• FIRMAN TUHAN MEMBARUI MANUSIA BERDOSA
  • Lukas 5:12-39
  • Lemah Putro
  • 2021-04-18
  • Pdm. Setio Dharma
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/ibadah-umum/858-firman-tuhan-membarui-manusia-berdosa
  • Video Ibadah: KLIK DISINI

Shalom,

Tema Firman Tuhan kali ini diambil dari Injil Lukas 5:12-39 dan Alkitab LAI membantu kita membaginya dalam empat cerita: (1) Yesus menyembuhkan seorang sakit kusta (2) Orang lumpuh disembuhkan (3) Lewi pemungut cukai mengikuti Yesus (4) Hal berpuasa.

Hendaknya kita dapat memahami Firman Tuhan agar konsep cara pikir kita terhadap Tuhan maupun pola pikir kita dalam menjalani kehidupan bersama-Nya diperbarui. Kisah-kisah ini tidak asing bagi kita bahkan diceritakan pula kepada anak-anak Sekolah Minggu. Mari kita mempelajari lebih dalam makna apa yang hendak disampaikan kepada kita dari masing-masing peristiwa.

  1. Yesus menyembuhkan seorang sakit kusta (ay. 12-16) → mukjizat bukanlah tanda pertobatan

“Pada suatu kali Yesus berada dalam sebuah kota. Di situ ada seorang yang penuh kusta. Ketika ia melihat Yesus tersungkurlah ia dan memohon: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Yesus melarang orang itu memberitahukannya kepada siapa pun juga dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan seperti yang diperintahkan Musa sebagai bukti bagi mereka…datanglah orang banyak berbondong- bondong kepada-Nya untuk mendengar Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka. Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa.”

Mengapa Yesus menyuruh orang kusta yang sudah tahir/bersih ini untuk pergi memperlihatkan diri kepada imam? Sesuai dengan peraturan Taurat Musa, orang kusta yang telah tahir dicek oleh imam dan harus melakukan liturgi/upacara seperti mempersembahkan kurban sajian, kurban unjukan, kurban penebus salah dll. Imam bertugas mempersembahkan kurban penghapus dosa, kurban bakaran, kurban sajian untuk mengadakan pendamaian bagi orang itu di hadapan TUHAN (Im. 14:18b-20). Jadi, Yesus tidak hanya menahirkan orang kusta tersebut tetapi menginginkan adanya pendamaian dengan Tuhan – tindakan kesembuhan dari penyakit dilanjutkan dengan tindakan pendamaian. Itu sebabnya ketika Ia menahirkan sepuluh orang kusta karena belas kasihan namun hanya satu yang datang kepada-Nya dan tersungkur di kaki-Nya sambil memuliakan Allah, Ia bertanya di mana sembilan orang lainnya yang tidak kembali untuk memuliakan Allah (Luk. 17:12-19). Dari contoh sepuluh orang kusta yang ditahirkan dapat disimpulkan bahwa orang yang tahir/sembuh dari kusta tidak otomatis berdamai dengan Allah. Oleh karena itu ketika berbondong-bondong orang datang kepada-Nya ingin kesembuhan, Yesus malah mengundurkan diri ke tempat sunyi dan berdoa.

Terbukti mukjizat kesembuhan (fisik) dari penyakit bukanlah tanda pertobatan namun mukjizat dipakai sebagai sarana untuk bertobat. Ilustrasi: pandemi COVID-19 saat ini sangat mengkhawatirkan bagi orang percaya maupun non-Kristen. Berapa banyak orang yang sembuh dari COVID-19 ini adalah orang Kristen? Atau lebih banyak orang non-Kristen? Bahkan negara kita yang mayoritas non-Kristen dan belum percaya Kristus lebih banyak yang sembuh ketimbang yang meninggal gegara COVID-19 padahal mereka belum ada tanda pertobatan.

Allah berinkarnasi di dalam Yesus dan datang ke dunia bukan bertujuan semata-mata untuk kesembuhan! Buktinya Yesus mengecam kota-kota yang tidak bertobat walau Ia melakukan banyak mukjizat (Mat. 11:20). Mukjizat kesembuhan dari penyakit justru harus dimanfaatkan untuk bertobat.

2. Orang lumpuh disembuhkan (ay. 17-26) → Keselamatan jiwa menjadi fokus utama dibandingkan mukjizat

Yesus sedang mengajar dan kuasa Tuhan menyertai-Nya sehingga Ia dapat menyembuhkan orang sakit. Lalu datanglah beberapa orang mengusung seorang lumpuh di atas tempat tidur dan menurunkan orang itu tepat di depan Yesus dengan membongkar atap karena banyaknya orang di situ. Melihat iman mereka, Yesus berkata, “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.

