• THANKSGIVING/ UCAPAN SYUKUR (1)
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/artikel/1077-thanksgiving-ucapan-syukur-1

Ketika mendapat kesempatan mengunjungi anak di USA, saya mendapat kesempatan untuk merayakan Hari Ucapan Syukur yang selalu dirayakan di sana. Hari itu disebut sebagai THANKSGIVING DAY. Merayakan Thanksgiving Day adalah bentuk ekspresi ucapan syukur terutama ditujukan kepada Tuhan. Di Amerika, hari Ucapan Syukur adalah hari besar nasional yang dirayakan pada hari Kamis keempat dalam bulan November. Thanksgiving Day merupakan hari ketika banyak orang menghabiskan waktu bersama keluarga. Hari itu menjadi salah satu kesempatan untuk berterima kasih akan sejumlah hal dalam hidup. Perayaan itu diakui oleh beberapa presiden di Amerika termasuk presiden Abraham Lincoln yang kemudian menetapkannya menjadi hari besar nasional. Di Amerika, mereka mendapat 1 atau 2 hari libur dari sekolah dan kerja. Hari itu menandai awal musim liburan Natal.

Perayaan Thanksgiving day berawal ketika orang Eropa datang ke Amerika untuk memulai kehidupan baru. Pada suatu hari di bulan November 1621, sekelompok orang Eropa yang dikenal sebagai “pilgrim” (pengembara) mengundang penduduk asli Amerika, suku Indian setempat, untuk bergabung dengan mereka dalam pesta makan malam.

Awalnya para pilgrim mengalami kesulitan dalam bercocok tanam. Penduduk asli Amerika (orang Indian), kemudian mengajari mereka cara bercocok tanam sampai berhasil. Pesta makan malam yang diadakan adalah ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan untuk panen mereka yang berhasil juga untuk bantuan dari penduduk asli setempat. Sejak saat itu Amerika merayakan Thanksgiving. Kebiasaan mereka saat merayakan adalah makan kalkun karena dahulu diduga para pilgrims juga makan kalkun dalam Thanksgiving pertama. Selain makan kalkun, setiap tahun diadakan perlombaan olah raga tahunan yang disiarkan di TV.

Saya teringat saat merayakan hari itu kami mengelilingi meja makan. Di atas meja telah disiapkan kalkun panggang, sup labu kuning dan kue pai labu kuning. Sebelum makan, kami berdoa bersama dan berterima kasih kepada Tuhan untuk hal-hal baik yang telah kita alami dan lalui. Selesai berdoa menantu saya, Denni, bercerita tentang bagaimana dia bersyukur karena mendapat kemurahan Tuhan diterima sebagai Associate Professor di Tasmania Australia, dengan kondisi yang lebih baik. Lilian yang saat itu bekerja dan mengikuti program S3 dalam arsitektur juga berterima kasih untuk pertolongan Tuhan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang cukup sulit yang harus dia kerjakan baik dari kantornya maupun dari pendidikannya dengan hasil yang baik. Kemudian mereka menanyakan kepada kami yang hadir apa yang ingin kami syukuri saat itu. Isaac, cucu saya bersyukur telah lulus SMA sebagai 10 siswa yang terbaik dan diterima di salah satu universitas terbaik di Amerika. Saya sendiri menyaksikan bagaimana Tuhan menyertai perjalanan saya dari Surabaya hingga Amerika yang bisa dikatakan membutuhkan waktu sehari semalam dan kekuatan fisik untuk sampai ke tempat tujuan di umur yang tidak lagi muda juga di tengah-tengah pandemi COVID yang sedang melanda. Ternyata setelah kami renungkan kami menyadari betapa banyak perbuatan baik yang Tuhan lakukan dalam kehidupan kami.

