Kapal Utama Armada Kasih - Kasih Itu Sabar (1 Kor. 13:4)

Dapatkah dibayangkan ketika kita harus membayar utang tetapi tidak ada sepeser pun di dompet dan di kantong kita? Kita bersembunyi di belakang ruang tangga menghindari penagih utang. Dan ini merupakan malam sebelum pengusiran karena bank telah memberikan waktu satu hari untuk membayar hipotek. Air telah dicabut alirannya, mobil ditarik kembali karena tidak dapat melunasi angsuran dan petugas kantor pajak sedang mengetuk pintu sambil mengatakan, “Saya tahu Anda di dalam rumah. Ayo, buka pintu!” Dengan terpaksa kita membuka pintu. Petugas pajak mengatakan berapa banyak yang harus kita bayar dan kita mengatakan terus terang bahwa tak sepeser pun tersisa, dia mengancam akan memenjarakan bila kita tidak membayar segera.

Tepat ketika ia menggerakkan tangan untuk memanggil kepala polisi, ponselnya berbunyi – dari presiden yang ingin berbicara dengan kita meminta penjelasan. Kita tidak mempunyai penjelasan apa-apa untuk membela diri kecuali memohon untuk bersabar. Presiden mendengarkan dengan diam kemudian meminta berbicara dengan petugas itu lagi. Ketika Presiden berbicara, petugas itu mengangguk dan berkata, “Ya, Pak… ya, Pak… ya Pak.” Petugas itu menutup teleponnya dan memandang kita sambil berkata, “Saya tidak tahu siapa yang Anda kenal tetapi utang Anda sudah dibayar,” kemudian merobek kertas-kertas itu dan membiarkan potongan-potongan itu jatuh.

Mungkin kita tidak menyadari bahwa Allah melakukan hal itu bagi kita karena tak seorang pun mengingatkan kita tentang kesabaran-Nya atau kita tertidur saat pen-deta membacakan Mazmur 103:8 sehingga tak heran kita menjadi tegang dan tidak sabaran. Apa yang harus kita lakukan? Berdirilah di tempat petugas pajak itu berada dan lihatlah sobekan-sobekan kertas yang tersebar dan berhamburan di teras maupun di halaman rumput. Itulah bukti kesabaran Allah.

Kita berutang kepada-Nya! Ingatkah saat kita memakai Nama-Nya bukan untuk ber-syukur tetapi mengomel karena kekecewaan dan ketidakpuasan kita? Belum lagi tumpukan janji kita kepada-Nya yang kita ingkari setelah mendapat pertolongan dari-Nya! Allah dapat saja meninggalkan bahkan menghancurkan kita tetapi hal ini tidak dilakukan-Nya sebab Ia sabar terhadap kita (2 Ptr. 3:9).

Paulus memperkenalkan kesabaran sebagai ungkapan kasih yang ditempatkan sebagai pemimpin Armada Kasih berjarak satu ‘kapal’ di depan ‘kapal’ murah hati, tidak cemburu dan tidak sombong (1 Kor. 13:4). Sangat jelas, “kasih itu sabar”.

Kata Yunani yang digunakan untuk kesabaran bersifat deskriptif, arti kiasannya “makan waktu lama untuk mendidih”. Bayangkan sebuah panci dengan air yang mendidih, faktor-faktor apa yang menentukan kecepatan air untuk mendidih? Factor utamanya ialah besarnya api – air akan cepat mendidih apabila apinya besar dan lambat mendidih bila apinya kecil. Ternyata kesabaran ‘mengecilkan pembakarnya’ dengan menunggu dan mendengar. Inilah cara Allah memperlakukan kita dan Ia ingin kita berbuat sama dalam memperlakukan orang lain.

Pada suatu kesempatan Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hamba yang berutang kepadanya. Ahli pembukuan menemukan seseorang berutang 10.000 talenta namun dia tidak mampu melunasi utangnya. Raja memerintahkan supaya dia beserta istri dan anak-anaknya juga semua miliknya dijual untuk membayar utangnya. Apa yang dilakukan oleh hamba itu? Sujudlah dia menyembah sambil berkata, “Sabarlah dahulu, segala utangku akan kulunaskan.” Lalu tergeraklah hati raja oleh belas kasihan dan dia membebaskannya serta menghapus utangnya (Mat. 18:23-27).