Mendengar perkataan Yesus, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi berpikir dalam hati bahwa Yesus telah menghujat Allah sebab hanya Allah yang dapat mengampuni dosa. Yesus yang mengetahui pikiran mereka segera mengatakan, “Manakah lebih mudah mengatakan: dosamu sudah diampuni atau mengatakan: bangunlah dan berjalanlah?” Yesus kemudian berkata kepada orang lumpuh itu, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!”

Apa yang dikatakan Yesus begitu melihat orang lumpuh di atas tempat tidur itu diletakkan di hadapan-Nya? Ia tidak serta merta mengatakan orang itu untuk bangun tetapi mengampuni dosanya. Aneh, orang lumpuh tersebut membutuhkan kesembuhan tetapi Yesus melihat hal lain yaitu dosa. Bukankah terkadang kita berdoa membutuhkan sesuatu tetapi jawabannya beda? Ketika kita memohon kesembuhan mata Tuhan malah tertuju pada kesalahan-kesalahan kita yang harus dibereskan lebih dahulu.

Allah menganggap serius berkaitan dengan dosa; itu sebabnya Ia mengutus Putra-Nya yang tunggal ke dunia untuk mati disalib. Bagi Yesus, keterpisahan dengan Bapa-Nya dalam waktu yang singkat menjadi tragedi yang tak terbayangkan ketika Ia dijadikan berdosa untuk menggantikan kita, manusia berdosa [2 Kor. 5:21; Ibr. 2:9].

Allah dapat memakai orang tertentu untuk mukjizat kesembuhan seperti Naaman yang berpenyakit kusta diminta oleh suruhan Nabi Elisa untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan supaya tahir (2 Raja 5:10) tetapi untuk urusan dosa Allah sendiri yang turun tangan sebab Ia telah membuat ketetapan tanpa darah suci Yesus tidak akan ada penghapusan dosa.

Berbicara tentang orang lumpuh yang ingin kesembuhan, Yesus melihat ada dosa yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui pengampunan. Apakah dosa menyebabkan penyakit? Tidak selalu! Ilustrasi: kalau seorang anak muda sengaja menceburkan diri dalam pergaulan seks bebas kemudian terkena penyakit HIV, ini memang konsekuensi yang harus diterimanya. Bagaimana dengan orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar kemudian terkena COVID-19 bahkan meninggal, apakah ini hukuman karena dosa?

Kita harus mengetahui dengan jelas konsep dosa dan penyakit. Ketika murid-murid Yesus melihat orang buta sejak lahir, mereka bertanya kepada Yesus apakah kebutaan itu akibat dosa orang itu sendiri atau dosa orang tuanya. Dengan tegas Yesus menjawab bukan dia bukan pula orang tuanya tetapi karena pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (Yoh. 9:1-3).

3. Lewi pemungut cukai mengikuti Yesus (a. 27-32) → Kekayaan dan kesuksesan hidup bukanlah penentu keselamatan

Bagaimanapun juga kita tidak boleh meremehkan kesembuhan dari penyakit. Yesus sendiri menyembuhkan orang- orang sakit dari pelbagai macam penyakit tetapi prioritas-Nya ialah keselamatan jiwa manusia. Pandemi COVID-19 cukup menggetarkan karena kita seakan-akan dekat dengan kematian bahkan berdampak pula pada perekonomian. Manusia boleh menganalisa mengunakan Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats (SWOT) lalu mengatakan bahwa di dalam peristiwa apa pun selalu ada peluang tetapi kenyamanan dan kesuksesan hidup tetap perlu disertai kewaspadaan.

Ada quote dari orang kaya raya mengatakan “Ketika kamu miskin belum sukses, semua kata bijakmu terdengar seperti kentut, tetapi ketika kamu kaya dan sukses kentutmu terdengar sangat bijak dan menginspirasi”. Bukankah hal ini terjadi pula dalam pelayanan? Ketika orang kaya sebagai donatur besar berbicara semua akan diam tidak berani membantah dan setiap gerakannya menjadi perhatian? Namun quote ini berbeda dengan Firman Tuhan.

Tahukah bagaimana Lewi, pemungut cukai, dipanggil Yesus? Cuma dengan perkataan singkat “ikutlah Aku!”

Mengapa pemungut cukai berkonotasi jelek, dianggap sebagai orang berdosa? Apa salahnya, bukankah sebagai penagih pajak dia ditugaskan oleh pemerintah? Pemungut cukai lain yang terkenal ialah Zakheus. Apa pengakuan Zakheus setelah menerima Yesus di rumahnya? Dia memberikan setengah dari miliknya kepada orang miskin, mengembalikan empat kali lipat kepada orang yang telah diperasnya (Luk. 19:9-8).

