TUHAN YESUS KRISTUS ADALAH ANAK ALLAH
(Roma 1:4)


Lemah Putro, Minggu, 12 April 2020
Pdt. Paulus Budiono


Shalom,

Lazimnya kita mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” kepada seseorang yang merayakan hari kelahirannya tetapi sadarkah kita mengucapkan “Selamat Natal” untuk merayakan hari ulang tahunnya Yesus? Kita juga mengucapkan “Selamat Paskah” untuk merayakan hari kebangkitan-Nya? Yakinkah semua orang tahu apa yang dimaksud dengan Natal dan Paskah itu? Rasul Paulus dengan lantang menyatakan bahwa la yang dibangkitkan dari antara orang mati adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita (Rm. 1:4).

Pada hari Jumat Agung kita sudah mendengar tiga terdakwa yang tergantung di atas kayu salib sedang menghadapi kematian. Dua terdakwa dihukum setimpal dengan perbuatannya tetapi terdakwa ketiga (Yesus) dijatuhi hukuman tanpa keadilan. Kepala pasukan berkewajiban menunggu hingga mereka menemui ajal. Tak disangka-sangka begitu Yesus putus nyawa, kepala pasukan Romawi berseru, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah.” (Mat. 27:54; Mrk. 15:39)

Kepala pasukan mengakui Yesus adalah Anak Allah setelah Ia mati sementara Rasul Paulus menyatakan Yesus adalah Anak Allah setelah Ia bangkit dari kematian. Mana yang dipilih? Dua-duanya tidak dapat dipisahkan sebab kebangkitan terjadi karena adanya kematian. Dengan kata lain, tidak mungkin ada kebangkitan tanpa kematian.

Dengan membaca Alkitab kita akan menemukan betapa pentingnya Nama Anak Allah ini. Sebenarnya kepala pasukan tidak begitu mengenal Yesus; dia hanya mengamati proses awal penyaliban Yesus hingga mati-Nya yang berlangsung selama 6 jam. Demikian pula dengan Saulus/Paulus, dia melihat cahaya terang dari langit (Yesus yang bangkit) dalam perjalanan menuju Damsyik. Dia buta selama tiga hari dan dicelikkan matanya oleh Ananias atas perintah Tuhan. Saulus kemudian bertobat dan dibaptis. Ia tinggal beberapa hari bersama muid-murid dan seketika itu juga ia memberitakan Yesus adalah Anak Allah di rumah-rumah ibadat (Kis. 9:1-20).

Sebenarnya Perjanjian Lama telah menubuatkan tentang Anak Allah yang tercantum dalam Kitab Mazmur 2:7, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Kemudian Perjanjian Baru menulis tentang Yesus, Anak Allah, setelah kematian dan kebangkitan-Nya dalam empat Injil: Injil Matius (60–65 M) ditulis di Yudea; Injil Markus (55–65 M) ditulis di Roma; Injil Lukas (60 M) ditulis di Kaesaria; Injil Yohanes (85-90 M) di Efesus. Contoh mereka yang mengaku Yesus adalah Anak Allah ialah: Yohanes Pembaptis (Yoh. 1:32-34), Natanael (Yoh. 1:49), Petrus (Mat. 16:15-16), Marta (Yoh. 11:20-27) bahkan roh jahat (Mrk. 5:1-7), Iblis (Mat. 4:3,6) dst. Bukankah dua atau tiga saksi atas Nama Tuhan sudah menjadi bukti yang cukup kuat (Mat. 18:20)?

Kepala pasukan dan Saulus/Paulus menyatakan pribadi yang sama yaitu Yesus adalah Anak Allah hanya dalam posisi beda. Kepala pasukan mengakuinya setelah Yesus mati dan dicatat dalam tiga Injil sementara Paulus mengakuinya ketika Yesus sudah bangkit.

Apa kaitan pengakuan Yesus, Anak Allah, setelah kematian dan kebangkitan-Nya? Suatu wasiat (janji Yesus) baru sah kalau pembuat wasiat (Yesus) telah mati (Ibr. 9:16-17). Seandainya Yesus tidak bangkit, tujuh kalimat Yesus di atas salib akan sia-sia dan perayaan Paskah yang kita rayakan dari tahun ke tahun tidak ada artinya.

