BE ONE IN CHRIST

Kamis, 19 Desember 2019
Pdt. Evendy Tobing

Shalom,

Tema “Be One in Christ” menyiratkan seakan-akan gereja Tuhan belum bersatu diilustrasikan seperti gambar Yesus yang terbuat dari kumpulan foto umat Tuhan yang merapat menjadi satu sehingga gambar Yesus tampak nyata. Sebaliknya, jika foto orang-orang tersebut renggang maka gambar Yesus makin kabur.

Apa nasihat Firman Tuhan yang terdapat dalam Surat Filipi 2:1-11 berkaitan dengan kesatuan? “Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan Kasih, ada persekutuan Roh, ada Kasih mesra dan belas kasihan,…hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;….Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan” bagi kemuliaan Allah Bapa!”

Jujur, dapatkah kita dengan aneka ragam latar belakang (budaya, suku, sosial, ekonomi, pendidikan, rohani dst.) bersatu dalam hati dan pikiran, dalam kasih, jiwa, dan tujuan? Apakah mudah bagi suami yang lebih menggunakan pikiran bersatu dengan istri yang menggunakan perasaan? Dapatkah keluarga sebagai anggota masyarakat paling kecil dengan karakter beda-beda hidup bersatu? Mampukah orang berpendidikan tinggi menghormati mereka yang tidak berpendidikan?

Kita tidak boleh pesimistis, yakinlah bahwa apa yang tidak mungkin bagi manusia mungkin bagi Allah (Luk. 18:27). Tuhan akan memungkinkan kita melakukan tindakan: tidak mencari kepentingan sendiri, tidak mencari pujian, menganggap orang lain lebih utama dari diri sendiri, tidak hanya memerhatikan kepentingan sendiri.

Perhatikan, hanya di dalam Kristus Yesus kita dapat disatukan. Bagaimana kita menjadi satu di dalam Dia?

 Di dalam Kristus ada nasihat, penghiburan kasih, persekutuan Roh, kasih mesra dan belas kasihan. Kita bertumbuh dewasa di dalam Dia.

Apa yang terjadi pada jemaat Korintus menjadi pelajaran bagi kita. Mereka memiliki segala-galanya – kekayaan dan karunia (1 Kor. 1:5-9) tetapi justru mengalami perpecahan (ay. 10-12). Mengapa? Karena mereka tidak bertumbuh di dalam Kristus (1. Kor. 3:1-4). Mereka tidak dapat melihat perbedaan – kelebihan dan kelemahan – tetapi merasa diri sendiri lebih dari yang lain seperti sifat anak kecil yang mempunyai ego sangat tinggi.

Sebelum berpisah dengan para murid-Nya untuk disalib, Yesus mengatakan, “Akulah pokok anggur yang benar..tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu…” (Yoh. 15:1-8) Yesus mengatakan “tinggallah di dalam Aku” hingga tujuh kali padahal Ia akan berpisah dengan mereka. Yang dimaksud dengan “Tinggal di dalam Kristus” ialah relasi intim bersama-Nya.

Jelas terjadinya perpecahan di dalam gereja disebabkan oleh karena jemaat tidak tumbuh dewasa rohani. Orang dewasa rohani tidak ditentukan oleh lamanya dia mengikut Yesus tetapi berapa besar imannya tumbuh – dia tidak menggantungkan orang lain tetapi bertemu dengan Tuhan tiap hari dalam doa dan pembacaan Firman sehingga terjadi kesatuan sebab adanya hubungan erat dengan-Nya. Perhatikan, bila kita dekat dengan Tuhan, kita akan dekat dengan istri dan anak-anak; atasan akan dekat dengan bawahan. Faktanya, banyak keluarga Kristen menjadi pelayan Tuhan dan sangat aktif mengerjakan pelayanan tetapi kondisi rumah tangganya kocar-kacir karena masing-masing tidak ada kontak dengan Tuhan. Tak jarang “hamba Tuhan” melayani untuk perut (Flp. 3:19). Seharusnya hamba Tuhan memosisikan diri sebagai murid yang setiap hari dipertajam pendengarannya oleh Dia (Yes. 50:4).

 Menilai dengan penilaian Kristus (2 Kor. 5:16-17).
Cara menilai kita harus diubah. Ketika Petrus bertanya kepada Yesus berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang berbuat dosa, Yesus memberikan perumpamaan tentang raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Ada hamba berutang 10 ribu talenta dan tidak mampu melunasinya. Hati raja tergerak oleh belas kasihan lalu membebaskan dan menghapuskan utangnya. Ketika keluar, hamba ini bertemu dengan hamba lain yang berutang 100 dinar kepadanya. Hamba ini tidak membebaskan utang yang nilainya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan utang dia kepada raja tetapi malah menangkap dan mencekik kawannya (Mat. 18:21-35).

