Di Kayu Salib Aku Melihat Segala Kejahatanku (4)
(Vida S.)
Aku masih merasa berada di sana….Tiba-tiba terjadi kegelapan pada pukul 12 siang. Mata-hari berhenti bersinar. Alam sepertinya ikut berdukacita atas kesengsaraan Yesus. Kegelap-an itu begitu pekat menyesakkan dada. Kege-lapan itu berlangsung hingga pukul 3 sore. Aku merasa begitu takut dan gemetar. Itulah saat paling menakutkan dalam hidupku. Suasana hukuman mati dan kutukan begitu terasa…sepertinya ditumpahkan dari langit kepada Anak Manusia yang tak berdosa itu.
Tiba-tiba suara-Nya berseru dengan nyaring penuh kesengsaraan, “Eloi,…Eloi…lama sabakhtani…?” yang berarti “Ya Allahku,…Allahku…mengapa Engkau meninggal-kan Aku?” Untuk pertama kalinya terdengar Dia memanggil Bapa-Nya sebagai “Allahku” dan untuk pertama kali pula Ia merasakan perpisahan dengan Bapa-Nya. Sebelumnya Ia selalu mengatakan “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:10). Tidak sedetikpun Ia pernah terpisah dari Bapa. Sekarang Ia telah ditinggalkan Bapa-Nya. Dosa yang ditanggung-kan atas-Nya begitu besar. Ia kini berposisikan sepenuhnya sebagai manusia di hadapan Bapa. Tangisan itu dirasakan pula oleh Daud dan ditulis dalam Mazmur 22:1,15-16:
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru tetapi engkau tetap jauh dan tidak menolong aku… Seperti air aku tercurah dan segala tulangku terlepas dari sendi-nya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dadaku, kekuatanku kering seperti lilin, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kauletakkan aku…”
Sepertinya saat itu merupakan saat paling kritis bagi-Nya, keterpisahan Dia dari Bapa-Nya juga kondisi-Nya menunjukkan bahwa Ia sepenuhnya manusia yang dapat merasakan pen-deritaan dan kematian, merasakan kesendirian dan ditinggalkan. Seorang penulis bahkan mengatakan keadaan-Nya saat itu, “Tak seorang pun mampu merasakan kata-kata itu kecuali mereka yang pernah masuk neraka.”
Itulah seruan terburuk dari Yesus dalam peperangan-Nya seorang diri menghadapi setan dan maut. Dia telah ditinggalkan oleh semua murid-Nya kecuali Yohanes. Hukuman telah ditim-pakan pada-Nya oleh para pemimpin agama dari bangsa-Nya sendiri juga oleh pemerintah Romawi dan kini Bapa-Nya juga memalingkan muka dari-Nya.
Dia telah mengetahui bahwa saat itu akan terjadi atas diri-Nya karena Dia menyetujui untuk membayar harga penebusan dosa manusia. Seruan-Nya menyatakan betapa sengsara diting-galkan Bapa yang mana Ia tidak lagi mengalami kasih, kemurahan, pengharapan dan kekuat-an Bapa yang menopang-Nya.
Saat itu aku merasakan bahwa Dia mengalami neraka untukku namun Dia tetap bertahan tidak memberontak demi aku.
Melihat kesengsaraan-Nya aku menyadari betapa besar kejahatan manusia yang harus ditanggung-Nya. Aku merasa tidak seharusnya Dia terhukum dan menderita sedemikian hebatnya karena bukan dia yang berdosa. Aku merasakan pandangan-Nya seolah-olah mengatakan, “Aku sangat mengasihimu…”
Di saat yang mengerikan itu aku justru mengalami sesuatu yang indah! Aku mengalami kengerian bersama Dia dan merasa sangat dekat dengan-Nya. Aku merasakan aku tidak lagi sendirian karena Dia bersamaku dalam keadaan apa pun dan di mana pun – di tempat yang menyenangkan atau paling mengerikan, di tempat Allah tidak mau hadir karena dosa – Ia memilih bersama dengan orang berdosa seperti aku.
Di masa lalu aku merasa sendirian menghadapi beratnya ujian dan pencobaan hidup yang harus kuhadapi dan aku merasa tak seorang pun menyertai dan menolongku. Ternyata Dia ada di sana! Dia telah memilih berada bersamaku.
Ya Yesus, dengan apa dapat kubalas akan kasih-Mu yang sedemikian besar?
Mengapa Kau memilih bersamaku di tempat yang penuh kejahatan dan dosa ini?
Saat paling buruk yang Kaualami justru merupakan saat yang paling indah
Ketika aku merasakan betapa besar kasih-Mu padaku
Aku yang tak patut dikasihani telah Kau kasihani
Aku yang tak layak dikasihi telah Kau kasihi dengan kasih tak terbatas
Hingga Kau rela menyerahkan diri-Mu untukku
Kau telah memilih berada bersamaku
Yesus, aku pun ingin memberikan hidup ini bagi-Mu.
(bersambung)