Saya banyak merenungkan peristiwa-peristiwa itu. Amerika mempunyai moto “In God We Trust” (Dalam Allah kita percaya). Moto/semboyan itu tercetus pada 1861 ketika James Pollock, seorang negarawan dari Philadelphia, memberi pernyataan saat mengajukan proposal mencetak uang Amerika. Dalam proposalnya dia antara lain menuliskan, “No nation can be strong except in the strength of God, or safe except in His defence. The trust of our people in God should be declared on our coins” yang bila diterjemahkan berarti “Tidak ada bangsa dapat menjadi kuat jika tidak berada di dalam kekuatan Allah atau selamat jika tidak berada di dalam perlindungan-Nya. Kepercayaan kita terhadap Allah harus dinyatakan dalam mata uang kita”. Jika kita melihat gambar dolar Amerika, kata-kata itu masih tercantum di sana. Amerika kemudian menjadi negara yang besar dan kuat karena Tuhan adalah andalannya saat itu. Amerika menjadi negara adidaya. Namun keadaan itu kini mengalami perubahan. Orang Amerika menjalankan kebebasan berdemokrasi, banyak dari mereka menuntut hak kebebasan mereka dalam melakukan apa saja yang mereka inginkan sebagai manusia termasuk kebebasan memilih pasangan (sejenis atau lawan jenis), kebebasan untuk aborsi….banyak dari mereka menjadi atheis karena ingin bebas dari beragama bahkan kebebasan mendirikan gereja setan yang terang-terangan melawan Tuhan. Mereka masih merayakan Thanksgiving untuk acara makan-makan tetapi kepada siapa ucapan terima kasih ditujukan kini sepertinya kabur. Saya pernah mendengar sebuah survei yang diadakan untuk mengukur kecerdasan para murid dari sekolah umum dan sekolah Kristen ternyata secara kognitif sekolah Kristen sangat maju. Sayang, hari ini sekolah-sekolah mereka tidak lagi boleh diajarkan tentang ketuhanan. Mereka berpendapat bahwa ketuhanan harus dipisahkan dengan pemerintahan. Mereka bahkan menuntut kebebasan membeli senjata pribadi dengan alasan untuk mempertahankan diri bila diserang, minta kebebasan untuk memakai obat-obat terlarang yang kini dapat dibeli dengan bebas. Saya sering mendengar berita-berita di TV tentang “hit and run”, kasus penembakan hanya karena rasa benci, balas dendam bahkan hanya untuk iseng saja kemudian melarikan diri. Kasus seorang anak muda yang menembak sesama teman sekolahnya dengan senjata ayahnya lagi digelar saat itu.

Saya mengingat-ingat beberapa kejadian yang saya alami di masa lalu. Hal-hal yang dahulu kita alami dan anggap biasa ternyata sebenarnya merupakan hal-hal luar biasa yang seharusnya kita syukuri. Manusia memang sering lupa mengucap syukur kepada Tuhan yang telah melakukan hal-hal baik dalam hidup mereka. Perasaan itu timbul kembali ketika saya mendengarkan uraian khotbah tentang sepuluh orang sakit kusta yang disembuhkan tetapi hanya seorang yang kembali kepada Yesus dan berterima kasih kepada-Nya. Hanya satu dari sepuluh orang yang berterima kasih! Jauh lebih banyak yang lupa daripada yang ingat untuk berterima kasih. Saat Yesus menyembuhkan mereka, saya dapat merasakan Ia sebetulnya menunggu mereka kembali kepada-Nya. Tampak dari apa yang diucapkan-Nya, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?”

Suara itu sepertinya mengandung kekecewaan. Yesus telah melakukan hal yang berdampak besar dalam kehidupan mereka. Ia telah mengubah keadaan mereka. Mereka tidak lagi harus berpakaian compang-camping dan berteriak “najis….. najis….” Tidak lagi terpisah dari keluarga dan disisihkan, menjadi orang terhina dan dianggap terkutuk dan orang tidak lagi menghindari mereka. Kini mereka tidak lagi menderita penyakit yang begitu mengerikan dan kembali menikmati hidup bersama keluarga. Dengan masygul, Yesus berkata lagi, “Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain daripada orang asing ini?” Yang dimaksud “orang asing” di sini ialah seorang Samaria yang kembali untuk berterima kasih. Ternyata hanya dia yang mempunyai rasa terima kasih. Menurut sejarah orang Samaria dipandang rendah oleh orang-orang Yahudi karena dianggap sebagai bangsa campuran antara orang Yahudi dengan orang kafir yang tidak bertuhan. Yahudi dan Samaria tidak bersahabat seperti dikisahkan seorang perempuan Samaria yang datang ke sumur untuk menimba air dan kemudian bertemu dengan Yesus.