Bukankah Allah menunjukkan Kasih-Nya dan Kristus mati untuk kita ketika kita masih berdosa (Rm. 5:6)? Mengapa saat teman kita lemah dan berbuat kesalahan, kita tidak ingat akan ayat ini tetapi langsung menghakimi dia? Seandainya Tuhan menilai kita seperti kita menilai seseorang, tak seorang pun dari kita lolos dari hukuman kebinasaan. Jadi, kita sulit bersatu sebab kita suka mem-bully orang yang lemah padahal Tuhan telah mengampuni kita justru di saat kita berada dalam kondisi paling lemah oleh karena dosa.

Mengikuti teladan Kristus dengan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus (Flp. 2:5). Kita harus memiliki pikiran Kristus, apa yang terdapat dalam pikiran-Nya? Ia meminta kita belajar dari-Nya sebab Ia lemah lembut dan rendah hati (Mat. 11:29).

Apa bukti Yesus rendah hati?
- Mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri dan taat sampai mati, mati di kayu salib.
Yesus adalah Allah dan tidak pernah berhenti menjadi Allah; bahkan dalam keadaan Manusia pun Ia mampu mengadakan mukjizat. Namun Ia mengosongkan diri (gnosis) dan mengambil rupa seorang hamba dalam kehinaan mulai dari kelahiran (di palungan tempat makan ternak; Yes. 1:3) hingga kematian-Nya (disalib bagaikan penjahat kelas kakap). Dari persembahan sepasang burung tekukur yang dipersembahkan Maria-Yusuf waktu penahiran bayi Yesus dalam menaati hukum Taurat menunjukkan mereka dari keluarga miskin. Itu sebabnya orang Yahudi tidak mengakui Yesus sebagai Mesias sebab mereka tidak dapat menerima kenyataan Yesus seperti itu.

Ketika seorang ahli Taurat mau mengikut Yesus, Ia mengatakan bahwa Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:19-20). Mengapa Ia “miskin”? Supaya kita menjadi kaya (2 Kor. 8:9). Sesungguhnya kemiskinan terdahsyat ialah ketika kita hidup sia-sia dalam dosa.

- Rela melepaskan hak-Nya untuk menyelamatkan manusia.
Yesus yang omnipotent/mahakuasa membatasi diri (gnosis) menjadi manusia yang mengalami pencobaan (haus, lapar, lelah dll.) tetapi bedanya Ia tidak berdosa.
Kematian Yesus sangatlah unik sebab dilakukan dengan penuh kerelaan dan kesadaran untuk mati supaya kita hidup. Ia mati terkutuk supaya kita lepas/bebas dari kutuk.
Patron/teladan Yesus menempel pada Paulus yang rela melepaskan haknya agar pemberitaan Injil Kristus tidak terhalang (1 Kor. 9:5-6,12,15a,22).

Aplikasi: teori gnosis harus terpancar dari kita ketika hak kita diambil – kita melepaskan hak demi pemberitaan Injil. Kerendahan hati Yesus harus menjadi patron kita. Selama kita masih minta dihargai, disanjung sehingga mudah tersinggung jika hak kita terganggu, selama itu pula kesatuan tidak akan terjadi.

Apa yang terjadi ketika Yesus merendahkan diri serendah-rendahnya? Ia ditinggikan oleh Allah dan menerima:
- Hormat → “nama di atas segala nama”
- Kuasa → “semua bertekuk lutut di hadapan-Nya dan semua lidah mengaku, “Yesus Kristus adalah Tuhan”

Kalau kita bersedia merendahkan diri seperti Yesus, kita tidak perlu mencari promosi dan popularitas untuk ditinggikan. Sebagai hamba, sudah selayaknya kita melakukan apa yang harus kita lakukan. Yosua, hamba Musa, tidak mencari popularitas maka Tuhan meninggikan namanya.

Kesatuan dalam Kristus Yesus terjadi bila kita bertumbuh di dalam Dia, memiliki pikiran-Nya (perspektif) dan meneladani Dia (tindakan). Bila semua orang percaya bersatu, Tuhan akan meninggikan kita dan kesatuan kita akan memancarkan bau harum bagi mereka yang tercerai-berai karena belum/tidak mengenal Dia untuk hidup dalam persatuan dan kesatuan dengan kita. Amin.