“Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku…” kata laki-laki itu. “…..katakan saja sepatah kata maka hambaku itu akan sembuh…” katanya dengan penuh keyakinan kepada Yesus, memohon pertolongan untuk hamba yang dikasihinya sedang sakit keras. Ketika mendengar hal itu, Yesus takjub dan berkata kepada mereka yang mengikuti-Nya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah kujumpai pada seorang pun di antara orang Israel.”
Yesus tampak mengagumi iman yang dimiliki laki-laki itu terhadap diri-Nya bahwa apa pun yang dikatakan Yesus pasti terjadi. Laki-laki itu menunjukkan penghargaannya kepada Yesus dan mengakui setiap Firman yang dikatakan-Nya! Dengan jelas dikatakan-Nya bahwa iman seperti itu tidak ditemukan pada seorang pun dari umat Israel, umat-Nya. Siapakah laki-laki yang telah mempesona Yesus itu? Ia adalah seorang Romawi! Ya, seorang kepala pasukan Romawi. Kata “Romawi” memang tidak tertulis dalam Alkitab Bahasa Indonesia tetapi dalam bahasa asing tertulis “centurion” yang berarti kepala pasukan bangsa Romawi yang memiliki 100 anak buah.
Kekaisaran Romawi memang sedang berkuasa atas Israel saat itu. Seizin Tuhan, bangsa Israel dijajah beberapa bangsa asing cukup lama dan lama pula menantikan seorang Mesias yang akan menjadi pahlawan untuk membebaskan mereka, mendirikan kerajaan dan menjadi raja mereka. Mereka selalu ingat zaman keemasan yang pernah mereka alami di zaman Raja Daud dan Raja Salomo dan ingin kembali ke masa-masa itu. Namun karena kedegilan hati mereka juga mereka berpaling pada banyak berhala, Tuhan mengizinkan mereka dikuasai oleh berbagai bangsa.
Sayang, ketika Mesias benar-benar datang, mereka tidak mengenal-Nya atau menerima-Nya bahkan menolak-Nya! Mereka yang telah mempelajari dengan saksama nubuatan-nubuatan tentang Mesias, mengenai tempat di mana Ia akan dilahirkan, tanda-tanda mukjizat yang akan diperbuat, berita kesukaan yang akan disampaikan, kesengsaraan yang akan dialami-Nya, telah menolak-Nya! Mereka menantikan seorang Mesias menurut versi mereka sendiri dan ketika versi mereka yang diharapkan tidak ada pada Yesus, mereka menolak-Nya.
Yesus ditangkap! Seorang murid telah mengkhianati-Nya. Dia bersama-sama imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat telah membuat rencana untuk menangkap-Nya. Tentu saja para rohaniawan itu senang sekali karena mereka telah mencari segala macam cara untuk membunuh-Nya.
Yesus dibawa dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Karena Ia dianggap bertindak melanggar agama mereka, Ia dibawa ke Mahkamah Agama. Ia dibawa ke Pilatus karena tanpa persetujuan pemerintah setempat saat itu, mereka tidak dapat menghukum mati seseorang. Mereka membawa-Nya ke Herodes yang menguasai daerah itu yang kemudian mengirim-Nya kembali ke Pilatus. “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada Orang ini…” kata Pilatus yang bermaksud mau melepaskan Yesus. Pilatus melihat bahwa kebenaran ada pada Yesus yang dibenci oleh kaum-Nya sendiri dan berusaha menjelaskan kepada mereka tentang hal itu. Pilatus bahkan mengatakannya tiga kali untuk meyakinkan mereka (Lukas 23:22) tetapi mereka bukannya sadar tetapi malah berteriak-teriak histeris ingin menghukum dan menyalibkan Dia. Wahai, siapakah Pilatus yang lebih mengetahui kebenaran daripada umat Tuhan dan para rohaniawan? Dia adalah seorang Romawi!
Namun karena suara kebenaran terus ditekan dan ditolak akhirnya suara kebenaran itu terlindas oleh suara kemarahan dan kebencian kepada-Nya dan hukuman mati tetap dijalankan!
Mengapa justru seorang penindas asing lebih dapat melihat kebenaran daripada orang-orang Yahudi yang seharusnya lebih mengenal-Nya? Mereka malah memilih seorang yang nyata-nyata pembunuh untuk dibebaskan daripada melepaskan Yesus, Orang benar, yang datang sebagai Pembebas dan Juru Selamat mereka! Betapa ironisnya! Mereka yang merindukan pembebasan dari penjajahan justru menghancurkan hidup Pembebas-Nya yang dapat membebaskan mereka dari belenggu-belenggu dosa mereka dan memberi mereka kehidupan kekal.