Konotasi jelek apa yang menempel pada diri seorang pemungut cukai?

  • Sama sekali tidak mau menerima/mendengarkan nasihat orang walau telah diingatkan empat mata kemudian oleh Dia sama seperti orang yang tidak mengenal Allah (Mat. 18:15-17).
  • Hanya mengasihi orang yang berbuat baik kepadanya (Mat. 5:44,46).
  • Suka memeras (nafkah) orang lain.

Namun ada pemungut cukai yang bertobat, ketika datang ke Bait Allah dia berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit. Dia bahkan memukul diri dan mengaku sebagai orang berdosa (Luk. 18:13). Justru dalam keadaan seperti inilah dia dibenarkan oleh Allah.

Lewi, pemungut cukai ini, tidak lumpuh atau berpenyakit kusta tetapi letak kesalahannya ialah dia mengandalkan kenyamanan hidup dan kekayaannya. Untungnya dia sadar lalu meninggalkan semuanya dan pergi mengikut Yesus.

Aplikasi: hendaknya kita sadar bahwa kekayaan bukanlah penentu keselamatan tetapi yang menjadi penentu ialah “ikut Yesus dan pikul salib” (Luk. 9:23) bukan “ikut Aku, kamu menjadi kaya dan hidupmu sukses”. Kalau kita diberkati selama mengikut Tuhan, ini hanyalah dampaknya. Kita harus memikul salib sengsara/penderitaan oleh sebab penyangkalan diri seperti dialami oleh Rasul Paulus yang dipenjara, dikejar-kejar mau dibunuh dll. tetapi dia tetap menggebu-gebu mengabarkan Injil salib Kristus.

4. Hal berpuasa (ay. 33-39) → Perbuatan baik tidak menyelamatkan

Cerita ini diakhiri dengan omelan orang-orang Farisi terhadap murid-murid Yesus yang makan-minum sementara murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi sering puasa (Luk. 5:35). Sesungguhnya Yesus tidak menolak ajaran puasa bahkan Ia mengajarkan puasa (Mat. 6:16). Masalahnya, orang Farisi suka memamerkan perbuatan baik dan puasanya – bukan perampok, bukan orang lalim, bukan penzina, bukan seperti pemungut cukai, puasa dua kali seminggu dst. Padahal perbuatan baik tidak menyelamatkan (Ef. 2:8) walau pertobatan ditandai dengan perbuatan-perbuatan baik. Kita diselamatkan oleh sebab iman kepada Kristus.

Apa respons Yesus terhadap omelan mereka? Ia memberikan perumpamaan berupa sindiran pedas bahwa kain dari baju baru tidak cocok ditambalkan pada baju tua karena baju barunya akan koyak (ay. 36-39). Ini merupakan perbuatan sia-sia. Juga anggur baru harus disimpan dalam kantong baru bukan kantong kulit tua.

Pengajaran Yesus tentang puasa tidak dapat diterima oleh orang Farisi karena mereka menggunakan konsep hukum Taurat sedangkan Yesus menggunakan konsep penggenapan hukum Taurat yaitu Injil. Mereka tidak dapat menerima ajaran Yesus dengan cara pikir hukum Taurat. Untuk itu pola pikir mereka harus diubah/diganti agar dapat menerima konsep yang ditawarkan Yesus.

Aplikasi: kita tidak boleh terus menoleh ke belakang dan memandang ajaran lama lebih baik, lebih rohani kemudian menolak pencerahan Firman yang berkembang bahkan tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan gereja. Jika demikian, kita tidak akan dapat menikmati “anggur” pengajaran baru sebab kita terus fokus dengan pola pikir ajaran yang lama. Jangan pula bertindak seperti orang Farisi yang lebih mengedepankan kebaikan daripada iman kepada Kristus!

Biarlah Firman Tuhan membarui pola/cara pikir kita bahwa mukjizat bukanlah tanda pertobatan tetapi dipakai Yesus sebagai sarana untuk bertobat. Ia lebih mementingkan keselamatan jiwa daripada mukjizat dan kesuksesan maupun kekayaan bukanlah penentu keselamatan. Juga perbuatan baik kita tidak menyelamatkan sebab keselamatan kita peroleh karena kasih karunia-Nya semata. Dengan demikian tidak ada sesuatu apa pun dapat kita banggakan selain kurban Kristus yang telah menyelamatkan kita. Amin.