"Bagi saya, hidup ini tidak berarti apa-apa sebelum saya menyelesaikan perlombaan dan menyelesaikan tugas yang diberikan Tuhan Yesus kepada saya,
tugas bersaksi tentang Injil kasih karunia Allah."
(Kay Warren)
Kay Warren (terlahir Elizabeth Kay Lewis, Februari 9, 1954) adalah seorang penulis Amerika, pembicara Internasional, guru Alkitab dan pemerhati penderita mental. Dia adalah co-founder dari 6 Evangelical Megachurch terbesar di Amerika Serikat, Saddleback Church. Pelayanannya berkantor di Lake Forest, California.
Kay menikah dengan Rick Warren pada tgl. 21 Juni 1975 dan dikaruniai 3 orang anak: Amy, Joshua dan Matthew.
Di tahun 1980, bersama dengan suaminya, Kay mendirikan gereja Saddleback Church di Lake Forest, California. Sejak itu Saddleback bertumbuh menjadi salah satu dari gereja terbesar di Amerika Serikat. Dengan 12 lokasi di California dan 4 lokasi di luar Amerika, gereja ini berkembang sangat cepat dan memiliki ribuan anggota juga lebih dari 200 pelayanan.
Pada tahun 2004, Kay mendirikan sebuah badan yang memerhatikan dan membantu orang-orang yang sakit HIV/AIDS dengan kegiatan pencegahan, pengobatan dan perawatan orang yang terjangkiti penyakit tersebut. Badan itu juga melindungi dan membantu anak-anak yatim piatu.
Pada tanggal 5 April 2013 suatu kejadian sangat mengguncangkan jiwa Kay karena Matthew, putra ketiganya, yang saat itu berusia 27 tahun meninggal bunuh diri dengan menggunakan pistol.
Matthew didiagnosa depresi klinis pada usia 7 tahun kemudian ADHD dan serangan panik. Pada usia 12 tahun, ia mulai memiliki pikiran untuk bunuh diri. “Dia menjalani hidup dengan penyakit mental yang serius dan perasaan ingin bunuh diri kronis terus bertumbuh dan bertumbuh dalam dirinya,” kata Kay. “Saya tidak pernah tahu dari hari ke hari apakah dia akan dapat bertahan hidup. Saya juga benar-benar tidak tahu apakah hari ini dia akan mati. Bertahun-tahun saya hidup dalam ketakutan bahwa dia akan mengambil nyawanya sendiri. Ketika dia benar- benar mengambil nyawanya, mimpi terburuk saya menjadi kenyataan.”
Namun Kay mengatakan bahwa dia dan suaminya masih memegang "keyakinan” bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka. Walaupun mereka tidak lagi tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan apakah mereka dapat bertahan atau tidak mereka memilih untuk menerima keadaan itu dan bersukacita.
"Semuanya tampak begitu kabur,” kenangnya. “Saya hanya ingat bahwa saya berbaring di lantai selama berjam- jam menangis terisak-isak. Ketika segala sesuatu di tubuh saya menyuruh saya untuk tinggal di kamar meringkuk dalam keputusasaan, Tuhan menggendong saya dan terus menggendong saya."
Hari ini Kay Warren menyatakan kegembiraan yang tidak ada hubungannya dengan apa yang telah terjadi. Yang dia tahu, kisah yang dialaminya belum berakhir. "Kisah Matthew tidak berakhir pada 5 April 2013," katanya. "Saya benar-benar 100% yakin bahwa Matthew ada di Surga, di tangan Tuhan, dia aman dan saya akan melihatnya lagi suatu hari nanti. Jadi, saya sekarang bersukacita dan berpengharapan bukan tentang apa yang terjadi di sini tetapi yang akan terjadi kelak."
Penulis buku terlaris ini mengatakan "perjalanan panjang dan menyakitkan" yang dialami keluarganya tidak akan dapat dia lupakan sampai mati. Namun tidak pernah terpikirkan secara manusia bahwa momen kehancuran hati itu justru merupakan panggilannya yang terbesar. Di tahun 2013 itu juga ia mulai terpanggil untuk memerhatikan dan merawat orang-orang yang hidup dengan gangguan jiwa lalu mendirikan Yayasan bernama: The Hope for Mental Health Initiative di Saddleback Church pada tahun 2014.
