Kita harus selalu ingat bahwa rancangan Allah bukanlah rancangan kita dan jalan kita bukanlah jalan-Nya (Yes. 55:8). Mempertanyakan atau mengkritik hikmat Allah atau berusaha menilai kinerja Allah tidak akan mampu kita lakukan sebab hikmat-Nya sempurna dan kekal. Dia tidak pernah melakukan kesalahan. Pekerjaan-Nya dapat dipercaya karena hanya Dia yang memiliki pengetahuan sempurna akan masa yang akan datang.
“Seperti hewan aku di dekat-Mu”, Asaf memakai kata hewan sebagai kiasan dalam ayat ini. Perkataannya mengingatkan tentang Nebukadnezar, raja Babel, yang menyombongkan diri sehingga Allah membuatnya berpikir serta bertingkah laku seperti hewan liar tinggal di padang di mana ia makan rumput selama tujuh tahun. Ketika Allah bermurah hati memulihkan akal budinya, Nebukadnezar memuji Yang Mahatinggi, memuliakan yang Hidup kekal karena kekuasaan-Nya kekal dan Kerajaan-Nya turun temurun (Dan. 4:34-35).
Tak seorang pun dari kita memiliki kapasitas untuk memahami segala keajaiban dan cara Allah bekerja.
ALLAH YANG BERKELIMPAHAN
Ketika berada di Tempat Kudus Allah, Asaf menemukan pandangan yang baik akan Allah dan mendapati dirinya dipenuhi rasa syukur berlimpah serta kepercayaan kepada Allah. Dengan antusiasme baru ia menyatakan:
Allah akan senantiasa bersama kita. Ketika melewati hari-hari gelap dalam hidupnya, Asaf melihat bahwa ia tidak sendirian. Ia keluar dari Tempat Kudus Allah dengan yakin bahwa tidak ada sumber keteguhan hati yang lebih besar daripada pengertian bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan atau mengabaikan kita. Jaminan yang sama diberikan oleh Kristus kepada murid-murid-Nya ketika Ia berkata, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20).
Allah akan mengangkat kita. Asaf tidak hanya mengandalkan penyertaan Allah tetapi juga yakin bahwa Ia akan menguatkannya – suatu kenyataan yang menenangkan hati pada saat hidup terasa berat. Pemikiran yang sama diutarakan Rasul Paulus ketika ia menulis, “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah” (2 Kor. 3:5).
Allah akan menuntun kami dengan nasihat-Nya. Pemazmur tidak hanya mendapatkan jaminan penyertaan dan kekuatan dari Allah tetapi juga mengandalkan Roh dan Firman Allah untuk menuntunnya pulang.
Allah akan menerima kita ke dalam kemuliaan. Mungkin penemuan Asaf yang paling indah ialah bahwa penyertaan, kekuatan, dan hikmat Allah tidak akan berakhir. Asaf tahu bahwa pada saat kehidupan berhenti, Allah akan memenuhi janji-Nya untuk tinggal bersama Dia selama-lamanya.
Inilah sumber penguatan dahsyat bagi mereka yang hidup dalam dunia yang telah jatuh ini! Allah tidak akan pernah meninggalkan atau mengabaikan kita (Ul. 31:6,8; Ibr. 13:5).
APA YANG ASAF PELAJARI DARI PERGUMULANNYA
Dalam ayat-ayat penutup di Mazmur 73, Asaf menuturkan apa yang dipelajari dari pergumulannya. Muncullah empat prinsip yang dapat diterapkan dalam pelbagai keadaan hidup, yaitu:
1. Allah lebih penting daripada semua hal lain dalam hidup (ay. 25).
Asaf menyadari bahwa akhirnya hanya Allah yang ia miliki dan perlukan. Ia dapat bersandar pada pemeliharaan-Nya dan berkeyakinan bahwa tidak ada hal lain yang layak untuk dibandingkan dengan Tuhan.
2. Hanya Allahlah kekuatan yang kita butuhkan (ay. 26).
Ketika Asaf tergoda untuk mengandalkan kekuatannya sendiri atau membuat jalan keluar sendiri, ia mendapati bahwa hanya di dalam Allahlah ia menemukan kekuatan tanpa batas yang ia perlukan sekarang dan selamanya.
