• TERIMA KASIH UNTUK UJIAN HIDUPKU
  • Vida Simon
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/artikel/1739-terima-kasih-untuk-ujian-hidupku

Aku sedang berada di titik nadir, di titik terendahku. Entah berapa lama aku telah “terkubur” dalam keadaan seperti itu. Dari hari ke hari aku terus menangis memikirkan betapa bahagianya ketika aku mengandung anak ketiga dan terlahir laki-laki setelah aku melahirkan dua anak perempuan. Namun setelah beberapa saat kemudian gambaran itu berganti dengan kesedihan yang mendalam ketika mengetahui bayiku mengidap penyakit cacat jantung sejak dari kandungan. Bayang-bayang maut dan ketakutan terus memburuku. Pengharapan terkadang seolah-olah datang namun sirna lagi disusul dengan kepanikan karena serangan penyakit tersebut yang akhirnya merenggut nyawanya.

Aku selalu berada dalam keadaan seperti itu setiap hari. Tersenyum membayangkan mengandung dia, saat dia berada di pangkuanku dan memberinya minum, memeluk serta menciuminya. Tangisan ketika merasa “sesuatu” telah merebutnya dariku. Dia kemudian hilang begitu saja dan tidak lagi kembali. Aku masih teringat saat aku berlutut di lantai di rumah sakit berdoa sambil menangis dalam keputusasaan memohon belas kasihan-Nya. Juga ketika suamiku mendorong kursi roda yang aku tumpangi karena ketidakberdayaku untuk berdiri atau berjalan pulang saat anak itu berpulang ke pangkuan Bapa Surgawi.

Selama ± tiga tahun aku hidup dalam kesunyian, kehampaan menjalani hidup tanpa arti. Aku kehilangan gairah hidup, tidak ada selera untuk makan atau melakukan hal-hal yang dahulu merupakan hobiku. Aku membiarkan diri tenggelam dalam keadaan seperti itu. Nasihat, hiburan tak lagi dapat kuterima. Saat mendengar kata-kata teman, aku selalu berkata dalam hati, “tolong hentikan semua itu, aku sudah mengetahui semuanya…” Aku yang sering kali memberi nasihat dan menghibur teman-temanku kini tidak lagi dapat dihiburkan. Terkadang aku mendengar bisikan mereka mengapa aku yang hidup penuh dengan pelayanan dapat mengalami hal semacam itu. Tak jarang pertanyaan yang sama pun datang dariku, “Mengapa ya Tuhan….?”

Keadaan seperti itu terus berlangsung hingga suatu saat aku mendengar sebuah lagu dalam bahasa Inggris berkumandang dalam mobil yang aku tumpangi dalam perjalanan ke gereja. Duduk di jok depan kiri mobil dengan kehampaan hati yang luar biasa sementara suami duduk di sebelah mengendarai mobil. Lagu itu mengalun begitu saja dari cassette yang diputar di mobil:

I thank You Lord, for the trials that come my way, In that way I can grow each day, as I let You lead,

And thank You Lord, for the patience those trials bring, In that process of growing

I can learn to care…..

Aku tersentak mendengar seorang wanita menyanyikannya dengan suara parau dan dalam keadaan tercoba masih dapat berterima kasih. Nyanyian itu bila diterjemahkan bebas dalam Bahasa Indonesia berbunyi:

“Aku berterima kasih kepada-Mu Tuhan untuk cobaan yang menghampiriku karena dengan cara itu aku dapat bertumbuh setiap hari jika saja aku mau menyerahkan diriku sepenuhnya kepada-Mu.Terima kasih Tuhan untuk kesabaran yang dihasilkan dari cobaan itu karena dalam proses pertumbuhan itu saya bisa belajar untuk peduli.”

Walau keadaannya bertentangan dengan keinginan hatiku dan aku harus menghancurkan kemanusiaanku, aku membiarkan Roh Kudus mengendalikan semua yang kulakukan karena ketika cobaan itu datang, sifat kemanusiaanku sering kali berteriak dan memberontak hingga bisikan lembut Tuhan terabaikan.

Aku berterima kasih kepada-Mu Tuhan untuk setiap cobaan yang kurasakan di dalam diriku, bahwa Kau berada di sana untuk membantu, memimpin dan membimbing aku menjauhi kesalahan, karena Kau berjanji bahwa bersama-Mu aku dapat dengan mudah menanggungnya.

Aku berterima kasih kepada-Mu Tuhan untuk kemenangan pertumbuhan rohani dan ketika aku dapat menyerahkan segalanya, hidup ini terasa sangat ringan dan berharga. Aku berterima kasih kepada-Mu Tuhan ketika semua sudah Kaupulihkan, aku dapat memandang wajah-Mu dan mendengar suara-Mu serta berada di tempat di mana Kau berada.

Kata-kata lagu itu begitu menjamah hatiku. Air mataku tak dapat berhenti mengalir saat mendengar alunan suara melengking yang menembus jiwaku itu. Aku menyadari bahwa selama ini aku telah membuka celah bagi si jahat. Aku telah begitu bodoh dan membiarkan diriku berada di bawah kendalinya, menguasai hati dan pikiranku

untuk kemudian membawaku pada suasana dukacita yang menghancurkanku menuju pada kematian rohani padahal aku memiliki Tuhan yang memakai ujian dan pencobaan untuk pertumbuhan rohani yang mendewasakan, untuk mengalami kemenangan dalam pergumulan hidup, untuk merasakan kehadiran-Nya yang mengangkatku dan memberiku kemenangan.

Ketika aku berada di rumah, segera aku memutuskan untuk memulai kembali kehidupanku yang telah berantakan dan hampir pudar. Aku mengambil secarik kertas, menerjemahkan lagu tersebut untuk dinyanyikan di gereja……. Itulah pertama kalinya mulutku dapat mengatakan: “Terimakasih Tuhan, untuk Ujian Hidupku”