Introspeksi: tulisan tentang Yesus adalah Anak Allah telah lewat ribuan tahun, masihkah kita memercayainya? Kalau kita percaya, mengapa kita tidak berani menyaksikan Yesus adalah Anak Allah bukan sekadar menyebut Tuhan secara umum. Jelaskan bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Yesus yang tersalib (Kis. 2:36); memang untuk ini kita harus siap menghadapi konsekuensinya.

Kepala pasukan pasti mengerti hukum dan peraturan namun berani mengambil risiko mengakui Yesus adalah Anak Allah sebab dia percaya janji pengampunan Yesus berlaku dan digenapi. Tidak mungkin manusia biasa dapat memberikan janji bersifat kekal yaitu tinggal di Firdaus! Ternyata sebelum disalib, Yesus pernah mengatakan Anak Manusia diberi hak (berkuasa) mengampuni dosa (Mat. 9:6a). Pengampunan Yesus melampaui segalanya seperti dialami oleh penjahat di sebelah Yesus yang seharusnya mati tetapi mendapat keselamatan karena pengampunan dari Anak Allah yang diakui oleh Bapa di Surga.

Kepala pasukan juga menyaksikan perkataan Yesus memberikan pengharapan dan penyatuan dalam keluarga Allah seperti terjadi pada ibu-Nya (Maria) dan murid yang dikasihi-Nya (Yohanes). Dalam pelayanan Yesus sebelum disalib, kaum keluarga-Nya berencana mengambil Dia dari kerumunan orang banyak karena menganggap Ia tidak waras lagi (Mrk. 3:21). Ibu dan saudara-saudara-Nya berdiri di luar tidak dapat masuk kemudian merasa berhak mereka menyuruh orang memanggil Dia (ay. 31). Apa jawab Yesus? “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku? Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya dan berkata: “Ini ibuku dan saudara-saudara-ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (ay. 33-35)

Di atas salib pula terjadi penyatuan keluarga besar Allah – bangsa kafir yang dahulu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel, tidak mendapat bagian dalam ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan, tanpa Allah dan “jauh” telah menjadi “dekat” oleh darah Kristus (Ef. 2:12-13). Kita, bangsa kafir, mendapat janji bukan lagi orang asing dan pendatang melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota keluarga Allah (ay. 19).

Selain itu kepala pasukan mendengar dengan jelas seruan Yesus dengan suara nyaring, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34) juga “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk. 23:46)

Ini membuktikan bahwa sebagai Anak Allah, Yesus hanya berseru dan memercayakan diri kepada Bapa-Nya bukan kepada orang lain.

Waktu Yesus ditangkap dan diperhadapkan pada imam besar Kayafas, di situ berkumpul pula ahli-ahli Taurat dan tua-tua. Imam-imam kepala dan seluruh Mahkamah Agama mencari kesaksian palsu/dusta supaya Yesus dapat dihukum mati (Mat. 26:57-62). Yesus tetap bungkam tidak merespons semua tuduhan yang ditujukan kepada-Nya hingga Kayafas bertanya, “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami apakah engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak?” Saat itu pula Yesus menjawab, “Engkau telah mengatakannya…” (ay. 63-64)

Justru jawaban Yesus ditunggu-tunggu oleh ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala yang sangat membenci-Nya. Pengakuan Yesus sebagai Anak Allah membuat-Nya dihukum mati dengan disalib. Bila mereka membunuh Yesus karena kebencian, di pihak Allah kematian Yesus malah menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa Ia adalah Anak-Nya. Salib menjadi taruhan-Nya ketika Yesus mengaku sebagai Anak Allah. Allah sendiri tidak mungkin mati tetapi Yesus – Sang Firman – menjadi manusia/daging dan dapat mati untuk menebus dosa manusia.

Aplikasi: bila kita percaya kepada Yesus yang telah mati bagi kita, kita diberi kuasa menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Hendaknya kita meneladani sikap Yesus dengan belajar tidak mudah tersulut emosi ketika dituduh dan difitnah. Percayalah bahwa Yesus bangkit dari kematian dan janji-Nya digenapkan. Jangan bersikap seperti dua murid Yesus yang bermuram durja dalam perjalanan ke Emaus karena tidak percaya Yesus sudah bangkit. Juga kesaksian beberapa perempuan tentang kebangkitan Yesus tidak dipercaya (Luk. 24:13-27).

Paulus sangat sadar akan apa yang telah diperbuatnya, dia mengakui sebagai orang paling berdosa karena menganiaya pengikut-pengikut Yesus dan sudah sepatutnya mendapat hukuman setimpal tetapi beroleh kasih karunia pengampunan dari-Nya (1 Tim. 1:12-15).

