Perjanjian Nikah / Marital Covenant (1)

Eros maupun filia menarik seorang pria dan seorang wanita untuk saling mendekat. Ketika mereka sudah dipersatukan dalam pernikahan, storge akan memberi hiasan indah pada relasi mereka namun Agape-lah yang akan menopang hubungan tersebut tetap kuat dan tidak berubah. Ketika sebuah janji diikrarkan tanpa syarat, sesungguhnya ini melebihi sebuah janji, ini adalah sebuah covenant/perjanjian.

Firman Tuhan mengajarkan konsep ini secara jelas. Di dalam Perjanjian Lama, covenant berasal dari kata Ibrani berýŷth yang muncul dalam 254 ayat sedangkan dalam Perjanjian Baru digunakan kata Yunani diathēkē yang muncul dalam 18 ayat.

Pengajaran tentang covenant di dalam Alkitab setidaknya terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu covenant antara Allah dan orang-orang pilihan yang direpresentasikan dalam: Adamic Covenant, Noahic Covenant, Abrahamic Covenant, Mosaic Covenant, Davidic Covenant sampai dengan New Covenant. Dan yang kedua adalah Marital Covenant seperti tertulis dalam Maleakhi 2:14, “Dan kamu bertanya: "Oleh karena apa?" Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu (your wife by covenant).”

Tuhan terlibat dalam setiap pernikahan. Dia bukan hanya penggagas pernikahan tetapi juga hadir dan menjadi saksi utama ketika pria-wanita mengucapkan marital covenant mereka. Setelah itu Allah akan tetap menjadi saksi, mengawal setiap pernikahan agar menjunjung tinggi kesetiaan: to have and to hold, to love and to cherish, from this day forward, unconditional, till death do us part, according to God's holy ordinance. Kriteria terpenting dalam covenant adalah kesetiaan tanpa syarat.

Karena pernikahan bersifat long life covenant, di dalam pernikahan tidak boleh ada perceraian. Setelah mengikatkan diri dalam marital covenant hanya kematian yang boleh memisahkan suami-istri.

Tuhan membenci perceraian (Mal. 2:16). Karena itu, siapa pun yang membenci perceraian, berjuang untuk menghindari atau mencegah perceraian, dia ada di pihak Allah.

Sangat jelas, Firman Tuhan di Maleakhi 2:14 mengajarkan secara eksplisit bahwa pernikahan adalah sebuah covenant. Dan masih banyak bagian Firman Tuhan mengajarkan prinsip yang sama meskipun kata covenant tidak muncul secara eksplisit dalam ayat tersebut, misal: “Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat. 19:6)

Larangan perceraian ini sejalan dengan prinsip covenant. Yang menarik dalam ayat ini pernikahan dinyatakan dengan kalimat dipersatukan oleh Allah. Kata Yunani yang dipakai untuk dipersatukan adalah: suzeugnumi.

Kata suzeugnumi terbentuk dari dua kata yaitu: σύν (sun) yang artinya together dan ζεῦγος (zeugos) yang artinya yoke. Jadi kata dipersatukan (suzeugnumi) arti sesungguhnya adalah ditempatkan dalam kuk yang sama seperti binatang yang dipakai untuk membajak sawah.

Dalam rancangan Ilahi, suami-istri dipersatukan dalam pernikahan kudus untuk mengerjakan panggilan hidup bersama di ladang Tuhan. Karena panggilan hidup di dalam Tuhan bernilai kekal, suami-istri yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.

Efesus 5:31-32 menjelaskan bahwa pernikahan adalah gambar hubungan Kristus dan Gereja-Nya yang setiap waktu dilihat oleh dunia. Pernikahan orang percaya harus menjadi gambar yang utuh sehingga dunia dapat melihat gambaran indah tentang hubungan Kristus dengan Gereja-Nya.

Hubungan Kristus dengan Mempelai-Nya, gereja, adalah hubungan Covenant – hubungan yang ditandai dengan cinta dan kesetiaan tanpa syarat. Cinta-Nya yang besar telah terbukti ketika Dia mati di atas kayu salib untuk Mempelai perempuan-Nya (Ef. 5:25b-27).

Kesetiaan-Nya tidak berubah dalam kondisi apa pun dan tidak pernah berakhir dalam situasi apa pun (2 Tim. 2:13).

Berdasarkan apa yang dilakukan-Nya kepada kita, Dia menuntut kita menjalani pernikahan dengan berpegang teguh pada prinsip covenant. Suami-istri yang berpegang pada covenant akan meneladani Tuhan dengan suatu prinsip, “Jika kamu tidak setia, aku akan tetap setia karena aku tidak dapat menyangkal kesetiaan Allah."

1 Petrus 3:7 memberikan proyeksi kekal atas hubungan suami-istri. Teman pewaris berarti mewarisi bersama-sama kasih karunia kehidupan kekal (zōē). Jadi, pria-wanita yang menjadi suami-istri di dunia tetap berelasi di kekekalan. Di Surga kita tetap mengenal suami/istri kita. Karena itu, jangan membawa kenangan buruk ke Surga. Bangunlah hubungan pernikahan yang penuh cinta, kekudusan dan kesetiaan sampai kematian memisahkan.

