Rendahkan Dirimu Seorang Kepada Yang Lain!

Pdt. Paulus Budiono, Minggu, Lemah Putro, 4 November 2018

Shalom,

Memang Tuhan mengerti dan peduli kepada kita walau tak seorang pun memerhatikan kita namun sungguhkah kita dapat hidup sendirian tanpa pertolongan orang lain? Perlu diketahui, manusia adalah makhluk sosial, apa pun posisinya entah lajang/tidak menikah atau janda/duda tercukupi ekonominya tetap membutuhkan kontak dan komunikasi dengan orang lain. Bagai-mana sikap dan kondisi kita sebagai orang Kristen? Apakah kita hidup egoistis selalu berpusat pada diri sendiri? Menikmati berkat pemeliharaan dan pengayoman sendiri tanpa peduli orang lain? Apa yang Tuhan inginkan kita bersikap dalam hubungan sosial/bermasyarakat? Efesus 5:20-21 menasihati, “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.”

Allah mengatakan tidak baik manusia seorang diri saja; itu sebabnya Ia menciptakan laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa) sebagai penolongnya (Kej. 1:27; 2:18). Allah sendiri esa di dalam ketritunggalan-Nya (Kej. 1:26).

Banyak filosofi dunia mengajarkan bagaimana harus bersikap rendah hati agar suami-istri hidup harmonis atau seseorang dapat bergaul baik dalam masyarakat. Namun Alkitab menegaskan kita harus rendah hati satu sama lain di dalam takut akan Kristus. Takut kepada-Nya menjadi dasar kita mampu rendah hati dan memedulikan orang lain; tanpa kasih-Nya, sangat diragukan kita dapat rendah hati untuk mengasihi dan menjadi berkat bagi orang lain. Itu sebabnya Tuhan meminta jemaat Efesus untuk saling rendah hati dalam proses pendewasaan iman bukan “rendah hati” bersifat kekanak-kanakan karena masih ditandai ‘maunya sendiri’.

Harus diakui tidak ada seorang pun dapat sepenuhnya rendah hati; ada batasnya, jika dipo-jokkan akan muncul sifat aslinya. Hanya Yesus menjadi teladan sempurna dalam kerendahan hati dan Ia menawarkan, “…belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat. 11:29)

Kepada siapa kita harus saling rendah hati? Efesus 5:22-33; 6:9 menuliskan suami-istri; orang tua-anak, hamba-tuan harus rendah hati satu sama lain. Jujur, sangatlah tidak mudah untuk mempraktikkan kerendahan hati tetapi percayalah Tuhan dapat memberikan kemampuan bila kita menerima tawaran yang diberikan-Nya untuk dilakukan dengan rasa takut dan hormat kepada-Nya.

Sebelum menjadi pasangan suami-istri, masing-masing berposisikan sebagai individu pemuda dan pemudi yang memiliki harga diri masing-masing. Berapa nilai/harganya? Manusia berasal dari debu tanah yang tidak berharga sama sekali tetapi di tangan Allah mereka bernilai luar biasa seharga pribadi-Nya karena dibentuk menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:27; 2:7).

Introspeksi: apa yang mau kita sombongkan? Harga diri, tingkat senioritas, kekayaan, kepan-daian kita? Ingat, kita dahulu adalah kegelapan tetapi sekarang kita terang di dalam Tuhan sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang (EF. 5:8). Kita menjadi sebagaimana kita ada sekarang semata-mata karena Dia bukan karena kehebatan kita sendiri.

Apa penyebab terjadinya sengketa dan pertengkaran?

  • Kita lupa akan asal usul kita (Kej. 1 – 2) karena jatuh dalam dosa (Kej 3). Suami-istri paling rentan bertengkar; itu sebabnya Rasul Paulus menuliskan agar masing-masing merendah-kan diri satu sama lain sebelum berlanjut kepada pernikahan. Suami bernilai sama dengan istri (seharga debu tanah) sehingga sudah sepatutnya masing-masing menghargai satu sama lain. Jika timbul keinginan untuk mencari-cari kesalahan suami/istri (yang ada rupa Allah di dalamnya), ini sama dengan kita tidak mengenal diri sendiri. Mengapa dunia kini penuh dengan hoaxs dan pernyataanyang menyindir bahkan menjatuhkan pihak lain? Karena manusia tidak mengenal siapa dirinya dan siapa yang menciptakannya.