Sama seperti kepala pasukan yang berani mengambil risiko dihukum menurut peraturan Romawi, Saulus yang kemudian lebih terkenal dengan nama Paulus juga menghadapi konsekuensi ketika memberitakan Yesus adalah Anak Allah tanpa sembunyi-sembunyi segera setelah dia bertobat (Kis. 9:20). Mindset Paulus berubah total, membuat bingung orang-orang Yahudi (ay. 21-22). Dia yang sebelumnya menganiaya pengikut-pengikut Yesus berubah menjadi begitu bersemangat memberitakan Anak Allah yang hidup. Keadaan menjadi berbalik, kini dia menjadi incaran orang-orang Yahudi untuk dibunuh (Kis. 9:23). Paulus menjadi alat pilihan Tuhan (Kis. 9:15) yang militan dan mengalami banyak penderitaan demi Nama-Nya (2 Kor. 11:23-28).

Kalau kita dibangkitkan bersama dengan Kristus, mindset kita juga diubah mengarah pada perkara-perkara di atas (Kol. 3:1-2) sama seperti Paulus yang memutuskan tidak mau mengetahui hal lain kecuali Yesus tersalib (1 Kor. 2:2). Kematian Yesus disalib menjadi landasan Ia diakui sebagai Anak Allah.

Terbukti kematian Yesus memberikan berkat banyak kepada kita antara lain: kita yang berdosa diperdamaikan dengan Allah, dibenarkan oleh darah-Nya, diselamatkan dari murka Allah dan bermegah dalam Allah (Rm. 5:6-11). Bahkan kita dijadikan serupa dengan gambar Yesus supaya Ia menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Kita yang dipanggil oleh Allah, dibenarkan dan dimuliakan oleh-Nya (Rm. 8:28-30). Jelas ada progres/kemajuan dalam pengikutan kita kepada Yesus.

Setelah kematian martir Rasul Petrus (64 M) dan Rasul Paulus (67 M) oleh kaisar Nero yang jahat, Rasul Yohanes menulis Injil Yohanes agar kita percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan oleh iman kita beroleh hidup dalam Nama-Nya (Yoh. 20:30-31).

Pertanyaan: maukah kita mengakui Yesus adalah Anak Allah yang hidup dengan segala konsekuensinya?

Tahukah yang dapat mengalahkan dunia ialah mereka yang percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah (1 Yoh. 5:5)? Sebaliknya, barangsiapa tidak percaya kepada Allah, ia membuat Allah menjadi pendusta karena tidak percaya akan kesaksian Allah tentang Anak-Nya (ay. 9-10). Kesaksian Allah ialah Ia memberikan hidup kekal di dalam Anak-Nya. Jadi, bila kita percaya kepada Nama Anak Allah, kita memiliki hidup kekal (ay. 13).

Rasul Paulus mengingatkan Timotius muda untuk berani memberitakan Firman baik atau tidak baik waktunya, menyatakan apa yang salah, menegur dan menasihati dengan segala kesabaran dan pengajaran (2 Tim. 4:2).

Marilah kita memberitakan Yesus yang bangkit dan Ia adalah Anak Allah yang berkuasa memberikan kemenangan atas dunia. Ia juga mengabulkan doa kita yang seturut kehendak-Nya (1 Yoh. 5:14-17).

Perhatikan, Yesus mati agar kita beroleh hidup karena tidak lagi bermusuhan dengan Allah. Kebangkitan-Nya membuat kita hidup di dalam kebenaran untuk tidak hidup sembrono. Tujuan hidup kita ialah Yerusalem baru, untuk itu kita harus mematikan (perbuatan) daging sebab daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1 Kor. 15:50). Yesus melarang para murid-Nya memberitahukan kepada siapa pun bahwa Ia Mesias, Anak Allah yang hidup sebab saat itu Ia belum mengalami kematian (Mat. 16:15-16,20). Kini Ia telah bangkit dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa (Kol. 3:1), kita yang masih hidup diberi tugas oleh-Nya untuk memberitakan Siapa dia. Bersediakah kita bersaksi dan memberitakan Yesus, Anak Allah yang hidup? Amin.

 

Video ibadah ini dapat disimak di Ibadah Minggu Paskah GKGA - 12 April 2020 - Pdt. Paulus Budiono.