MENGAPA HIDUP BEGITU TIDAK ADIL? (1)

 


Saat mengalami hari yang tidak menyenangkan, kita mungkin akan sependapat dengan orang-orang sinis yang mengatakan bahwa “meski melakukan perbuatan baik, tetap saja dihukum”. Saat merenung, kita mungkin mendapati hati kita sakit akibat kesenjangan dan ketidakadilan yang muncul dalam setiap lembar pengalaman hidup manusia.

Di manakah keadilan? Bagaimana kita dapat memiliki keyakinan kepada Allah jika kehidupan sepertinya lebih bermurah hati kepada mereka yang tidak memedulikan-Nya?

PERTANYAAN SULIT YANG DIAJUKAN OLEH SEMUA ORANG

Setiap hari dalam tayangan berita dan surat kabar, kita menonton dan membaca tentang orang yang menderita dan bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang hidup.

Seorang ayah berusaha menghidupi keluarganya dengan bekerja keras dan hidup dengan benar. Namun saat memikirkan orang-orang yang meraih kekayaan dengan cara tidak sah (bertentangan dengan hukum), ia bertanya-tanya, “Apa gunanya berusaha hidup dengan benar? Mungkin orang benar memang selalu kalah.”

Seorang janda duduk di samping makam yang masih basah sambil terisak, “Ini tidak adil! Mengapa suamiku yang meninggal bukan pengemudi yang mabuk itu? Suamiku sama sekali tidak bersalah.”

Di mana kita dapat menemukan jawaban di dunia yang tampak sangat tidak adil ini?

Ini hanyalah sebagian dari pertanyaan yang menghantui mereka yang memikirkan kecurangan, ketidakadilan dan kesenjangan dalam hidup. Apa yang dapat kita katakan kepada mereka yang menderita atau bahkan kepada diri sendiri?

Di mana kita dapat menemukan jawaban yang akan memulihkan keyakinan kita kepada Allah?

SEORANG BERIMAN MENYANYIKAN LAGU SEDIH

Salah satu hal yang dapat dilakukan orang yang menderita adalah membuka Kitab Mazmur yang menulis syair-syair jujur membangkitkan semangat.

Salah satu penulis mazmur bernama Asaf menulis Mazmur 73 sebagai tanggapan atas kekecewaan dan krisis imannya sendiri. Ia mengungkapkan pikiran dan perasaannya dan ini bukan suatu kisah yang indah.

MENGAPA HIDUP BEGITU TIDAK ADIL

Dalam Mazmur 73, Asaf mengungkapkan kekecewaan mendalam dan untuk beberapa waktu tidak berani diakuinya. Namun akhirnya ia mengungkapkan bahwa ia merasa dikhianati tidak hanya oleh kehidupan tetapi juga oleh Allah.

Kacamata yang dia pakai untuk memandang penderitaan kabur oleh kebencian dan kebingungan pribadi. Akibatnya ia merasakan ketidakadilan mengapa ia yang telah berusaha setia kepada Allah dan mengambil pilihan-pilihan benar malah dibanjiri dengan eksusahan sedangkan orang-orang yang kurang taat berkemakmuran.

MENGAPA ALLAH TIDAK MENEGAKKAN PERATURAN-NYA SENDIRI

Salah satu alasan mengapa Asaf begitu merasakan ketidakadilan adalah orang Yahudi memandang kehidupan melalui “kisi-kisi ganjaran” atau disebut pula “hukum pembalasan yang setimpal”. Prinsip ini pada dasarnya menyatakan bahwa mereka yang melakukan kebaikan diberi penghargaan yang setimpal dengan kebaikan mereka sedangkan pelanggar moral dihukum sesuai dengan kesalahan mereka. Prinsip ini merupakan padanan Perjanjian Lama dari “hukum menabur dan menuai” dan perjanjian Baru yang terdapat dalam Galatia 6:7-8.

Prinsip ganjaran atau pembalasan setimpal merupakan asumsi yang umum dimiliki orang Yahudi. Akibat keterbatasan pemahaman mereka tentang kehidupan setelah kematian, mereka mengharapkan keadilan ditegakkan dalam hidup sekarang ini. Contoh: teman-teman Ayub percaya bahwa orang mengalami penderitaan setimpal dengan kesalahannya. Mereka menuduh Ayub menyembunyikan dosa yang dapat menjelaskan penderitaannya.

Hal ini mulai menyingkap masalah yang melatarbelakangi Mazmur 73: apa yang terjadi ketika orang jahat sepertinya diberkati sementara orang benar sepertinya dikutuk?

MENGAPA HIDUP TERASA SUMBANG

Asaf sedang menderita dan bergumul. Perkataan dan emosinya mempunyai intensitas tefokus dan menyakitkan, memicu munculnya pertanyaan-pertanyaan tajam yang tersembunyi di dalam hatinya.

Dalam banyak hal, pengalamannya mirip dengan pengalaman kita. Ia percaya kepada Allah, kebenaran dan keadilan tetapi pengalaman hidupnya tidak selaras dengan keyakinannya. Bahkan sepertinya imannya telah diputarbalikkan.