Mengapa Rasul Paulus mengaitkan Kejadian 2 ketika menuliskan “kita adalah anggota tubuh-Nya” (Ef. 5:30-31)? Mengapa dia mengingatkan agar istri tunduk kepada suami dan suami mengasihi istrinya (ay. 22-23)? Karena ada indikasi istri tidak lagi tunduk kepada suami dan suami tidak lagi mencintai istrinya. Penundukan dan kasih sudah dibatasi dengan syarat, misal: istri mau tunduk sementara suami dapat mengasihi jika pasangan hidupnya meme-nuhi syarat-syarat yang diinginkannya padahal Allah menciptakan Adam dan Hawa tanpa syarat apa pun. Begitu melihat Hawa pertama kali, Adam hanya mengatakan, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.” (Kej. 2:23). Tulang berbicara tentang kekuatan – suami menjadi kuat bila ditopang oleh istri; itu sebabnya jangan melecehkan istri. Daging berfungsi menutupi tulang sehingga tidak terlihat menakutkan tetapi menjadi wanita cantik atau pria yang gagah. Kemudian dilanjutkan “keduanya menjadi satu daging” berarti mereka bernilai sama (dari debu tanah tidak berharga diangkat menjadi bernilai tinggi karena mempunyai gambar rupa Allah) hanya beda fungsi tetapi bertujuan menyatu dan saling melengkapi. Bagaimana kita memperlakukan suami/istri pasangan hidup kita?

Sayang, rencana Allah porak poranda karena ulah si ular yang mempermainkan perkataan yang mirip dengan Firman Allah yang murni. Adam dan Hawa termakan oleh perkataan ular dan melanggar perintah Allah sehingga manusia kehilangan persekutuan dan sifat rendah hati. Buktinya, Adam tidak mau mengaku salah tetapi menyalahkan Hawa; demikian pula Hawa menyalahkan ular (Kej. 3:12-13). Akibatnya, Hawa harus bersusah payah waktu mengandung dan kesakitan waktu melahirkan tetapi dia akan birahi kepada Adam dan Adam akan berkuasa atasnya (ay. 16). Sedang Adam akan bersusah payah mencari rezeki seumur hidup (ay. 17). Bagaimanapun juga Allah tetap mengasihi mereka dan menjanjikan kemenangan dari keturunan mereka (ay. 15) yang dipenuhi dalam diri Yesus yang mati disalib.

Implikasi: dengan adanya saling rendah hati, kemenangan terjadi bagi suami-istri meng-hadapi bujuk rayu Iblis dan antek-anteknya yang berusaha merusak kehidupan nikah. Jangan menolak perintah Allah karena dapat menimbulkan kesombongan – tidak mau mengakui kesalahan tetapi malah menyalahkan orang lain. Bukankah banyak masalah timbul dalam kehidupan nikah karena suami menyalahkan istri yang dianggapnya tidak dapat mengatur keluarga dengan baik sedangkan istri menyalahkan suami yang tidak bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga?

  • Karena hawa nafsu yang saling berperang di dalam tubuh kita.

Yakobus 4:1-3 menuliskan, “Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang (war = berperang) di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu tetapi kamu tidak memperolehnya lalu kamu membunuh; kamu iri hati tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga tetapi kamu tidak menerima apa-apa karena kamu salah berdoa sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.”

Jika timbul pertengkaran, jangan cepat-cepat menyalahkan situasi, kondisi, tempat atau orang lain tetapi periksalah diri sendiri apakah keinginan kita tidak terpenuhi atau ada perasaan iri hati atau kita tidak berdoa atau doa kita salah arah karena untuk memuaskan hawa nafsu. Misal: seorang pria berdoa minta jodoh dan menikah dengan tujuan hanya untuk pelampiasan hawa nafsu seks.