Jika orang Yahudi tidak menyukai orang Samaria dan tidak mau bergaul dengan mereka, tidak demikian halnya dengan Yesus. Ia mengasihi dan menghargai setiap orang yang berseru kepada-Nya tanpa memilah-milah. Orang Yahudi, Samaria,…. bahkan dari Indonesia seperti kita saat ini yang berseru kepada-Nya dapat dipastikan akan didengar dan disembuhkan oleh-Nya. Ternyata orang Samaria yang biasa direndahkan justru memiliki hati rendah hati dan penuh ucapan syukur. Sering kita meminta pertolongan kepada Tuhan, berseru mohon berkat-Nya saat kita terpuruk. Namun setelah diberkati, justru berkat itu menghalang-halangi ibadah kita kepada-Nya. Sering pula kita lupa akan apa yang telah Dia lakukan bagi kita. Kita berseru meminta kesembuhan dan menganggap-Nya sebagai dokter yang dibayar. Setelah sembuh, kita meninggalkan Dia karena merasa tidak lagi memerlukan-Nya bahkan melupakan-Nya. Kita hanya datang saat kita membutuhkan pertolongan-Nya. Tak jarang kita hanya menginginkan hal-hal lahiriah bersifat fana lebih daripada berkat keselamatan jiwa yang bersifat kekal.

Roma 1:21 menuliskan, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang yang mengenal Allah, kita wajib memuliakan Dia dan mengucap syukur kepada-Nya.

Sebagai raja, Daud tidak pernah membanggakan statusnya sebagai seorang raja. Dia selalu menganggap dirinya kecil dan rendah di hadapan Tuhan. Dia sangat paham dari mana dia berasal. Dia hanyalah gembala dari sejumlah kecil domba ayahnya. Kalau akhirnya ia menjadi raja ini karena Tuhanlah yang meninggikannya. “Aku hanyalah seekor domba yang kecil. Dia adalah Gembalaku”, ungkapnya dalam Mazmur 23, dan di mazmur-mazmurnya yang lain dia melukiskan dirinya:… “aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu,……… Aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh oang banyak (Mzm. 22:7)……” hingga kemudian dalam Mazmur 86:12 dia berkata, “Aku hendak bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan Allahku, dengan segenap hatiku dan memuliakan nama-Mu untuk selama-lamanya.” Itu sebabnya Daud sangat dikasihi Tuhan karena sikapnya memperkenan hati-Nya.

William Penn, seorang penulis, pernah menuliskan “rahasia kebahagiaan adalah menghitung berkat-berkat kita di saat orang lain menghitung-hitung masalah mereka”. Kata-kata ini mengandung arti saat kita menghitung berkat- berkat yang kita terima dari Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, saat itulah mendatangkan kebahagiaan bagi kita daripada saat kita membuat daftar panjang persoalan dan kemalangan kita lalu merenungi nasib kita. Dalam dunia sekuler, kita tentu sering membaca artikel-artikel tentang bersyukur. Sering dituliskan orang yang bersyukur itu selalu berpikiran positif. Orang semacam ini biasanya jarang mengalami stres dan depresi. Biasanya mereka cerdas, gampang tidur dan berpenampilan menarik. Singkatnya, berpikiran positif dan senantiasa bersyukur memberi dampak besar dalam kehidupan mereka! Jika kita membaca Alkitab, kita akan menemukan ratusan ayat yang mendidik kita untuk menjadi seorang yang senantiasa bersyukur, memuliakan Allah dan berterima kasih kepada- Nya. (VS)

(bersambung)