Untuk dapat mempertahankan iman, Asaf harus mendapatkan jawaban. Teori-teori teologinya telah digantikan oleh kekecewaan dan penderitaan pribadi.

APA YANG MENYEBABKAN ASAF FRUSTRASI

“Hidup harus dijalani ke depan sayangnya hidup hanya dapat dipahami dengan memandang ke belakang”. Dengan kata lain, terkadang kita dapat betul-betul memahami setiap kejadian dalam hidup ini saat menengok ke belakang.

Dengan cara pandang “melihat ke belakang” kita mendapatkan konteks yang lebih berarti dan akurat terhadap apa yang telah kita alami. Dengan merenungkan kembali pengalaman suka duka dalam kehidupan, kita dapat melihat sekarang bahwa beberapa waktu lalu Allah telah meletakkan dasar untuk apa yang kita lakukan sekarang. Kerap kali hidup lebih jelas terlihat jika kita memiliki kesempatan untuk memandang ke belakang.

PENDERITAAN SAAT INI

Asaf, penulis Mazmur 73, juga menghargai cara pandang ke belakang. Ia melihat kembali saat hidupnya penuh dengan keputusasaan, keraguan, dan penderitaan pribadi. Ia mengingat saat bertanya-tanya akaan kebenaran dan keadilan Allah. Inti dari pergumulan Asaf adalah bahwa orang benar (“mereka yang tulus hatinya”) sepertinya tidak diberkati. Dalam hatinya timbul pertentangan karena kenyataan hidup tampak berlawanan dengan keyakinannya.

Terjadilah perubahan pemikiran Asaf. Ia memulai dengan iman kemudian menajdi kecewa dan hamper meninggalkan iman. Hatinya menjadi medan pertempuran tempat di mana pergumulannya berlangsung untuk menentukan apakah ia akan memercayakan hidupnya kepada Allah atau tidak.

DALAMNYA KEKECEWAAN

Asaf mulai membuka hati dan mengingat kembali reaksinya ketika memasuki masa kekecewaan dan kehilangan. Ketika sedang berada dalam penderitaan, tampak layak bahkan dibenarkan untuk mengeluh. Namun kemudian ia melihat bahwa keluhannya menjadi godaan yang berbahaya untuk membelot dan mudur.

Ia mengutarakan pikiran-pikirannya yang bergejolak dengan jujur dan objektif (ay. 2). Keterusterangan dan keterbukaan Asaf dalam mengisahkan penderitaannya menantang kita apakah kita juga jujur terhadap diri sendiri juga kepada Allah berkaitan dengan kegagalan-kegagalan kita? Bukankah kita jarang mengakui bahwa kita juga mudah iri terhadap kemakmuran orang-orang yang tidak mengenal Allah? Memang semua akan menjadi baik pada akhirnya nanti tetapi “pada akhirnya nanti” terasa sangat jauh ketika kita sedang mengalami penderitaan dan menonton orang lain yang sepertinya mengambil keuntungan dari pelanggaran mereka.

KESENJANGAN HIDUP

Asaf bergumul dalam hati tentang kecurangan yang disaksikan di sekelilingnya. Mereka yang tidak memiliki waktu untuk Allah malah makmur sedangkan orang beriman menderita. Ini masih berlaku sampai sekarang bukan?

Asaf melihat ketidakadilan ini dan apa yang ia lihat merobek hatinya. Kondisi mereka yang memiliki keuntungan dengan melakukan hal-hal yang tidak benar ditulisnya dalam ayat 4-9: mereka sehat dan gemuk, tidak mengalami kesusahan, tidak kena tulah, congkak berpakaian kekerasan, suka memeras dan membual.

Lihatlah tingkah laku orang-orang egois dan tak bermoral seperti digambarkan oleh Asaf sepotong demi sepotong.

Mereka mati tanpa merasakan kesakitan (ay. 4). Mereka menikmati hidup sepuas-puasnya dan mati dengan kenyang. Tubuh mereka sehat dan gemuk, melambangkan kemakmuran besar ketika kebanyakan orang harus berusaha keras untuk bertahan hidup.

Mereka tidak mengalami kesusahan atau sakit penyakit seperti orang lain (ay. 5). Mereka yang menikmati kemakmuran dengan melakukan kejahatan sepertinya kenal terhadap kesulitan, pergumulan dan pengorbanan yang normalnya ada dalam hidup.

Kesombongan dan kejahatan mereka membuahkan kekayaan (ay. 6). Iman Asaf mengajarnya bahwa mereka yang menolak Allah akan menderita tetapi ketika mengamati kehidupan, ia melihat mereka yang angkuh dan kejam justru dihargai dan mendapatkan upah.

Kelimpahan mereka tidak terbayangkan (ay. 7). Asaf melihat perwujudan jasmani dari kekayaan mereka yaitu mata mereka menonjol karena kegemukan (their eyes bulge with abundance).

Perkataan mereka penuh dengan penghinaan, keangkuhan dan kesombongan (ay. 8,9).