Galatia 5:17-21 menuliskan pelbagai macam keinginan daging yang memicu terjadinya pertengkaran dan perkelahian.

  • Karena kita bersahabat dengan dunia menyebabkan kita bermusuhan dengan Allah (Yak. 4:4-6).

Firman Tuhan mengingatkan agar kita tidak mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya sebab dunia ini sedang lenyap dengan segala keinginannya. Orang yang mengasihi dunia tidak mengasihi Bapa (1 Yoh. 2:15-17).

Kita tidak boleh bermusuhan dengan sesama manusia ciptaan-Nya terlebih menjadi musuh Allah, Sang Pencipta! Ia menentang orang congkak tetapi mengasihani orang yang rendah hati (Yak. 4:6). Tolok ukur kerendahan hati tidak ditentukan oleh suatu budaya tetapi penundukan kita kepada Allah. Selain itu kita harus melawan iblis maka ia akan lari dari kita (ay. 7).

Tunduk paralel dengan rendah hati. Orang yang rendah hati menjadi lawan dari Iblis sementara orang sombong berteman dengannya karena Iblis sejak semula berkarakter sombong bahkan ingin lebih tinggi dari Allah. Perhatikan, kemenangan terjadi pada orang yang rendah hati.

Aplikasi: hendaknya kita belajar saling rendah hati dan tunduk satu sama lain maka kemenangan tersedia di depan kita. Kalau suami/istri sombong, kebahagiaan dalam kesatuan nikah terancam gagal.

Mengapa kita harus taat/tunduk kepada Kristus? Karena Yesus dalam keadaan manusia juga taat kepada Bapa-Nya bahkan rela menderita hingga mati di kayu salib (Flp. 2:6-11). Justru kematiannya disalib mengalahkan Iblis dan kuasa maut (Ibr. 2:9,14-15). Jauh berbeda dengan ukuran kemenangan dari sudut pandang manusia, kita menganggap kemenangan diraih oleh orang hebat yang tak terkalahkan apalagi mati. Rasul Paulus tidak takut mati dan dengan berani ia mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Flp. 1:21)

Yesus menjadi teladan sempurna dalam ketaatan/ketundukan dan menanggung dosa kita semua. Dalam ketaatan pula, Ia telah mempersembahkan doa penuh ratap tangis kepada Bapa dan doa-Nya didengar. Ia menjadi pokok keselamatan bagi semua orang yang taat kepada-Nya (Ibr. 5:7-9).

Introspeksi: doa apa yang kita panjatkan? Apakah doa untuk memuaskan hawa nafsu atau doa untuk keselamatan keluarga dan teman-teman kita yang belum mengenal Tuhan? Dan sejauh mana penundukan/ketaatan dan rendah hati kita kepada Tuhan dan sesama? Apakah harga diri/gengsi kita begitu tinggi sehingga sulit untuk rendah hati? Ingat, Tuhan memberikan Firman-Nya yang dapat dan mampu dilakukan manusia. Harga diri dan keke-rasan hati kitalah yang menjadi penghambat untuk mempraktikkan Firman. Parahnya, kita kemudian mencari jalan keluar sendiri dengan menuruti filosofi-filosofi manusia yang makin memperkeruh masalah yang kita hadapi.

Hendaklah kita masing-masing merendahkan diri betapapun tinggi kedudukan dan popularitas kita. Semua sama di hadapan Tuhan. Teladani Yesus yang mengasihi kita tanpa syarat dengan mengurbankan diri sepenuhnya disalib demi kita. Demikian pula kita harus mengasihi suami/istri/anak tanpa syarat-syarat tertentu. Dengan saling rendah hati dan mengasihi tanpa syarat, sengketa dan perselisihan dapat dihindari dan terciptalah kedamaian dalam kehidupan nikah dan keluarga Allah. Amin.