Keubahan Dengan Meneladani Kristus Dalam Hubungan Tuan dan Hamba

Pdm. Wahyu Widodo, Johor, 9 Desember 2018

Shalom,

Sudah lazim terlihat adanya jurang pemisah antara tuan dan hamba karena adanya perbedaan yang mendasar – seorang hamba merasa hina dan di bawah perintah tuannya sementara tuan merasa berkuasa dalam segala hal atas hambanya. Hal seperti inilah yang sering memicu terjadinya gap di antara keduanya.

Keberadaan tuan maupun hamba bukanlah suatu pilihan seseorang tetapi merupakan panggilan hidup yang tidak dapat dihindari. Baik tuan maupun hamba harus bertanggung jawab dalam posisinya masing-masing untuk mendatangkan manfaat bersama dalam kebaikan. Demi kelang-sungan hubungan baik antara hamba dan tuan, seorang hamba haruslah melaksanakan semua kewajiban yang telah menjadi tanggung jawabnya dengan tulus hati.

Apa nasihat Firman Allah berkaitan dengan hamba dan tuan? Efesus 6:5-9 menuliskan, “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar dan dengan tulus hati sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu bahwa setiap orang, baik hamba maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka.”

Bagaimana kedudukan seorang budak/hamba maupun tuan yang memerintah dengan kuasa-nya? Alkitab menunjukkan bahwa posisi budak/hamba maupun tuan tidak harus berlaku seumur hidup. Contoh: Yusuf dijual sebagai budak dan hanya dihargai dengan dua puluh syikal perak. Semua harkat martabat hidupnya lenyap begitu saja; dia tidak lagi memiliki sedikitpun kehendak yang dapat dipertahankan – semuanya berada di bawah kuasa pembeli yakni orang Ismael (Kej. 37:27-28;36). Akan tetapi perjalanan hidup Yusuf sebagai budak tidak berlaku sepanjang hidup. Secara berangsur-angsur kehidupan Yusuf mengalami perubahan demi peru-bahan. Dia tidak lagi menjadi hamba yang setia kepada tuannya tetapi menjadi penguasa yang dipercaya dalam segala hal bahkan memberikan keputusan-keputusan dalam pemerintahan negeri Mesir. Yusuf, seorang budak Ibrani, telah dipercaya menjadi orang kedua dalam pemerintahan Firaun, raja Mesir (Kej. 39 – 41). Peristiwa yang terjadi dalam diri Yusuf menun-jukkan dengan jelas bahwa Allah berperan dalam diri Yusuf untuk mewujudkan rencana-Nya yang agung dalam usaha menyelamatkan banyak jiwa di negeri Mesir dan sekitarnya.

Harus diakui, untuk memahami hubungan antara hamba dengan tuan dalam kehidupan nyata tidaklah mudah di masa lalu hingga masa kini. Contoh:

  • Saudara-saudara Yusuf curiga terhadap uang dalam karung mereka dan kekuasaan di hadapannya. Mereka takut akan jebakan untuk dijadikan budak di Mesir (Kej. 43:17-18).
  • Yesus mengajar dalam perumpamaan tentang anak terhilang untuk menjelaskan bagaimana keinginan materi dapat menghancurkan kehidupan seseorang dari posisi anak menjadi budak tidak berguna ( Luk. 15:17-18).

Sebenarnya, keberadaan budak/hamba dalam rencana Allah bertujuan mendatangkan kese-lamatan dan keubahan yang lebih baik. Juga kedudukan seorang budak tidak berlaku selama-nya, ada masanya (tahun Yobel) mereka bebas dan kembali berkumpul dengan keluarganya seperti tertulis dalam Imamat 25:39-41, “Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu sehingga menyerahkan dirinya kepadamu maka janganlah memperbudak dia. Sebagai orang upahan dan sebagai pendatang ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia harus bekerja padamu. Kemudian ia harus diizinkan keluar dari padamu, ia bersama-sama anak-anaknya, lalu pulang kembali kepada kaumnya dan ia boleh pulang ke tanah milik nenek moyangnya.”

Oleh karena itu tidak berkelebihan jika para hamba dituntut untuk taat dengan rasa takut dan gentar terhadap tuannya. Sedangkan para tuan dituntut untuk bertindak bijak terhadap hamba-nya tanpa kekerasan. Keberlangsungan hubungan yang baik antara tuan dan hamba men-ciptakan suasana kekeluargaan yang harmonis mencakup seisi rumah dan hamba yang tinggal di dalamnya. Tak menutup kemungkinan hamba memiliki martabat lebih baik dan menjadi teman sekerja bagi tuannya. Contoh: Filemon diminta dengan hormat oleh Paulus untuk mene-rima kembali Onesimus bukan sebagai hamba tetapi sebagai saudara kekasih dan teman seiman (Fil. 1:16-17).

Kristus menjadi pusat keteladanan sebagai Hamba yang memiliki ketaatan penuh kepada Bapa-Nya (Flp. 2:8). Ia mengemban tugas besar dari Bapa dan menyelesaikan amanat agung Bapa dalam misi penyelamatan umat manusia. Pekerjaan penyelamatan manusia ini telah dikerjakan-Nya dengan rasa takut dan gentar namun diselesaikannya dengan sempurna. Semua tugas telah dituntaskan-Nya dalam kasih Bapa yang melampaui segala dosa pelanggaran manusia. Bahkan Ia mengangkat kita menjadi sahabat-Nya bukan lagi sebagai hamba untuk mengetahui semua rencana Allah yang disampaikan kepada-Nya (Yoh. 15:13-17).

Seorang hamba diperintahkan untuk menaati tuannya dengan rasa takut dan gentar seperti kepada Kristus; maksud tujuannya ialah supaya bertanggung jawab menyelesaikan tugas dengan tulus iklas dan dalam kasih. Sementara tuan-tuan juga harus berbuat hal sama dan menjauhkan ancaman mengingat Tuhan tidak memandang muka (hamba atau tuan). Dengan demikian, baik hamba maupun orang merdeka yang berbuat baik akan menerima balasan dari Tuhan.

Tuhan kita tidak pilih kasih dan perintah-Nya ialah untuk saling mengasihi tanpa membedakan status agar tetap terikat teguh sebagai keluarga kudus yang telah dibebaskan dari kegelapan untuk hidup dalam terang-Nya (Ef. 5:6-10). Amin.