3. Allah akan bertindak adil seperti halnya Dia murah hati (ay. 27).
Asaf mendapati dirinya iri terhadap orang fasik dan kemakmuran mereka (ay. 3). Ia bergumul dengan kesenjangan hidup yang jelas terlihat (ay. 4-12) bahkan sampai pada titik di mana ia merasa bahwa hidupnya untuk Allah adalah sia-sia (ay. 13). Namun pada akhirnya, Asaf mengakui bahwa hal-hal tersebut harus diserahkan kepada Allah. Seperti dikatakan Abraham, “Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?” (Kej. 18:25). Asaf belajar meyakini bahwa Tuhan dalam waktu dan hikmat-Nya sendiri akan membereskan semua ketidakadilan dalam hidup dengan sikap murah hati tetapi tetap adil.
4. Allah mendekat pada mereka yang mendekat kepada-Nya (ay. 28).
Asaf tidak bertanggung jawab untuk menghukum dunia atau memanipulasi keadilan dari ketidakadilan. Seperti tulisan Yakobus, Asaf belajar bahwa tanggung jawabnya dalam hidup adalah, “Mendekatlah kepada Allah dan ia akan mendekat kepadamu” (Yak. 4:8).
Jadi, apa kesimpulan asaf? Allah dalam kebaikan dan kemahakuasaan-Nya memegang kendali termasuk saat kita menderita dan tidak tahu penyebabnya. Bahkan ketika hidup terasa tidak adil sekalipun, Allah akan selalu adil.
Dengan iman, Asaf akhirnya mengerti dan percaya. Ia menutupnya dengan suatu pengakuan berdasarkan keyakinan pribadi yang dalam dan teruji bahwa Allah memang baik bagi mereka yang tulus dan bersih hati. Hati menjadi kuncinya bahkan kata hati muncul enam kali dalam mazmur ini (ay. 1,7,13,21,26). Berulang kali Asaf menggambarkan keadaan hatinya bukan situasi hidupnya sebagai elemen kunci hidup bersama Allah. Yesus sendiri menyatakan, “Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8).
Di Tempat Kudus Allah, Asaf belajar melalui penderitaan, air mata, kehilangan, dan kekecewaan bahwa keadaan hidup tidak menghilangkan kebaikan Allah. Justru pada masa-masa kegelapan hidup, kemuliaan dari kebaikan Allah terlihat paling jelas.
Mengenal Allah dan memercayai kebaikan-Nya membuat kita terhindar dari semata-mata memandang keadaan di luar diri kita juga keliru menganggap Allah tidak mengendalikan keadaan, tidak adil atau tidak peduli.
MENJAWAB PERTANYAAN TENTANG KEKEKALAN
Alkitab tidak menjanjikan orang percaya akan hidup bebas dari penderitaan, kesulitan, atau kehilangan sesuatu/seseorang yang dikasihinya. Orang Kristen tidak bebas dari pergumulan, sakit hati atau kekecewaan. Bahkan terkadang di tengah masa-masa sukacita dan berkat akan muncul masa-masa yang mana cara pandang kita perlu diperbarui.
Alkitab berjanji kepada mereka yang percaya Kristus bahwa mereka memiliki “Teman” dalam perjalanan yang menolong, mendorong, dan menguatkan mereka saat menghadapi situasi apa pun yang menghadang mereka. Ia adalah Pribadi yang telah berjanji, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata, “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Ibr. 13:5-6).
Kita harus hidup teguh di tengah dunia yang penuh dengan kebimbangan dan Ia menjadi Tempat Kudus kita. Dunia ini adalah tempat penuh kesulitan dan pergumulan akan tetapi kita tidak menghadapinya sendirian. Yesus Kristus datang ke dalam dunia untuk memulihkan hubungan kita dengan Allah yang terputus dan memberi kita hidup yang memiliki tujuan pasti. Kita beroleh pengampunan, memiliki hubungan baru dengan Allah dan mendapati bahwa sesungguhnya Dialah pertolongan dan harapan yang kita perlukan dalam kehidupan dan dalam kekekalan.
Saduran dari: Mengapa Hidup Begitu Tidak Adil? (Seri Terang Ilahi)