Aneh, hamba yang berutang tersebut tidak minta belas kasihan atau pengampunan tetapi dia memohon kesabaran. Terbukti kesabaran itu lebih daripada sifat baik saat berada pada antrean panjang dan pramusajinya lamban bekerja. Tanpa kesabaran tidak akan ada belas kasihan; sang raja bersabar dan hamba berutang banyak itu diampuni.

Kisah ini berganti haluan ketika hamba yang baru saja diampuni bertemu hamba lain yang berutang jauh lebih sedikit (100 dinar) daripada utangnya. Dia mencekik kawannya dan memintanya untuk segera membayar. Peristiwa serupa terjadi, kawan itu sujud menyembah dan memohon kepadanya, “Sabarlah dahulu, utangku akan kulunaskan.” Namun apa reaksi si penagih utang tersebut? Dia tidak mau menunggu tetapi memenjarakannya sampai utangnya lunas (ay. 28-30).

Sang raja tertegun, bagaimana mungkin orang itu begitu tidak sabar? Tinta cap ‘DIBATALKAN’ masih belum kering di atas rekening-rekeningnya! Kita berharap sedikit belas kasihan muncul dalam diri orang itu karena kita mengira dia sudah begitu banyak diampuni maka dia akan banyak pula mengasihi. Namun fakta berbicara lain; ketiadaan kasih mengantarnya kepada kesalahan yang sangat mahal. Dia dipanggil kembali menghadap sang raja dan apa kata raja? “Hai hamba yang jahat, seluruh utangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihi kawanmu seperti aku telah mengasihi engkau?” Maka marahlah raja itu dan mengirimkan orang tersebut ke penjara sampai dia melunasi seluruh utangnya (Mat. 18:32-34).

Ternyata kesabaran sang raja tidak membuat perbedaan dalam kehidupan hamba tersebut. Si hamba menganggap belas kasihan tidak lebih dari ‘ujian yang dibatalkan’, ‘peluru yang dihindarkan’ atau kartu bebas keluar dari penjara. Dia tidak terheran-heran atas anugerah raja, hanya merasa lega tidak dihukum. Dia sudah diberi banyak kesabaran tetapi tidak memberikan apa-apa, sungguhkah dia memahami hadiah yang telah diterimanya?

Seberapa banyak kesabaran Allah meresap dalam diri kita? Benarkah kita telah menerimanya? Dibuktikan di dalam kesabaran kita, kesabaran yang diterima dengan sungguh-sungguh menghasilkan kesabaran yang diberikan dengan cuma-cuma! Sebaliknya, jika kita tidak pernah menerima kesabaran, masalah bertumpuk telah menanti, paling tidak penjara adalah hukumannya. Jangan berpikir Allah tidak akan melakukannya! Mementingkan diri sendiri dan kurang berterima kasih adalah bahan dasar untuk membangun ‘dinding-dinding tebal’ dan penjara-penjara sunyi.

Ketidaksabaran tetap memenjarakan jiwa. Itu sebabnya Allah ingin kita terlepas dari sifat ini, Ia tidak hanya meminta kita sabar tetapi memberikan kesabaran itu kepada kita sebagai salah satu ‘rasa’ buah Roh (Gal. 5:22). Berdoalah dan mintalah penger-tian sebab orang sabar besar pengertiannya (Ams. 14:29). Mungkin ketidaksabaran kita berasal dari ketidakpengertian kita. Contoh: saat kita serius mendengarkan Firman Tuhan, kita merasa terusik terhadap dua orang yang duduk di belakang sedang berbicara satu sama lain dengan suara tidak jelas. Tak lama kemudian si Pembicara minta maaf dan menjelaskan bahwa mereka kedatangan seorang tamu yang tidak dapat berbicara bahasa lokal sehingga perlu diterjemahkan untuk dapat mengerti pemberitaan Firman. Semua segera berubah, kesabaran menggantikan ke-tidaksabaran sebab kesabaran muncul bersama-sama pengertian. Orang yang ber-pengertian berdiam diri/menahan lidahnya (Ams. 11:12) dan berkepala dingin (Ams. 1:27b). Jangan melupakan hubungan pengertian dan kesabaran; sebelum meledak kita harus mendengarkan lebih dahulu, sebelum menyerang sadarilah dahulu keada-an orang lain.

Jika Allah sabar terhadap kita, tidak dapatkah kita memberikan sedikit kesabaran kepada orang lain? Tentu kita dapat melakukannya sebab yang terutama dari kasih ialah kesabaran.

Disadur dari: A Love Worth Giving by Max Lucado