Tentu semua orang berharap pernikahannya langgeng dan tetap berpegang pada covenant. Namun jika pasangan Anda mengkhianati cinta dan kesetiaan Anda, apakah Anda tetap berpegang pada janji nikah yang pernah Anda ikrarkan?

Faktanya, dalam kehidupan nyata ada pernikahan-pernikahan yang amat sulit. Untuk pernikah-an yang sulit, apakah ada perkecualian? Apakah ada kelonggaran untuk memilih perceraian sebagai cara mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan?

Ketika Tuhan menyatakan kebencian-Nya pada perceraian, sama sekali tidak disebutkan kondisi-kondisi khusus yang mana perceraian diizinkan. Ada beberapa bagian Firman Tuhan yang kadang disalahtafsirkan seolah-olah Tuhan menyetujui perceraian dalam kondisi tertentu.

“Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" (Mat. 19:7)

Jika kita kembali kepada masa lalu bangsa Israel, kita akan mengerti karakteristik bangsa ini. Bangsa Israel adalah gambaran kehidupan setiap kita yang tidak taat, tidak setia, tidak percaya sepenuhnya, suka memilih jalan sendiri (Kel. 32:9). Berkaitan dengan surat cerai, Yesus menya-takan, “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu tetapi sejak semula tidaklah demikian.” (Mat. 19:8)

Surat cerai di kalangan orang Israel bukanlah gagasan Allah tetapi hasil ketegaran hati mereka. Sebelum Musa mengatur perceraian dengan Surat Cerai, banyak pria yang tidak bertanggung jawab dengan mudah menceraikan istrinya dengan alasan apa saja. Hanya dengan ucapan “aku menceraikan kamu”, wanita tersebut harus keluar dari rumah suaminya dan kembali kepada orang tuanya. Jadi, surat cerai yang diatur oleh Musa bukanlah pembenaran perceraian tetapi mencegah perlakuan semena-mena suami yang tidak bertanggung-jawab terhadap istrinya.

Bagian Firman Tuhan lain yang sering disalahartikan adalah, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mat. 19:9)

Ketika membaca Firman Tuhan di atas, banyak yang terfokus pada frasa “kecuali karena zinah” lalu menyimpulkan: jika salah satu pasangan berzina maka perceraian dibenarkan. Kesimpulan ini tidak tepat sebab ayat tersebut tidak dapat dipisahkan dengan ayat sebelumnya yang mana Tuhan berkata, “tetapi sejak semula tidaklah demikian” juga tidak dapat dipisahkan dengan Maleakhi 2:16.

Matius 19:9 sebenarnya merupakan penegasan bahwa pernikahan adalah sebuah covenant sehingga dalam pernikahan tidak ada tempat bagi perceraian. Jika terjadi perceraian, mereka yang bercerai dilarang kawin dengan orang lain. Jika melanggar ketetapan Tuhan tersebut, Firman Tuhan dalam Matius 5:32; Matius 19:9; Markus 10:11-12 berlaku bagi mereka.

Sangat jelas bahwa pernikahan adalah sebuah covenant, satu kali diikrarkan, hubungan tersebut berlaku untuk selama-lamanya. Tidak ada perceraian, hanya kematian yang dapat memisahkan hubungan tersebut. Mereka yang bercerai atau diceraikan lalu kawin dengan orang lain maka mereka disebut orang-orang yang melakukan perzinaan. Risiko perzinaan dinyatakan dengan tegas dalam 1 Korintus 6:9-10 yaitu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.

Istri yang bercerai harus tetap hidup tanpa suami; demikian pula suami yang bercerai harus tetap hidup tanpa istri (ay. 11). Bila perceraian telah terjadi, mereka harus mencari cara untuk berdamai dengan suami/istri yang diceraikannya.

Kata “zina” dalam Matius 19:9 berasal dari 2 kata Gerika berbeda: (1) porneia (fornication) dan (2) moichaō (commit adultery). porneia adalah kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan dua orang yang bertunangan (belum hidup sebagai suami-istri) dan salah satu berselingkuh dengan orang lain. Yusuf pernah menduga Maria melakukan ini (dalam kisah peristiwa inkarnasi Tuhan Yesus) karena itu Yusuf boleh meninggalkan Maria sebab mereka belum hidup sebagai suami-istri namun Malaikat mencegahnya karena Maria mengandung dari Roh Kudus.

Jadi kata “zina’ yang pertama dalam Matius 19:9 bukan seperti “zina” yang kita pahami sekarang. Yang tidak boleh dilupakan, pada zaman Musa mereka yang kedapatan berzina akan dirajam hingga mati sehingga pasangannya boleh menikah lagi. Sekali lagi Matius 19:9 bukan ayat yang memberi izin khusus untuk bercerai karena alasan pasangan berzina..