Terkait dengan panggilannya, Kay mengisahkan pengalaman pribadinya: “Tidak lama setelah putra kami, Matthew, meninggal, saya mendapatkan sebuah penglihatan dalam doa. Saya tidak sering melihat penglihatan; jadi pengalaman itu tidak biasa saya alami. Di dalam penglihatan itu saya melihat worship Center di Saddleback dipenuhi oleh orang-orang yang hidup dengan kelainan mental – depresi, kecemasan, gangguan di tapal batas, kelainan kepribadian, kelainan cara makan, LGBT, schizophrenia – dan banyak lagi kelainan mental yang merupakan ancaman bagi kehidupan seseorang. Setiap orang dalam ruangan itu sepertinya berusaha untuk mencari Tuhan tanpa harus berpura-pura hidup terasa baik-baik saja (menyembunyikan kekurangan yang menimpa dirinya). Beberapa orang menangis, yang lain merangkul salib besar dari kayu, beberapa lagi berdoa, yang lain menawarkan pelukan kepada orang lain tetapi semua merasa aman untuk membawa penderitaan dan kesedihan mereka kepada Allah. Kemudian saya melihat orang tertawa disebabkan karena perbincangan dari mereka yang berjalan di jalan hidup yang sama, berbicara tentang hal-hal yang sama, suka-duka, momen-momen yang penuh kekonyolan dan humor dari mereka yang sama-sama hidup dengan gangguan jiwa. Dalam penglihatan itu saya merasakan mulai timbulnya suatu harapan untuk tidak lagi ada isolasi. Harapan untuk hari-hari yang lebih baik di kemudian hari. Harapan adanya sebuah hubungan dengan orang lain yang benar-benar “mendapatkan” bagaimana rasanya hidup dengan gangguan jiwa. Harapan untuk dapat diterima dan memiliki tempat yang mau menerimanya. Suatu harapan untuk hari ini, untuk esok hari dan hari-hari selanjutnya.
"Saya sepertinya tidak akan pernah melupakan betapa saya kehilangan putra saya dan saya tidak akan pernah berhenti merindukannya," katanya mengenang Matthew, putranya. Namun, Kay Warren mengatakan dia dengan jelas melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam kondisi yang dia anggap sebagai "reruntuhan" dalam hidupnya.
"Apa yang saya lihat selama bertahun-tahun sejak Matthew meninggal ialah perlahan-lahan Tuhan melakukan sesuatu dalam diri saya dan yang terbaik bagi saya. Dia membangun kembali dan memulihkan apa yang telah rusak dalam hidup kita. Kita kemudian perlahan-lahan belajar bagaimana rasanya hidup kembali, berkembang kembali, mengatakan hidup itu baik lagi, keadaan mungkin tampak menghancurkan hidup kita tetapi Tuhan bekerja dalam ketidakberdayaan dan reruntuhan kita."
Menurut National Alliance on Mental Illness, satu dari lima remaja berusia 13-18 tahun hidup dengan penyakit mental yang serius. Keluarga Warren yang ikut mendirikan Gereja Saddleback di Lake Forest, California pada tahun 1980 telah mendorong untuk membawa kesehatan mental ke garis depan pelayanan. Hari ini pelayanan bagi penderita gangguan mental merupakan bagian utama dari inisiatif perawatan gereja.
Kay Warren juga melakukan perjalanan ke seluruh negeri untuk berbicara tentang pengalamannya dan mengadvokasi perawatan dan intervensi dini.
Ketika berbagi cerita tentang Matthew, Kay mengatakan dia tidak dapat menghitung jumlah orang yang datang kepadanya dan berkata, “Anda tahu, kisahku persis kisah Matthew, aku pun pernah sangat depresi dan ingin bunuh diri. Namun mendengar apa yang Anda katakan malam ini dan melihat kehancuran orang-orang yang akan aku tinggalkan jika aku bunuh diri, aku tidak ingin hal itu terjadi pada keluargaku. Mendengar hal itu, saya mendekati mereka dan memeluk mereka. Kami menangis bersama untuk rasa sakit dan penderitaan mereka dan saya menangis lega bahwa ada satu keluarga lagi yang tidak melalui apa yang telah kami alami. Saya benar-benar tidak dapat menghitung dalam 2½ tahun terakhir berapa banyak orang mendatangi saya dan mengatakan bahwa bunuh diri Matthew telah menyebabkan mereka memutuskan untuk tidak mengambil nyawa mereka. Mereka menyaksikan keluarga kami dan melihat kehancuran yang kami alami.”
Kay kemudian menyimpulkan, "Saya benar-benar percaya pada kemampuan Tuhan untuk membawa kebaikan dari kejahatan. Penderitaan yang saya alami sangat menyakitkan tetapi ternyata memberi harapan bagi orang-orang yang akan terselamatkan karena kisah Matthew."
Banyak orang berpendapat bahwa mereka yang menderita gangguan mental adalah orang-orang yang lemah dan mempunyai karakter buruk atau kurang beriman sehingga merasa tabu untuk membicarakannya.
“Gangguan mental adalah suatu penyakit. Apabila Anda mulai mengerti hal ini, Anda akan segera mulai berusaha memperbaiki cacat itu. Apabila seseorang cukup berani untuk berterus terang membicarakannya, pintu-pintu untuk tindakan dan kesembuhan akan terbuka.”
Ia mengatakan sejak suaminya mulai membawa masalah itu kepada jemaat, banyak yang kemudian berani maju ke depan.
Tuhan telah memberinya kekuatan untuk membahas Matthew dan berharap ceramah-ceramahnya akan membawa harapan bagi orang-orang yang sedang mengalami masa kelam.
"Bagi saya, hidup ini tidak berarti apa-apa sebelum saya menyelesaikan perlombaan dan menyelesaikan tugas yang diberikan Tuhan Yesus kepada saya, tugas bersaksi tentang Injil kasih karunia Allah." (Kay Warren)
---o0o---