KESALAHAN YANG UTAMA

Yang paling mengganggu Asaf tentang orang kaya dan pemberontak ini adalah sikap mereka terhadap Allah. Mereka menghina Dia dengan segala perbuatan mereka. Mereka sepertinya sama sekali tidak memikirkan dan tidak merisaukan hari esok. Bagi mereka hidup adalah untuk saat ini dan saat ini tampaknya tidak akan berakhir karena merasa dilindungi dari penderitaan hidup yang normal (ay. 4-6). Dengan demikian, mereka beranggapan kebal juga dari balasan Ilahi terhadap sikap, dosa dan penghinaan yang mereka lakukan.

KESIMPULAN ASAF YANG MENGECILKAN HATI

Asaf berkesimpulan yang mengecilkan hati bahwa dalam segala kejahatan dan hidup untuk diri sendiri sepertinya orang-orang fasik tetap bertambah makmur (ay. 12). Tak heran jika Asaf frustrasi! Ia melihat orang jahat bertambah makmur dan mereka terlihat kebal terhadap masalah hidup. Mereka menghina Allah dan seolah-olah tidak mendapat hukuman.

Kesenjangan dan ketidakadilan yang mencolok ini melatarbelakangi pengakuan Asaf, “Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik” (ay. 3). Tidak sulit membayangkan bahwa dalam keadaan yang sama kita pun akan berteriak, “Ini sungguh tidak adil!”

KERAGUAN ASAF

Asaf menyatakan bahwa hidupnya telah dijalani dengan integritas dan kesetiaan tetapi dalam keputusasaan ia bertanya-tanya apakah usahanya itu sia-sia (ay. 13). Ia hampir menyerah dan meninggalkan Allah. Ada amarah yang begitu kuat di di balik kata-katanya dan lebih dari itu ada suatu kebenaran lain yaitu ketika sepertinya Allah tidak memegang kendali, keraguan membuatnya ingin menyerah. Asaf sangat kecewa sehingga merasa “sia-sia” menjaga kesucian hati. Lagi pula apa yang ia dapat dari komitmen rohaninya? Hanyalah tulah dan hukuman (ay. 14).

KETAKUTAN ASAF

Ia ingin menyatakan ketidaksetujuannya terhadap cara Allah dalam mengatur kehidupan. Seakan-akan tinggal selangkah lagi ia akan membuang iman dan harapannya bahkan allah. Namun ketika ia merenungkan posisinya yang berbahaya ini tampak ada sesuatu yang menariknya kembali. Apa itu?

Asaf adalah seorang yang mengemban beban kepemimpinan. Ia adalah kepala para pemusik Daud juga penulis mazmur dan pelihat (1 Taw. 16:5, 25:2; 2 Taw. 29:30). Ia setara dengan pemimpin music dan pujian pada masa kini.

Namun ia mulai meragukan kebaikan Allah padahal ia memimpin orang-orang untuk memuji-Nya. Asaf memiliki tanggung jawab besar karena jabatan dan pengaruh yang diembannya. Setiap keputusan yang diambil akan berdampak dalam hidupnya.

Asaf bergumul dengan keinginan untuk meninggalkan Allah juga semua komitmennya. Namun ia memandang ke depan dan melihat dampak negatif yang mungkin timbul terhadap orang-orang di sekitarnya. Bagaikan sebuah
batu dilemparkan ke danau tenang, riak kegagalannya akan menyebar dan memengaruhi mereka yang berada jauh di luar lingkaran pribadinya. Semua kepicikan dan kegagalan iman itu berbahaya akan tetapi potensi daya rusaknya menjadi berlipat ganda karena luasnya jangkauan pengaruh seseorang.

RASA TANGGUNG JAWAB ASAF

Asaf ingin melampiaskan kemarahan dan kegusarannya pada ketidakadilan dan kecurangan dalam hidup serta kepada Allah yang membiarkan semuanya terjadi namun ia segera menghentikannya. Ia menahan diri untuk tidak menyatakan semua yang ada di hatinya karena hal itu dapat menyebabkan luka dan kekecewaan umat Allah yang menjadi tanggung jawabnya (ay. 15).

Asaf menahan diri untuk tidak menyatakan semua ketakutan dan keraguannya karena ia memikirkan dampak negatif yang mungkin timbul pada sesama anak Allah. Inilah titik penting dalam pikiran Asaf karena hikmat sejati dalam pikirannya mengatasi keraguan dan ketakutannya. Di tengah pergumulannya, Asaf masih memikirkan dampak yang mungkin timbul karena amarahnya yang membara, kecemburuan dan keraguannya terhadap kehidupan sesamanya.

Hal ini juga menjadi pengingat bagi kita karena kita pun harus mampu membuat pertimbangan. Dengan siapa kita dapat berbagi kekhawatiran, ketakutan, keraguan dan krisis yang kita alami? Sangat berbahaya jika kita tanpa sadar melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan terhadap seseorang yang belum dewasa imannya. Kita semua saling bertanggung jawab terhadap sesama dan ini yang membuat kita dapat mengendalikan serta mengausai diri ketika mengatasi amarah dan perasaan dikhianati yang kita alami.

(bersambung)