1 Korintus 7:12-13 juga sering disalahartikan, seolah-olah Tuhan membenarkan perkawinan dengan orang yang tidak seiman. Ayat ini sebenarnya mengatur pasangan orang tidak percaya tetapi kemudian salah satu bertobat dan percaya kepada Tuhan maka mereka yang telah bertobat tidak diperbolehkan menceraikan pasangannya yang belum bertobat dengan alasan Tuhan melarang berpasangan dengan mereka yang tidak percaya (baca: 2 Kor. 6:14).

Untuk kasus seperti ini, mereka yang bertobat terlebih dahulu harus menjadi juru syafaat bagi pasangannya yang belum bertobat.

Dalam situasi pernikahan yang sulit, apa yang harus dilakukan oleh mereka yang menjadi korban?

  • Miliki ketetapan hati untuk tidak mau bercerai atas alasan apapun sebab perceraian dibenci olehTuhan.
  • Miliki harapan yang membentang sampai pada kekekalan. Bertahanlah dalam pernikahan yang sulit karena Anda ingin berpegang teguh pada Anda melakukannya untuk menyenangkan hati Mempelai Surgawi, Tuhan Yesus Kristus. Bila Anda melihat jauh pada kekekalan, penderitaan yang Anda alami di saat ini menjadi tidak ada artinya (2 Kor. 4:17).
  • Miliki keteguhan untuk merebut jiwa pasangan Anda yang terjebak dalam dosa perzinaan yang akan menyeretnya menuju kematian kekal.8

Mereka yang menjadi korban perselingkuhan, sering doanya berfokus agar pasangannya kembali kepadanya bahkan cukup banyak yang karena kemarahan sama sekali tidak dapat berdoa. Mintalah kepada Tuhan Yesus hati yang penuh belas kasihan agar Anda dapat menjadi pendoa yang terus menerus mengharapkan keselamatan jiwa pasangan Anda.

  • Miliki keberanian untuk menyatakan cinta dengan kuat. Berbicaralah dengan tenang kepada pasangan Anda, katakan Anda tahu dia berselingkuh dan minta dengan tegas dia untuk berhenti.
  • [Jika Anda adalah seorang istri] miliki kemandirian finansial sehingga Anda tidak ditekan dengan ketergantungan finansial.
  • Miliki komunitas rohani sehatyang dapat memberi kekuatan ketika Anda
  • Miliki tekad untuk memenuhi covenant Anda sampai kematian memisahkan Anda.

Hosea (pria yang hidup terhormat) bergumul berat ketika Tuhan memerintahnya untuk pergi mengawini seorang pelacur. Namun dia taat dan melakukannya dengan sepenuh hati (Hos. 1:2-3).

Gomer, si pelacur, menginjak-injak cinta Hosea yang tulus dan penuh kesetiaan. Dia meninggalkan Hosea dan anak-anak mereka lalu menjadi pelacur lagi. Ketika dia sudah tua, tidak laku dan memiliki banyak utang kepada mucikarinya, Hosea sebagai suami sah harus membayar 15 syikal perak dan 1½ homer jelai untuk mendapatkan Gomer kembali (Hos 3:1-2).

Jika Anda marah terhadap Gomer, sesungguhnya Anda sedang marah kepada diri sendiri. Gomer adalah gambar kita. Hosea (deliverer) – penyelamat, adalah gambar Tuhan Yesus.

Apa yang dilakukan Hosea kepada Gomer adalah gambaran apa yang dilakukan Tuhan Yesus terhadap orang pilihan. Jika Anda memiliki pasangan yang berselingkuh dan Anda mengambil keputusan untuk tetap mencintainya dengan penuh kesetiaan, Anda dapat sedikit mencicipi apa yang dirasakan oleh Tuhan Yesus terhadap orang-orang pilihan-Nya yang berlaku tidak setia.

Tahukah Anda, mineral carbon berwarna hitam yang berasal dari pohon-pohon terbakar di kedalaman 140 – 190 km di perut Bumi dan mendapat pemanasan dari perut Bumi setinggi lebih dari 1700oC perlahan-lahan akan berubah menjadi berlian, kristal jernih yang begitu indah dan harganya sangat mahal. Apa yang Tuhan lakukan pada carbon untuk menghasilkan berlian, seperti itu pula yang dilakukan-Nya dalam hidup orang percaya. Ia merelakan kita mengalami berbagai penderitaan untuk memunculkan kemuliaan Kristus dalam hidup kita. Karena itu jangan menyerah atas penderitaan yang Anda alami. Bahkan jangan sia-siakan penderitaan Anda; izinkan penderitaan tersebut mengerjakan kemuliaan kekal dalam hidup Anda. Biarlah penderitaan tersebut memunculkan berlian yang indah untuk dipasang di mahkota Anda, sebab Tuhan berjanji, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” (Yak. 1:12)

Dengan demikian Anda dapat berkata, “Aku akan mencintai suami/istriku dengan penuh kesetiaan tanpa syarat sampai kematian memisahkan kami.”

Dikutip dari buku Sexual Holiness Vol.3 by Andik Wijaya,MD,MRepMed