Yesus akhirnya disalibkan! Saat-saat itu merupakan klimaks yang mana Yesus membuktikan kasih-Nya, menderita bagi umat yang dikasihi-Nya dengan penderitaan yang paling berat hingga kematian-Nya. Ketika Ia berseru, “Eloi, Eloi, lamasabakhtani… ?” Ia merasakan ketidakberdayaan-Nya sebagai manusia karena satu-satunya kekuatan yang selalu menyertai Dia selama pelayanan di atas bumi pun telah meninggalkan-Nya. Dalam keadaan yang dipilih-Nya sendiri menjadi manusia sepenuhnya dengan menderita kutukan dosa, Ia tidak lagi memanggil Allah sebagai Bapa-Nya tetapi sebagai Allah-Nya dengan meneriakkan, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Ia selalu bungkam ketika orang mengkhianati, menangkap, menahan, menghina dan memfitnah-Nya; bahkan ketika mereka menampar, meninju dan meludahi-Nya. Mereka mengiring-Nya dari satu pengadilan ke pengadilan lain, merajam-Nya hingga tubuh-Nya hancur dan memahkotai-Nya dengan duri. Dia digambarkan Nabi Yesaya sebagai “anak domba yang dibawa ke pembantaian” dan seperti “induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya”. Namun penderitaan yang terdalam dialaminya ialah ketika Ia merasakan Bapa-Nya telah pula meninggalkan-Nya. Sungguh suatu penderitaan yang sangat mendalam…penderitaan jasmani dan rohani yang tak tertanggungkan. Setiap sengsara yang dialami Yesus seharusnya dialami oleh kita tetapi Ia telah menanggungnya bagi kita!
Puncak dari kesengsaraan-Nya justru merupakan puncak kemenangan-Nya yaitu ketika Ia berseru menjelang kematian-Nya, “SUDAH GENAAAAP……!” kata-kata-Nya begitu menggelegar disertai guncangan-guncangan sangat dahsyat: tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah (menandai kini jalan ke Surga telah terbuka dan siapa pun yang percaya kepada-Nya dapat memperoleh kehidupan kekal), terjadi gempa bumi dan bukit batu terbelah, kubur-kubur terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit. Sesudah kebangkitan Yesus, mereka pun keluar dari kubur lalu masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang.
Kegelapan meliputi seluruh daerah itu sejak pukul 12.00 siang sampai pukul 15:00 saat kematian-Nya. Semua orang di daerah itu pasti merasakan fenomena itu, termasuk kepala-kepala imam dan pemuka agama. Mereka yang sedang berada di dalam Kemah Suci pasti melihat tirai yang terobek namun mengapa mereka tetap tidak memercayai-Nya? Mengapa mereka yang telah mempelajari tentang Mesias juga kitab-kitab nubuatan yang banyak menceritakan tentang Dia seperti dengan sengaja menutup mata-telinga dan menginginkan kematian-Nya?
Kepala pasukan dan prajurit-prajurit yang menjaga Yesus menjadi sangat takut ketika mereka melihat gempa bumi dan apa yang telah terjadi lalu berkata, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” Kepala pasukan itu bahkan mengakui bahwa Yesus adalah orang benar sambil memuliakan Allah. Semua orang dalam kerumunan yang tadinya menonton penyaliban setelah melihat semua kejadian itu pulang sambil memukul-mukul diri. Tentu mereka yang tadinya ikut-ikutan menghina dan merendahkan Dia sangat menyesal dan terpukul melihat semua peristiwa itu. Mereka telah salah menghukum orang yang tidak berdosa hingga kematian-Nya.
Penyaliban Yesus mungkin membuat banyak orang meragukan kekuasaan-Nya karena berakhir dengan kematian- Nya. Suasana di Golgota diliputi oleh dukacita, kekecewaan, keraguan dan ketakutan yang mencekam, entah apa lagi... Tak ada suara terdengar hingga kematian-Nya ketika tiba-tiba ada suara mengakui kemahakuasaan dan keilahian-Nya, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” Siapakah dia yang mengatakannya? Dia adalah seorang Romawi!!
Tuhan ternyata mengizinkan orang-orang kafir yang tidak mengenal Allah melihat kebenaran-Nya! Kita pun tanpa disadari dapat menjadi seperti para rohaniawan di zaman Yesus saat disalibkan jika kita meragukan Dia. Bulu kuduk kita berdiri mendengarkan kesaksian-kesaksian mereka yang sebelumnya membenci dan menentang Yesus bahkan menjadi pasukan jihad yang membunuh banyak pengikut Kristus telah dilawat langsung oleh Tuhan dan mereka menjadi pemberita-pemberita Injil yang berkobar-kobar bagi Tuhan.
Ketika kita masih kafir dan belum/tidak mengenal Tuhan, kedegilan Israel merupakan kesempatan bagi kita untuk mengenal Allah dan Yesus sebagai Juru Selamat kita. Ini merupakan kesempatan yang harus selalu kita syukuri. Kini setelah kita menjadi keluarga-Nya - “Israel rohani" – biarlah kita tetap berkobar-kobar bagi Dia dan mengakui- Nya sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita agar kita tidak tertinggal saat Dia datang kedua kalinya.
“Ya Tuhan, kami bersyukur untuk keselamatan yang Kauberikan kepada kami, untuk penderitaan sengsara dan mati demi memberi kami sukacita dan hidup kekal. Jangan kiranya membiarkan kami terpisah dari-Mu, besertalah bersama kami senantiasa hingga Engkau datang kembali dan tinggal bersama untuk selama-lamanya! Amin.”